Pasang iklan disini

 

Peristiwa Malari 1974: Malapetaka 15 Januari

Admin JSN
15 Januari 2025 | 11.57 WIB Last Updated 2025-01-15T13:26:39Z

 

Kerumunan massa menyaksikan mobil yang terbakar di depan Universitas Indonesia, Salemba Jakarta. Foto: Repro buku "Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ′74" karya Heru Cahyono.

Catatan oleh Yousri Nur Raja Agam

ARTIKEL|JATIMSATUNEWS.COM - Hari ini tanggal 15 Januari 2025. Cuaca redup di Surabaya juga di berbagai daerah di tanah air. Istilahnya, disebut terjadi perubahan musim secara global, namun lain lagi yang terjadi di California; Amerika Serikat. Kebakaran hutan menyeruak dari wilayah kecil menjadi luas ke berbagai penjuru di kawasan Holywood itu.

Tetapi, kita tidak mengulas masalah musim dan musibah yang melanda negeri Paman Sam itu.

Saya kembali terkenang suatu peristiwa 51 tahun silam. Kejadian ini dianggap masih "misteri" di Indonesia. Namanya "Malari" -- singkatan dari "Malapetaka Lima belas Januari" di tahun1974.

Peristiwa di ibukota negara kita, Jakarta ini, menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia. Berawal dari gerakan aksi mahasiswa yang turun ke jalan. Namun, unjuk rasa ini agak istimewa yakni terjadi di zaman Orde Baru. 

Peristiwa aksi unjuk rasa atau lebih tegasnya disebut unjuk sikap mahasiswa di Jakarta. Tema aksi massa mahasiswa itu sederhana. Melakukan protes, akibat mewabahnya penanaman modal asing di Indonesia terutama investasi dari Jepang.

Pabrik tekstil, mobil-motor dan permesinan, serta sektor usaha besar dimonopoli oleh produk negara matahari terbit itu sedangkan para investornya adalah konglomerat berdarah Cina atau Tionghoa yang mengakibatkan peran pribumi boleh dikatakan tersingkir. Secara demonstratif penggunaan istilah "Pri Non Pri" (Pribumi Non Pribumi) ditampilkan secara terang-terangan.

Sampai-sampai berdiri organisasi HIPPI (Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia).

Menjelang tahun 1974 itu suasana perpolitikan tanah air juga "tidak baik-baik saja". Cuaca di Pemerintahan bak api dalam sekam sehhingga keprihatinan bangsa ini diwujudkan dengan menyelenggarakan "Acara Tirakatan pada Malam Tahun Baru 1974" di depan Kampus Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya, Jakarta.

Situasi bertambah marak, dengan rencana kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia. Presiden Soeharto dijadwalkan menerima kedatangan Tanaka di Jakarta, tanggal 14 hingga 17 Januari 1974.

Tanaka tiba di Bandara Halim Perdanakusuma tanggal 14 Januari 1974, pukul 19.45 WIB dengan pesawat Super DC-8 JAL. Kedatangan Tanaka disambut secara sederhana hanya dengan pengalungan bunga melati saat turun dari pesawat.

Presiden Soeharto, secara resmi menerima kehadiran Tanaka dan rombongan di Istana Negara pada 15 Januari 1974, pagi hari. Bersamaan dengan itu barisan mahasiswa menolak kehadiran Tanaka, dengan aksi turun ke jalan.

Kendati ada unjuk rasa besar-besaran terjadi di jalan raya, pertemuan Presiden Soeharto dengan rombongan Tanaka tetap berlangsung lancar, namun dengan penjagaan super ketat. Pasukan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) -- sebutan gabungan TNI dan Polri waktu itu -- secara mencolok berada di mana-mana.

Ratusan ribu mahasiswa dan pelajar SMA sederajat, melakukan aksi. Mereka membawa poster dan spanduk bernada protes atas kedatangan Tanaka. Sebab, kehadiran Tanaka di Indonesia dianggap sebagai simbol maraknya penanaman modal asing di Indonesia waktu itu.

Demo mahasiwa dan pelajar bergerak dari Kampus Universitas Indonesia, Jalan Salemba menuju Univeritas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat. Barisan aksi itu juga diikuti massa pendukung lainnya. Ada tiga tuntutan yang disampaikan, mengatasnamakan rakyat. Tuntutannya sebagai berikut:

Pertama, Pemberantasan korupsi.

Kedua, Perubahan kebijakan ekonomi mengenai penanaman modal asing.  

Ketiga, Pembubaran lembaga Aspri (Asisten Pribadi) Presiden.

Ada empat Aspri Presiden Soeharto yang tugas dan kewenangannya melebihi para menteri. Empat Aspri itu adalah para Jenderal TNI Angkatan Darat, yakni:

1. Aspri Urusan Khusus: Mayjen Ali Moertopo.

2. Aspri Urusan Perekonomian: Mayjen Soedjono Hoemardani.

3. Aspri Urusan Keuangan: Letjen Soerjo Wirjohadipoetro.

4. Aspri Urusan Pengamanan Presiden: Mayjen Tjokropranolo.

Ternyata demonstrasi mahasiswa dan pelajar ini, disusupi massa yang bertindak anarkis, sehingga terjadi kerusuhan. Sebab, menurut Hariman Siregar, ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI) yang juga sebagai kordinator lapangan (korlap) menyatakan aksi massa, unjuk rasa mahasiswa sudah selesai pukul 14.30 WIB.

Sedangkan kerusuhan itu terjadi setelah aksi masa mahasiswa usai. Sudah sore, kisah Hariman, mengenang masa lalu itu kepada saya, suatu saat berada di Surabaya.

Massa yang brutal itu, kemudian diketahui berasal dari kalangan buruh. Mereka memulai aksi di Pasar Senen, Blok M, dan kawasan Glodok. Setelah itu merembet ke wilayah lain. Massa buruh itu juga disusupi preman yang menjarah dan membakar mobil buatan Jepang dan toko-toko. Suasana di Jakarta benar-benar rusuh dan mencekam. Aparat keamanan kewalahan, bahkan ikut juga jadi sasaran amuk massa yang melempari dengan batu.

Gejolak di ibukota itu tak terkendali. Sehingga Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) Jenderal Soemitro, ikut turun ke jalan. Ia berusaha mengendalikan keadaan. Bahkan ikut pidato memberi pengarahan kepada massa demonstran.

Awalnya pasukan keamanan berusaha menghadang massa yang bergerak ke arah Istana Presiden di Sarinah, Jakarta Pusat. Tetapi, setelah terjadi huru-hara di sore hari hingga malam, pola pengamanan berubah.

Aksi demo, masih berlanjut, tanggal 16 Januari 1974. Tetapi suasana makin kacau, karena aksi demo pelajar dan mahasiswa itu sudah ditunggangi massa liar. Upaya berdamai dengan mahasiswa berhasil diredam. Tetapi aksi di berbagai fasilitas umum tidak bisa dikendalikan.

Pada saat akhir kerusuhan dan tanggal 17 Januari1974, Tanaka sudah kembali ke Jepang. Dari Istana Negara Tanaka didampingi Presiden Soeharto naik helikopter ke Bandara Halim.

Hari itu di berbagai tempat api dan asap masih ada. Di halaman gedung dan pinggir jalan sebanyak 807 mobil dan sepeda motor buatan Jepang hangus terbakar. Kecuali itu, ada 145 gedung dan bangunan rusak dan lima di antaranya terbakar. Juga dilaporkan sekitar 160 kilogram emas dan perhiasan dijarah di toko-toko perhiasan. Sebelas orang meninggal dunia dan lebih 400 orang luka-luka berat dan ringan.

Hariman Siregar Ditahan

Aparat keamanan bertindak cepat, melakukan penangkapan dan penahanan terhadap massa aksi. Terutama terhadap para penjarah dan yang melakukan perusakan. Begitu pula kepada massa yang berada di sekitar mobil dan sepeda motor yang dibakar.

Yang cukup menarik, usai aksi massa itu, terjadi penangkapan dan penahanan sebanyak lebih 750 orang. Di antaranya beberapa tokoh mahasiswa dan tokoh masyarakat yang dianggap sebagai "dalang" di belakang peristiwa Malari ini.

Tokoh utama, sebagai "kambing hitam" adalah Hariman Siregar. Ketua DM UI ini dianggap paling bertanggungjawab selaku pemimpin aksi demonstrasi. Selain Hariman, juga ditangkap dan ditahan beberapa tokoh masyarakat lainnya. 

Mereka dituding sebagai pemicu demonstrasi itu. Mereka dicurigai berlatar belakang pernah aktif di Partai Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia), serta pendukung rezim Sukarno di zaman Orde Lama (Orla).

Tetapi banyak dari mereka bebas karena kurang bukti. Di antaranya: Pengacara Yap Thiam Hien dan wartawan senior Pemimpin Suratkabar Harian Indonesia Raya, Mochtar Lubis. Mereka dilepas setelah setahun ditahan. Pengacara Adnan Buyung Nasution dibebaskan pada Oktober 1975 bersama sebelas mahasiswa, di antaranya: Judilherry Justam, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo, Eko Jatmiko, Yessy Moninca, dan Remy Leimena.

Malari Masih Misteri

Dari sekian banyak yang ditahan, hanya Hariman dan Sjahrir dari Universitas Indonesia serta Aini Chalid dari Universitas Gadjah Mada yang disidangkan ke pengadilan. 

Ke tiga tokoh mahasiswa ini dituduh melakukan perbuatan subversi dan makar. Jaksa penuntut umum menggunakan pernyataan Hariman dan Sjahrir dalam beberapa kali pertemuan, sebagai koordinator lapangan dan otak peristiwa itu.

Dalam persidangan, sejumlah saksi menarik keterangannya di berita acara pemeriksaan. Ada yang mengaku tak sadar dan merasa terancam saat memberikan kesaksian di depan petugas pemeriksa.

Walaupun tidak cukup bukti menggerakkan kerusuhan Malari 1974 itu, Hariman Siregar tetap dijatuhi dijatuhi hukuman enam setengah tahun penjara pada 21 Desember 1974. Hakim menganggap "kelalaiannya telah berujung pada aksi pembakaran dan perusakan".

Pada tanggal 12 Juni 1975, majelis hakim yang dipimpin Anton Abdurrahman Putera juga menjatuhkan hukuman enam tahun enam bulan penjara krpada Sjahrir. Sedangkan Aini Chalid, divonis dua tahun dua bulan.

Mereka yang ditahan itu, dikenakan Undang-Undang Antisubversi. Sebagian dibebaskan setahun setelah dipenjara sebab terbukti tidak terlibat.

Kendati peristiwa ini berdampak cukup besar, sesungguhnya hingga kini persoalan kerusuhan itu tidak pernah terungkap. 

Sjahrir mengatakan, pengadilan tidak mampu membuktikan mahasiswa ada yang menjadi dalang di balik aksi pembakaran mobil dan penjarahan itu. 

Boleh dikatakan latar belakang kerusuhan dan kekacauan, yang terjadi usai Demo Mahasiswa 15 Januari 1974 itu, masih mengandung misteri. 

Ada berbagai tulisan dan artikel para analis menyatakan "Kasus Malari 1974" juga dilatabelakangi persaingan "peran" antara dua jenderal yaitu Jenderal Sumitro dengan Mayjen Ali Murtopo.

Sumitro waktu itu sebagai Pangkopkamtib, sedangkan Ali Murtopo sebagai Aspri Urusan Khusus.


Hariman Siregar bersama Yousri Nur Raja Agam

*) Yousri Nur Raja Agam
Wartawan Senior
Pemimpin Redaksi
JatimSatu.News
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Peristiwa Malari 1974: Malapetaka 15 Januari

Trending Now