KH. Syaifullah Amin
Namun, pernyataan ini memicu reaksi dari berbagai kalangan, terutama dari para pendidik agama yang selama mendapatkan zakat .
"Apa termasuk guru-guru ngaji yang dengan ikhlas tanpa gaji dan dipanggil ustadz bagaimana? Monggo bahasanya yang bijak. Kalau ustadz atau ustadzah artis itu barangkali yang tidak berhak. Betapa teririsnya mereka membaca pernyataan ini. Miskin dan fi sabilillah itu maknanya jauh berbeda," ujar seorang Bu Nyai pengasuh pesantren di Malang.
Senada dengan itu, seorang tokoh agama dari Sumberrejo, Malang Selatan, juga mengungkapkan kekecewaannya.
"Aku berjuang agar madrasah bisa memberi gurunya 1 atau 2 bagian zakat supaya mereka lebih sejahtera saat lebaran. Eh, datang narasi yang mengharam-haramkan! Sungguh TERLALU! Usaha kami dihancurkan!" keluhnya.
Seorang kyai dari Kromengan menyatakan bahwa perbedaan pendapat soal fi sabilillah memang masih terus berlangsung.
"Ada yang berpendapat bahwa kyai dan ustadz termasuk fi sabilillah, ada juga yang tidak. Ini memang khilaf," ujarnya.
Menurutnya beberapa ulama sepuh di Tasikmalaya memegang pendapat Imam Qofal dan yang tertulis dalam kitab Subulussalam, yang membolehkan penerimaan zakat bagi kyai dan ustadz.
Gus Dim, seorang kyai yang turut menanggapi polemik ini, mengatakan bahwa perbedaan pendapat dalam fiqih adalah hal yang indah.
"Kadose niku sampun masalah klasik ning. Sejak dulu, setiap zakat fitrah selalu saja yang viral adalah pembahasan ini," ujarnya.
H. Mahmud, pengawas sekaligus tokoh agama dari Pasuruan, menjelaskan bahwa penyebab utama perbedaan adalah sudut pandang penafsiran.
"Ada ulama yang menafsirkan fi sabilillah hanya dalam konteks perang fisik. Namun, ada juga yang menafsirkannya lebih luas sebagai sabilul khair, yaitu segala aktivitas kebaikan untuk kejayaan Islam dan kaum Muslimin," papar H. Mahmud.
Dalam konteks terakhir ini, kyai, guru ngaji, dan guru madrasah bisa dimasukkan dalam kategori fi sabilillah—tetapi dengan syarat mereka memang miskin.
"Kalau kyai atau gurunya sudah tidak miskin, menerima zakat atas nama fi sabilillah untuk dirinya sendiri ya tidak boleh. Ini khususnya zakat fitrah. Lafal rujukanya adalah menjadi makanan orang-orang miskin," ujar H. Mahmud.
Sementara itu KH Saifullah Amin, pengurus LTMNU PBNU, menegaskan bahwa zakat fitrah tidak boleh dijadikan bingkisan.
"Menguban zakat fitrah ke dalam bentuk bingkisan itu tidak boleh. Zakat itu makanan pokok, beras atau uang, " ujarnya.
Soal peruntukan dia berpegang pada pendapat zakat fitrah itu untuk orang miskin.
"Zakat fitrah itu untuk fakir miskin. Kalau orang yang sudah mapan menerima zakat fitrah, itu namanya serakah. Apalagi kalau ustadz atau guru madrasah yang kaya, itu kelewatan," tegasnya.
Menurutnya, zakat fitrah adalah daki—residu atau kotoran yang harus dikeluarkan agar harta menjadi bersih. Tujuan zakat fitrah adalah agar tidak ada orang kelaparan pada hari raya.
"Syarat zakat fitrah adalah memiliki kelebihan makanan selama sehari dua malam Idul Fitri. Ini urusan nyambung nyowo," katanya.
Namun, ketika ditanya tentang kebolehan menerima zakat berdasarkan pendapat Imam Qofal dalam kitab Subulussalam, KH Saifullah Amin mengakui bahwa hal tersebut memang diperbolehkan dalam fiqih menurut Imam Qofal yang mayoritas ulama menganggap dhoif.
"Ya memang boleh. Tapi boleh itu sekadar boleh. Agama itu bukan cuma soal halal dan haram, ada juga aspek ihsan dan tasawuf," ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa meskipun hukum membolehkan, ustadz atau kyai yang sudah kaya sebaiknya tidak menerima zakat fitrah. Selanjutnya KH. Syaifullah Amin menjelaskan soal pendapat Imam Qofal ini dalam pandangan Syafi'i.
"Di Syafiyah (pengikut imam Syafi'i) pendapat mayoritas adalah tidak boleh. Beberapa pendapat yang membolehkan dinilai lemah," jelasnya.
Sedangkan dalam Madzhab Maliki, mayoritas berpendapat pada bolehnya para guru agama menerima zakat sebagai bagian asnaf sabilillah.