![]() |
Brigjend Teguh Sedang Menyampaikan Materi |
Mengutip sebentuk kearifan lokal Jawa, "urip iku urup, urip iku urut," Brigjen Susilo dengan mantap menyatakan bahwa kehidupan, termasuk perjalanan mendaki puncak sukses, memiliki ritmenya sendiri. Setiap fase menyimpan hikmah dan pelajaran esensial yang tak bisa dilompati begitu saja. "Jalan pintas bukan menu bagi pemimpin yang berintegritas. Seorang pemimpin tak bisa serta-merta melompat. Urip iku urut," tandasnya, menyiratkan sebuah keniscayaan proses.
Lebih jauh, perwira tinggi ini mengurai benang merah integritas sebagai fundamen utama seorang nakhoda. Integritas, baginya, jauh melampaui sekadar kepatuhan administratif. Ia merangkumnya dalam sejumlah poin krusial yang layak dicatat:
- Bukan Ego Sentris: Pemimpin berintegritas selalu menempatkan kepentingan yang lebih besar di atas ambisi pribadi atau kelompok.
- Disiplin sebagai Jangkar: Disiplin sejati, yang tumbuh dari kesadaran internal dan penghormatan pada aturan, adalah pilar integritas. Bukan sekadar patuh karena takut sanksi, melainkan pemahaman mendalam akan ketertiban.
- Kekuatan di Simpang Godaan: Ujian integritas justru hadir saat pilihan sulit dan menggoda menghadang. Pemimpin berintegritas memiliki keteguhan hati untuk tetap berpegang pada kebenaran.
- Sabar di Tengah Badai: Meraih tujuan seringkali tak semulus jalan tol. Integritas tercermin dalam kesabaran dan daya tahan untuk terus melaju meski ombak tantangan menerpa.
- Tahan Banting: Loyalitas yang keliru dari anak buah atau berbagai godaan lain bisa menggerogoti integritas. Pemimpin berintegritas mampu melewati ujian-ujian itu dengan prinsip yang tak tergoyahkan.
- Benar Meski Sunyi: Integritas sejati bersemi dari panggilan nurani, bukan semata-mata karena sorotan pengawas. Pemimpin berintegritas akan tetap bertindak benar meski tak ada mata yang menyaksikan.
Konsepsi integritas yang dibentangkan Brigjen Susilo juga mencakup kemampuan untuk dipercaya, keberanian menyuarakan kebenaran, dan konsistensi laku. Lebih dari itu, integritas melibatkan ketulusan, kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian mengambil langkah meski tak populer di mata sesaat.
Dalam konteks zaman yang terus berubah, Brigjen Susilo menyoroti ironi rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, padahal literasi dan pemahaman digital adalah bekal penting bagi seorang pemimpin. Literasi, tegasnya, membutuhkan landasan hukum dan referensi yang kuat, bukan sekadar keingintahuan sesaat.
Menghadapi era VUCA yang serba tak pasti, Brigjen Susilo mengingatkan bahwa perubahan terjadi dengan kecepatan eksponensial. Pemimpin tak hanya butuh akses informasi dan literasi digital, tetapi juga kelincahan beradaptasi dan ketepatan mengambil keputusan di tengah kabut ketidakpastian.
Lebih lanjut, sejumlah kelemahan kepemimpinan diidentifikasi: krisis kepercayaan akibat abai hukum, keputusan keliru, pelanggaran etika, dan minimnya serapan aspirasi publik. Konflik kepentingan, minimnya sinergi lintas sektor akibat egoisme dan kurangnya pemahaman teknologi, serta terkikisnya kearifan lokal akibat arus globalisasi juga menjadi catatan penting. Brigjen Susilo mengingatkan filosofi "milik iku nggendong lali," kepemilikan yang berlebihan justru bisa membutakan dan melupakan nilai-nilai esensial.
Pesan Brigjen Susilo Raharjo di forum pelatihan para pucuk pimpinan Kementerian Agama ini menjadi alarm penting. Di tengah godaan jalan pintas dan kompleksitas tantangan zaman, integritas tetaplah kompas yang tak tergantikan untuk menggapai cita-cita bangsa secara bermartabat dan berkelanjutan. Kepemimpinan yang berintegritas adalah kepemimpinan yang membangun kepercayaan, merajut sinergi, dan melestarikan warisan nilai luhur bangsa. Jalan pintas, bagi pemimpin sejati, hanyalah ilusi yang menjauhkan dari tujuan yang sebenarnya.