topeng-topeng keangkuhan dalam pakaian |
Menarik sekali catatan Gus Mus tentang Pakaian dalam bukunya "Saleh Ritual, Saleh Sosial" sebuah kesadaran dibangkitkan bagai kilatan cahaya menerobos kegelapan dalam benak pembacanya. Pakaian yang seharusnya sederhana, kini menjelma menjadi cermin buram perilaku, sebuah paradoks yang menggelayuti eksistensi.
Mungkin, benar adanya. Allah, dalam firman-Nya, "walibasuttaqwa dzalika khair," menyingkap tabir rahasia. Ia memerintahkan bertaqwa dengan kiasan pakaian. Mungkin karena pakaian, bukan sekadar penutup aurat, melainkan medium penyalur watak, sebuah topeng yang menutupi sekaligus menampilkan. Seragam militer yang gagah, safari pejabat yang angkuh, mungkin menyimpan benih-benih kepongahan, benih-benih yang tumbuh subur di balik kain yang menempel di tubuh.
Bahaya laten mengintai. Pejabat yang merasa "mentereng" dengan pakaian dan atribut pin atau pangkatnya mudah tergelincir dalam laku dzalim, sebuah ironi kekuasaan. Dan cobaan yang paling berat adalah cobaan yang nampak seperti kenikmatan. Seperti amanah jabatan! Imam al-Mawardi, dengan bijak, bertanya, "Sungguh mengherankan, kalau ada pejabat yang menindas bawahan dan rakyat, padahal ia sadar kehormatannya bersumber dari ketaatan mereka," sebuah pertanyaan yang menggantung di ruang hampa keadilan.
Seorang kepala kantor mencoba mendobrak keangkuhan birokrasi dengan membuka lebar ruang kerjanya, pintu ruangnya sengaja dibiarkan menganga, sebagai upaya sebuah simbol keterbukaan. Namun, jejak-jejak "kepongahan" masa lalu, ibarat kabut tebal, masih menyelimuti. Harapan akan keakraban dengan bawahannya, kerap terhalang oleh seragam birokrasi yang kaku, sebuah tembok tak kasatmata.
Giat yang berusaha membuka obrolan atasan bawahanpun tak sepenuhnya mampu mencairkan suasana. Sekat birokrasi, yang di dunia modern seharusnya musnah, masih kokoh berdiri, sebuah anomali modernitas.
Presiden Jokowi dengan blusukannya, mencoba meruntuhkan tembok pemisah, sebuah upaya mendekatkan diri pada rakyat. Seragam keki ditanggalkan, diganti pakaian putih sederhana, sebuah simbol kesederhanaan. Namun, upaya itu tak sepenuhnya berhasil. Seorang menteri pernah berbisik-bisik bahwa dalam grup WA para pejabat negara itu tidak ditemukan gurauan, hanya ada "siap laksanakan". Selebihnya sepi.
Merakyat, ternyata, bukan perkara mudah. Apalagi, jika anak buah dan rakyat belum siap menerima perubahan, sebuah tantangan perubahan paradigma. Pakaian jabatan, yang seharusnya cukup menutup aurat dan menjaga kesopanan, kini terjebak dalam formalitas protokoler yang rumit, sebuah jebakan formalitas.
Pakaian, mengubah cara pandang orang lain terhadap kita, sebuah ilusi persepsi. "Mata memang sering menipu manusia itu sendiri." cobalah tatap diri dalam pantulan cermin, sebagai sebuah refleksi diri. mengapa ini terjadi.
Kritik terhadap peran pakaian ini yang membuat seseorang pongah sering disampaikan seorang kyai, setiap kali melihat anaknya berpakaian rapi berdasi, Kyai selalu bertanya: "ada acara apa kok pakai kalung kirik?" ia, membunuh kebanggaan sang anak memakai dasi dengan menyamakan dasi dengan kalung seekor anjing, sebuah kritik tajam terhadap simbol-simbol kekuasaan. Pakaian seringkali menjadi topeng keangkuhan.