![]() |
Keterangan Foto : Arak-arakan Pawai Obor |
KOTA MALANG | JATIMSATUNEWS.COM -Pada malam 17 Ramadan, umat Islam di Indonesia merayakan momen Nuzulul Quran yakni peristiwa turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW. Bagi sebagian besar umat muslim, malam ini merupakan malam penuh berkah yang memunculkan suasana khusyuk dan penuh makna. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena unik terjadi di beberapa daerah di Indonesia, di mana tradisi dan adat istiadat yang bersifat lokal turut meramaikan malam yang suci ini. Diantaranya adalah mukul bedug dan kotekan di Menara Kudus, pawai kebo-keboan di Banyuwangi, pawai obor di Yogyakarta, Semarang, Blitar, nyadran ke makam Sunan Giri di Gresik, Barikan di Tuban, serta ruwatan di Gunung Merapi. Fenomena ini mengundang perhatian, terutama ketika dikaitkan dengan pendekatan simbolik attraction dan psikologi budaya.
Ritual Tradisi dan Adat Istiadat: Sebuah Bentuk Perayaan Kultural
Setiap ritual yang dilaksanakan pada malam 17 Ramadan memiliki kekhasan tersendiri, menggambarkan karakter dan kearifan lokal masyarakat setempat. Seperti yang kita lihat di Menara Kudus, mukul bedug dan kotekan menjadi semacam penanda dimulainya malam Nuzulul Quran. Bedug yang terdengar bergemuruh adalah simbolisasi dari suara yang mengajak umat untuk mengingat Allah, sementara kotekan, sebuah alat musik khas, mengiringi irama dalam nuansa religius.
Di Banyuwangi, tradisi pawai Kebo-Keboan bukan hanya sekadar pawai, tetapi juga sebuah ritual transformasi spiritual. Para peserta mengenakan kostum hewan kerbau, yang menggambarkan kekuatan dan kebesaran alam. Pawai ini merujuk pada kisah lokal yang penuh dengan makna dan menunjukkan hubungan erat masyarakat dengan alam.
Sementara itu, di Yogyakarta, pawai obor menjadi simbol dari cahaya yang menerangi kegelapan, baik secara harfiah maupun simbolis. Cahaya obor dianggap sebagai simbol petunjuk dan keberkahan, yang menyertai umat dalam perjalanan spiritual mereka di bulan Ramadhan.
Fenomena nyadran ke makam Sunan Giri di Gresik juga memiliki akar sejarah yang kuat. Penganut tradisi ini meyakini bahwa mengunjungi makam para wali bisa mendatangkan keberkahan dan membawa kedamaian. Sebagai bagian dari psikologi budaya, nyadran menekankan penghormatan terhadap leluhur dan pengakuan atas kontribusi mereka dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.
Tradisi Barikan di Tuban dan Selametan di Banyuwangi lebih banyak dikaitkan dengan konsep keselamatan dan kesejahteraan. Keduanya memiliki makna sebagai bentuk doa bersama agar masyarakat terhindar dari bahaya dan malapetaka. Sedangkan, ruwatan di Gunung Merapi merupakan bentuk penyucian diri yang melibatkan ritual-ritual tertentu untuk mengusir kekuatan jahat dan menghindari bencana. Semua ini mengandung makna yang mendalam dalam konteks psikologi kolektif masyarakat.
Pendekatan Simbolik Attraction: Ritual sebagai Penyatuan Komunitas
Melihat fenomena ini melalui pendekatan simbolik attraction, kita dapat memahami bahwa setiap ritual tradisi ini merupakan simbol yang memikat secara emosional bagi masyarakat. Ritual-ritual ini bukan hanya menjadi sebuah tradisi, tetapi juga bagian dari pencarian makna dalam kehidupan spiritual.
Simbolik attraction mengacu pada daya tarik simbol-simbol budaya yang menghubungkan individu dengan komunitas dan menciptakan pengalaman kolektif. Dalam konteks malam 17 Ramadhan, tradisi ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk merayakan agama mereka dengan cara yang khas dan bersifat lokal. Bedug di Menara Kudus, misalnya, menjadi simbol panggilan untuk berdoa dan berzikir bersama. Kebo-Keboan di Banyuwangi bukan hanya sekadar atraksi budaya, tetapi simbol kekuatan masyarakat yang saling bekerja sama dalam merayakan spiritualitas mereka.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Clifford Geertz dalam bukunya The Interpretation of Cultures (1973), “ _Culture_ _is_ _a_ _system_ _of_ _inherited_ _conceptions_ expressed in symbolic _forms_ _by_ _means_ _of_ _which_ _men_ _communicate_ , _perpetuate_ , _and_ _develop_ _their_ _knowledge_ _about_ _and_ _attitudes_ toward _life_ .” (Budaya adalah sistem konsepsi yang diwariskan yang diekspresikan dalam bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan serta sikap mereka terhadap kehidupan). Dalam hal ini, masyarakat Indonesia menggunakan simbol-simbol ritual untuk memperkuat rasa keterhubungan mereka dengan agama, leluhur, dan satu sama lain. Ritual-ritual tersebut menawarkan pengalaman yang menghubungkan setiap individu dengan tradisi, dengan komunitas, dan dengan sejarah panjang yang telah membentuk budaya mereka.
Psikologi Budaya: Mencari Kedamaian dan Ketenteraman
Dari perspektif psikologi budaya, fenomena ini lebih dari sekadar perayaan keagamaan. Ritual-ritual ini memainkan peran penting dalam membentuk dan memperkuat identitas sosial serta memberikan rasa aman dan stabilitas psikologis kepada masyarakat. Dalam masyarakat yang sedang mengalami ketegangan sosial atau perubahan cepat, ritual-ritual ini memberikan landasan untuk menemukan kedamaian dan ketenteraman.
Ruth Benedict, seorang antropolog terkenal, menjelaskan dalam bukunya The Chrysanthemum and the Sword (1946), bahwa “ _The_ _patterns_ _of_ _culture_ _are_ _the_ _collective_ _responses_ _of_ _a_ _society_ _to_ _the_ _stresses_ _that_ _life_ _imposes_ _on_ _its_ _members_ .” (Pola-pola budaya adalah respons kolektif suatu masyarakat terhadap stres yang ditimbulkan oleh kehidupan kepada anggotanya). Ritual-ritual yang dilaksanakan pada malam 17 Ramadan berfungsi sebagai cara untuk mengelola stres sosial dan eksistensial yang mungkin dirasakan oleh individu dalam komunitas. Mereka memberikan landasan psikologis yang kuat bagi masyarakat untuk merasakan perlindungan, kedamaian, dan ketentraman, baik dalam konteks duniawi maupun spiritual.
Seperti halnya pawai obor, yang menciptakan rasa aman melalui cahaya, tradisi-tradisi ini menyediakan elemen psikologis yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Cahaya obor dapat dipandang sebagai simbol harapan yang mengalahkan kegelapan, sedangkan ruwatan Gunung Merapi, yang bertujuan untuk menanggulangi bencana alam, memberikan rasa perlindungan dan keberlanjutan bagi mereka yang mengikuti ritual tersebut. Dalam konteks ini, tradisi bukan hanya memiliki dimensi sosial, tetapi juga merupakan cara untuk mengatasi kecemasan, ketakutan, dan ketidakpastian.
Ritual-ritual ini menawarkan sebuah bentuk penyatuan yang lebih dalam, baik secara emosional maupun spiritual. Mereka membentuk kesadaran kolektif yang mampu mengintegrasikan individu-individu ke dalam satu sistem kepercayaan yang lebih besar, menciptakan rasa keterhubungan yang mendalam dengan lingkungan sekitar, dan menawarkan solusi psikologis terhadap tantangan hidup sehari-hari.
Kesimpulan: Tradisi Sebagai Sarana Perpaduan Budaya dan Spiritual
Fenomena tradisi yang berlangsung pada malam 17 Ramadan, termasuk berbagai ritual lokal yang telah disebutkan, menggambarkan sebuah jalinan kuat antara agama, budaya, dan psikologi sosial. Masing-masing tradisi ini merupakan upaya masyarakat untuk menemukan makna dalam setiap aspek kehidupan mereka. Melalui simbolik attraction, tradisi tersebut mampu menyatukan individu dalam sebuah pengalaman kolektif yang bermakna, sementara melalui psikologi budaya, ritual-ritual ini memberikan kedamaian dan stabilitas emosional dalam menghadapi tantangan kehidupan. Meskipun memiliki ragam bentuk dan nuansa, semua tradisi ini menunjukkan bahwa budaya dan agama bisa berjalan seiring, saling mendukung, dan menguatkan satu sama lain, memberi makna yang mendalam pada malam 17 Ramadhan yang penuh berkah.
Penulis : Isa Wahyudi (Ki Demang)
Penggagas Kampung Budaya Polowijen
Dan Peserta Program Doktor Psikologi Budaya UMM