Kampus sebagai institusi pendidikan tinggi memiliki hubungan “kawin kontrak” dengan mitos
oleh: M. Fauzan Zenrif
ARTIKEL|JATIMSATUNEWS.COM - Kampus sebagai institusi pendidikan tinggi memiliki hubungan “kawin kontrak” dengan mitos. Sebagai institusi yang mengemban fungsi pengembangan ilmu pengetahuan, kampus menggunakan metode rasional dan empiris dalam menjelaskan dunia. Dalam hal ini, kampus dianggap sesuatu yang berlawanan dengan mitos, sebab mitos dalam kehidupan Masyarakat tradisional berfungsi menjelaskan dunia, fenomena alam, secara simbolis dan naratif. Namun, jika diamati lebih dalam lagi, dalam perkembangnnya ilmu pengetahuan juga menciptakan “mitos baru” dalam wujud ideologi dan paradigma yang kuat sesuai dengan perkembangan zaman, misalnya lahirnya “bayi” bernama teknomisisme.
Keyakinan atau kepercayaan terhadap teknologi serba bisa menjadi problem solver untuk semua permasalahan hidup manusia, sosial, ekonomi, politik, maupun lingkungan, telah menjadi bagian dari “keimanan” kebanyakan saintis dan akademisi. Doktrin terkini dari ajaran “keimanan” teknomisisme adalah keyakinan bahwa kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI) pada saatnya akan menggantikan semua pekerjaan manusia.
Penggunaan teknologi sebagai solusi utama untuk semua persoalan hidup dalam berbagai aspek, misalnya ditandai dengan lahirnya konsep smart city, bisa saja akan mengenyampingkan persoalan sosial, budaya, dan terutama etika. Artinya, pengabaian terhadap efek negatif dari penggunaan teknologi akan leahirkan ketimpangan sosial, eksploitasi sumber daya, dan pada akhirnya akan menjadi ancaman bagi kehidupan manusia, misalnya gangguan terhadap hal yang bersifat privasi dan kebebasan individu. Laksana terkena pepatah senjata makan tuan, lahirnya positivisme pasca The Structure of Scientific Revolutions milik Thomas Kuhn (1922–1996), teori ilmiah yang sudah “dimapankan” telah menjadi “mitos modern” yang dibidani kampus.
Kondisi ini mirip dengan apa yang dinyatakan Edward B. Tylor (1832-1917), antropolog Inggris yang melahirkan Primitive Culture (1871), dimana ilmu pengetahuan, khususnya teknologi, telah dimitoskan dalam budaya manusia modern, mirip dengan ciri dan konteks keyakinan animisme dalam keyakinan budaya primitif. Kampus juga menjadi instrumen pemberi legitimasi terhadap kebenaran akademik dari teknologi, mirip dengan mitos menjadi alat pemberi legitimasi dalam institusi sosial dan norma budaya primitif dalam teori B. Malinowski (1884-1942). Tegasnya, mengikuti nalar C. Lévi-Strauss (1908–2009), teknologi telah menggantikan posisi mitos sebagai petanda struktur berpikir manusia modern.
Tidak berhenti sampai di sini, kampus juga melahirkan mitos lain dari pilar Tri Dharmanya, yaitu mitos-mitos pengabdian pada pengabdian masyarakat. Konsep pengabdian pada masyarakat di perguruan tinggi, berhubungan dengan konsep pendidikan dan tanggung jawab social (Social Responsibility, SR). Konsep SR di dunia pendidikan bisa dirunut pada pemikiran seorang filsuf dan pendidik Amerika, John Dewey (1859-1952) yang mengembangkan konsep pendidikan progresif dan menekankan pembelajaran harus berorientasi pada pengalaman nyata dan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Model service-learning, di mana mahasiswa tidak hanya belajar secara teori tetapi juga menerapkan ilmu mereka untuk memecahkan masalah sosial, disinyalir lahir dari pemikiran ini. Seorang pendidik asal Brasil, Paulo Freire (1921-1997), juga menekankan bahwa pendidikan harus bersifat membebaskan dan membantu masyarakat dalam memahami dan mengatasi permasalahan sosial yang mereka hadapi. Pada awal abad ke-20 ini juga muncul konsep university extension di Amerika dan Eropa yang mendorong perguruan tinggi berkontribusi langsung dalam pembangunan masyarakat.
Di Indonesia konsep ini menjadi bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menegaskan bahwa selain menjalankan pendidikan dan penelitian, perguruan tinggi juga memiliki tanggung jawab untuk mengaplikasikan ilmunya demi kemajuan masyarakat. Namun dalam perkembangan pelaksanaanya, sekali lagi, belakangan kampus melahirkan mitos-mitos pengabdian pada masyarakat tersebut.
Di antara mitos yang berkembang konsep pengabdian pada masyarakat hanya sebagai kegiatan sosial, seperti berceramah, menjadi Khathib pada Shalat Jum’at, bakti social atau kegiatan donasi sosial. Padahal, pengabdian masyarakat bukan hanya kegiatan sosial seperti itu semua. Pengabdian pada masyarakat harus berbasis keilmuan dan memberikan dampak terukur. Sebab, kampus melalui pengabdian pada Masyarakat diharapkan dapat menerapkan hasil penelitian dan inovasi pengetahuan untuk menyelesaikan masalah masyarakat.
Mitos ini berkelindan dengan mitos lainnya, seperti anggapan bahwa pengabdian pada masyarakat tidak sepenting pendidikan dan penelitian. Padahal dalam konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi, pengabdian masyarakat memiliki kedudukan yang sama pentingnya dengan pendidikan dan penelitian. Bahkan, pengabdian sering kali menjadi aplikasi nyata dari hasil penelitian. UIN Maliki Malang pernah memiliki sejarah baik dalam hal ini, yakni pelaksanaan pengabdian secara integratif, Prof Imam Suprayogo, Ketua STAIN pada waktu itu, menyebutnya PKLI (Praktek Kerja Lapangan Integratif), menggantikan nama KKN yang memiliki konotasi negatif di era awal Era Reformasi. Sekalipun pelaksaannya separuh dari konsep integrasi, yakni hanya pembelajaran praktek di lapangan, pengabdian pada masyarakat bukan implementasi dari hasil penelitian, namun di beberapa fakultas sudah memiliki konsep tersebut, setidaknya dapat ditemukan dalam buku pedoman PKLI di LP3M Fakultas Syariah Dimana saya menjabat sebagai Ketua.
Munculnya mitos pengabdian pada Masyarakat di kampus juga terlihat pada pelaksanaan, dimana hanya dosen yang bisa dan dituntut melaksanakan pengabdian pada mayarakat. Sekalipun semua kampus melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan menjadi kewajiban atau syarat lulus pada semua prodi dan semua perguruan tinggi, namun pada mulanya konsep LP3M atau LP2M di sebagian perguruan tinggi tidak memasukkan tenaga kependidikan dan mahasiswa dalam program pengabdian pada Masyarakat. Di UIN Maliki Malang, saya selaku Wakil Dekan pada Fakultas Syariah (2008 – 2013) termasuk dari mereka yang berupaya keras untuk bisa memasukkan tenaga kependidikan dalam penelitian dan pengabdian pada Masyarakat. Sebab, menurut saya pada waktu itu, mahasiswa tenagada kependidikan, bahkan sesungguhnya juga alumni sebagai sarjana, musti harus atau bisa terlibat dalam kegiatan pengabdian pada masyarakat. Pada periode itu, mahasiswa dan tenaga kependidikan baru masuk pada program penelitian saja dan mestinya diperjuangkan bjuga di pengabdian pada Masyarakat.
Hanya saja, dampak dari mitos bahwa pengabdian pada Masyarakat tidak membutuhkan inovasi dan kerja ilmiah sudah mandarah daging, mitos kesejahteraan lewan dana pengabdian Masyarakat juga berkembang di Sebagian perguruan tinggi. Akibatnya, dana pengabdian pada Masyarakat, sesungguhnya juga penelitian, tidak diukur dari seberapa besar kontribusinya pada perubahan, tetapi asal ada kegiatan dan dana dibagi rata, baik berbasis fakultas dan pelaksana.
Begitulah, ketidaklucuan ilmiah di kampus yang mestinya logis, rasional, dan berbasis pada fakta ilmiah, muncul berbagai mitos dan akibatnya sering kali pengabdian masyarakat dianggap sekadar formalitas. Padahal, pengabdian yang berbasis ilmu pengetahuan dapat memberikan dampak nyata bagi masyarakat sekaligus meningkatkan reputasi akademik perguruan tinggi. Jika semua kampus di Kota Malang, misalnya, melaksanakan konsep pengabdian secara benar dan ilmiah, maka Kota Malang akan menjadi Singapore van Java.
Jika 5 kecamatan dibagi pada binaan lima kampus saja, Universitas Brawijaya (UB) membina di Kecamatan Kedungkandang, Universitas Negeri Malang (UM) di Kecamatan Sukun, UIN Maliki Malang di Lowokwaru, UNISMA di Klojen, dan UMM di Blimbing. Padahal kampus di Kota Malang jumlahnya lebih dari 5 tersebut. Bagaimana konsep itu dapat diterapkan agar Kota Malang menjadi Singapore Van Java? Lebih detail tentang itu, saya ingin menfokuskan peran Kampus UIN Maliki Malang yang oleh founding fathers-nya disepakati disebut dengan kampus “Ulul Albab,” insya Allah pada tulisan berikutnya.
Wallahu A’lam