Diskusi Sastra, bukan sekadar seremoni, melainkan sebuah penghargaan untuk para sastrawan
JAKARTA|JATIMSATUNEWS.COM - Diskusi Sastra ke-2, yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan menuju Anugerah Sastra dan Kebudayaan 2024 kepada Penyair Taufiq Ismail, akan berlangsung pada Senin, (24/6/2024). Taufiq Ismail diusulkan sebagai Bapak Sastra Indonesia dalam acara ini.
Acara tersebut akan diselenggarakan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Gedung Panjang Ali Sadikin, Lantai 4, di Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM), mulai pukul 14.15 WIB.
Diskusi ini akan menghadirkan Maman S Mahayana dengan topik "Taufiq Ismail: Puisi Sebagai Kesaksian" dan Prof. Dr. Wahyu Wibowo dengan topik "Perjuangan Taufiq Ismail." Moderator diskusi adalah Tatan Daniel. Acara ini juga akan menampilkan pembaca puisi Yuhaenida Meilani dan dipandu oleh MC (Pembawa Acara) Irene Anggraini. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Komunitas Sastra TISI (Taman Inspirasi Sastra Indonesia) bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta, Dispupsip, dan PDS HB Jassin.
Bapak Sastra Indonesia
Dedikasi Taufiq Ismail bagi dunia sastra Indonesia telah melampaui "mandatnya" sebagai penyair atau sastrawan. Oleh karena itu, sangat layak jika penyair kelahiran Bukittinggi, 25 Juni 1935, ini disematkan gelar Bapak Sastra Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh anggota DPR, Fadli Zon, saat menjadi pembicara dalam Diskusi Sastra ke-1 di Aula PDS HB Jassin, Gedung Panjang Ali Sadikin, Lantai 4, Kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu lalu (22/6/2024).
Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Menuju Anugerah Sastra dan Kebudayaan 2024 kepada Taufiq Ismail dari Dinas Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta, Perpustakaan dan Kearsipan (Dispupsip), serta PDS HB Jassin.
Menurut Fadli Zon, Taufiq Ismail bukan hanya memotret peristiwa dan kondisi sosial melalui puisi-puisinya, tetapi juga aktif menggerakkan dunia literasi. Taufiq terlibat dalam gerakan Manifes Kebudayaan melawan kesewenang-wenangan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), menjadi aktivis terdepan dalam mengekspresikan perjuangan mahasiswa melawan rezim otoriter, menginisiasi dan mendirikan Majalah Sastra Horizon, serta mempelopori Gerakan Membawa Sastra ke Sekolah.
“Sebelum gerakan Sastra ke Sekolah tahun 1996 dengan 9 macam aktivitas, Taufiq Ismail sudah mengajak siswa menulis sastra melalui sisipan Kaki Langit dalam Majalah Sastra Horizon. Dengan hadirnya sisipan Kaki Langit, sastra bukan lagi milik elit sastrawan. Siswa SMA sederajat diperkenalkan dengan sastra dan proses kreatif para sastrawannya, di mana tujuan akhirnya adalah mendorong siswa menulis puisi, cerpan dan esai,” jelas Fadli Zon, yang santer disebut akan menduduki jabatan Menteri Kebudayaan pada pemerintahan Prabowo Subianto mendatang.
Menurut Fadli Zon, hingga 2013, Taufiq Ismail masih aktif sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbangsa yang menyelenggarakan pertukaran pelajar SMA ke 10 negara, dan membacakan karyanya di berbagai tempat. Salah satunya ketika didaulat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membacakan puisi sebagai penutup rangkaian acara pengundian nomor urut partai politik peserta Pemilu 2014.
“Sejak tahun 2008 beliau mendirikan Rumah Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat. Rumah Puisi itu juga dimaksudkan sebagai residensi bagi sastrawan yang ingin berkarya. Baru-baru ini saya dipercaya untuk mengelolanya. Rencananya saya akan menjadikan rumah itu lebih estetik, menjadi Rumah Puisi dan Museum Sastra Indonesia,” tambah Fadli Zon, yang telah menulis sejumlah buku tentang puisi, budaya, dan politik.
Sutardji Calzoum Bachri, yang menjadi pembicara pertama dalam diskusi yang dipandu oleh penyair Ewith Bahar, menceritakan kenangan pertamanya bertemu Taufiq Ismail dalam acara yang diadakan Paguyuban Sastra Sunda di Bandung.
Sutardji menyebut Taufiq Ismail sebagai penyair besar di mana puisi-puisinya menjadi saksi zaman. Taufiq Ismail memotret setiap peristiwa yang terjadi melalui bahasa yang sederhana namun menyentuh dan bisa melampaui zamannya.
“Puisi Karangan Bunga dalam buku kumpulan puisi Tirani dan Benteng (1996) menggunakan bahasa yang sederhana, tetapi mampu menusuk ke kalbu dan memiliki rasa puitika yang tersembunyi sehingga mampu melampaui zamannya,” jelas Sutardji, yang kemudian membacakan puisi berjudul Karangan Bunga.
Tidak Sebatas Seremoni
Di tempat yang sama, Ketua Umum TISI, Octavianus Masheka, mengatakan pihaknya ingin penghargaan yang diberikan kepada Taufiq Ismail dan sastrawan lainnya tidak sebatas seremoni.
“Diskusi Sastra kali ini merupakan yang pertama, di mana yang ke-2 akan kembali diselenggarakan pada Senin (24/6/2024)," kata Octa, sapaan akrabnya, di Jakarta, Minggu sore (23/6/2024).
Octa menambahkan, sebelumnya TISI juga sudah menggelar road show pembacaan puisi di 6 tempat dan juga lomba pembacaan puisi.
"Kegiatan ini bukan hanya melibatkan seniman, tetapi juga pelajar dan mahasiswa," pungkasnya.
Kontributor: Lasman Simanjuntak