Banner Iklan

"Walid" dan Kerendahan Hati yang Terlupakan: Atribut Lahiriah Bukan Jaminan Keunggulan

29 April 2025 | 05.43 WIB Last Updated 2025-04-29T00:09:35Z

Poster drama Malaysia Bidaah (Instagram @viumalaysia)
ARTIKEL| JATIMSATUNEWS.COM - Fenomena film "Walid" yang membuka tabir penyalahgunaan otoritas agama seyogianya menjadi momentum refleksi mendalam bagi kita semua. Narasi tentang individu yang memanfaatkan simbol-simbol keagamaan demi kepentingan pribadi menggarisbawahi sebuah penyakit hati yang laten: merasa diri lebih baik dari orang lain hanya karena atribut lahiriah. 

Imam Ghazali, jauh sebelumnya, telah mewanti-wanti tentang bahaya "buaya berjubah," dan kini, kita menyaksikan manifestasinya dalam konteks yang lebih kontemporer.

Ironisnya, seringkali kita terjebak dalam ilusi kesalehan diri hanya karena mengenakan sorban, memiliki dahi yang menghitam karena bekas sujud, atau berpakaian sesuai dengan standar syariat yang kita pahami. Kita terlupa bahwa semua atribut lahiriah tersebut tidak secara otomatis menjadikan kita lebih mulia di hadapan Allah, apalagi lebih baik dari sesama yang mungkin tidak menampakkan kesalehan dalam tampilan luarnya. Kita kehilangan kepekaan bahwa hati manusia adalah misteri, dan Allah-lah yang Maha Mengetahui hakikat setiap jiwa.

Larangan untuk merasa diri lebih baik dari orang lain ditegaskan dalam banyak ajaran Islam. Kesombongan, sekecil apapun, adalah bibit kehancuran spiritual. Merasa diri suci dan merendahkan orang lain adalah contradictio in terminis dengan esensi ajaran Islam yang menekankan persaudaraan, kasih sayang, dan kerendahan hati.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahkan memberikan tuntunan yang sangat jelas terkait hal ini. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Affan, dari Wuhaib, dari Khalid Al-Hadzdza', dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari ayahnya, disebutkan:

وَقَدْ ثَبَتَ أَيْضًا فِي الْحَدِيثُ الذِي رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ حَيْثُ قَالَ: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا خَالِدٍ الحَذَّاء، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بكْرَة، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: مَدَحَ رَجُلٌ رَجُلًا عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "وَيْلَكَ! قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ -مِرَارًا-إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ مَادِحًا صَاحِبَهُ لَا مَحَالَةَ فَلْيَقُلْ: أَحْسَبُ فُلَانًا -وَاللَّهُ حَسِيبُهُ، وَلَا أُزَكِّي عَلَى اللَّهِ أَحَدًا-أَحْسَبُهُ كَذَا وَكَذَا، إِنْ كَانَ يَعْلَمُ ذَلِكَ"

"Dan sungguh telah tetap pula dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di mana beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Khalid Al-Hadzdza', 1 dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari ayahnya, ia berkata: 'Seorang laki-laki memuji laki-laki lain di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Celakalah engkau! Engkau telah memenggal leher saudaramu' – beliau mengulanginya beberapa kali – 'Apabila salah seorang di antara kalian pasti memuji saudaranya, maka hendaklah ia berkata: 'Aku kira si Fulan demikian – dan Allah-lah yang menghisabnya, dan aku tidak merekomendasikan seorang pun di hadapan Allah – aku kira ia begini dan begini,' jika ia mengetahuinya.'"   

Hadis ini memberikan pelajaran yang sangat berharga tentang bagaimana seharusnya kita bersikap dalam menilai orang lain. Bahkan dalam konteks pujian, Rasulullah SAW mengingatkan untuk tidak berlebihan dan menyerahkan penilaian akhir kepada Allah. Apalagi dalam konteks merasa diri lebih unggul hanya karena atribut lahiriah. Kita tidak memiliki hak untuk mengklaim kesalehan mutlak diri sendiri dan merendahkan orang lain yang mungkin memiliki kebaikan tersembunyi yang jauh lebih besar di sisi Allah.

Karena kesombongan dan penyalahgunaan status sosial seringkali muncul dari penghormatan dan penilaian orang lain terhadap kita. Kyai Mustofa Bisri pernah mengingatkan: "kalau kita sadar kita belum baik, kenapa bangga dengan pujian dan anggapan orang lain bahwa kita baik?"

Film "Walid" menjadi cermin bagi kita untuk menanggalkan mentalitas "lebih suci" atau "lebih benar" hanya karena tampilan luar. Esensi beragama terletak pada kualitas hubungan kita dengan Allah dan sesama manusia, yang diukur oleh ketulusan hati, kerendahan diri, dan amal perbuatan yang ikhlas, bukan sekadar pada simbol-simbol yang bisa saja disalahgunakan. Sebelum "Walid" hadir sebagai representasi visual, ajaran Islam telah jauh-jauh hari mengingatkan kita untuk tidak tertipu oleh fasad dan senantiasa berupaya meraih kemuliaan di sisi Allah melalui kerendahan hati dan keikhlasan, bukan melalui klaim kesalehan diri yang semu.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • "Walid" dan Kerendahan Hati yang Terlupakan: Atribut Lahiriah Bukan Jaminan Keunggulan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now