Banner Iklan

Di Bawah Gemerlap “Kota Pendidikan” Malang: Mas Idnas dan Permasalahan Pendidikan Masyarakat Asli Malang

Admin JSN
28 Maret 2025 | 12.57 WIB Last Updated 2025-03-28T13:46:05Z

 

Oleh:  M. Fauzan Zenrif: Guru Besar Ilmu al Qur'an dan Tafsif UIN Maliki Malang

Inti dari gerakan kebersamaan dan tanggung jawab sosial kampus ini adalah untuk menjadikan Kota Malang sebagai kota yang dihuni oleh Educated People, bukan hanya "Kota Pendidikan
"

ARTIKEL|JATIMSATUNEWS.COM - Saya ingin mengucapkan terima kasih pada Jatim Satu yang memiliki inisiatif membincang permasalahan Pendidikan di Kota Pendidikan Malang. Sekilas tema ini tidak menarik karena Malang sudah lama diperkenalkan sebagai Kota Pendidikan, namun ketika dimasuki ke kedalamannya, kita bisa menemukan kajian menarik tentang persamalahan dengan sebutan Malang sebagai Kota Pendidikan.  

Saya sudah lama mempelajari tentang dampak sebutan Malang sebagai Kota Pendidikan terhadap realitas Masyarakat asli Malang. Sama dengan para akademisi lain, mulanya saya tidak begitu tertarik dengan fakta Masyarakat asli Malang di Kota Pendidikan ini. Setiap hari pergi ke dan pulang dari kampus tanpa memperhatikan apa yang terjadi di sekitar saya, sampai kemudian saya berteman dengan seorang laki-laki muda, sebut saja Mas Idnas .

Mas Idnas adalah satu dari Arek Ketawang Gede. Saat saya menjadi mahasiswa, Mas Idnas termasuk remaja yang disegani karena keberaniannya. Banyak cerita tentang Mas Idnas yang tidak mengenyam Pendidikan Tinggi, seperti saya yang kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel di Malang (1988 – 1992), kini menjadi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Dalam kehidupan sehari hari, saya yang tinggal di Gang VI Ketawang Gede berdekatan dengan rumah Mas Idnas di Gang VII. Saat saya pergi kuliah, saya melihat Mas Idnas hanya duduk duduk di jalan dimana saya sering lewat pergi ke kampus. Begitu perbedaan kehidupan saya dan Mas Idnas yang tak pernah menjadi perhatian khusus bagi saya sebagai mahasiswa hingga saya lulus.

Saya lama sekali tidak ketemu dengan Mas Idnas sampai kemudian saya kembali ke almamater sebagai dosen, setelah saya lulus dari S2 Program Pascasarjana di IAIN Alauddin Ujungpandang (1996-1998), sekarang UIN Alauddin Makassar. Pertemuan kembali dengan Mas Idnas mulanya tidak terlalu menarik perhatian saya. Nampaknya, sekalipun saya mantan Ketua Biro Konsultasi Penelitian Pendidikan (BKPP) (1991-1992), Ketua Ikatan Peneliti Muda Indonesia Timur (IPM-IT) (1992-1993) dan Ketua LSI “Falsafatuna” (1996-1998), kehidupan Mas Idnas tidak pernah menjadi perhatian khusus. Kehidupan dia yang menjadi pengangguran saya anggap hal yang wajar-wajar saja, karena dia memang tidak mengenyam pendidikan. Jika saya kemudian menjadikan dia sebagai penarik jasa parkir di depan Business Centre UIN Malang, dimana saya menjadi Manager saat itu (2001 – 2004), juga bukan atas nama kesadaran sosial saya, melainkan kepentingan keamanan toko dan kantor Koperasi. Sama sekali bukan karena saya peduli ada kehidupan Mas Idnas dan keluarganya.

Saya agak tersentak dan kemudian menjadikan saya menyadari persoalan Pendidikan Masyarakat Asli Kota Malang di tengah gemerlap nama besar Kota Pendidikan Malang ini, setelah mengetahui hampir semua tetangga dimana saya pernah kos, yang dulu tidak berpendidikan, sekarang kehidupannya tidak lebih baik dari Mas Idnas. Saya perhatikan mereka yang ada di Joyo, Suko, Ketanggede, Gang III dan Gang V, dan bahkan di Sumbersari, tempat terdekat dengan kampus megah itu, semua pemuda yang dulu saya tahu dikenal sebagai, mohon maaf, “anak gelandangan,” kini kehidupannya sama sekali tidak jauh berbeda dengan Mas Idnas. Nah, sejak saat itulah saya mulai memperhatikan secara serius bagaimana permasalahan Pendidikan Masyarakat asli Kota Malang menjadi, maaf sekali lagi, “uneducated people” di tengah sebuah Kota Pendidikan yang memiliki perguruan tinggi yang mentereng, sebut saja Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, Intsitut Teknologi Nasional (ITN), Universitas Islam Malang (UNISMA), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Widya Ghama, dan beberapa nama perguruan tinggi lain di Kota Pendidikan ini. Itu yang kemudian saya menjadi sangat gelisah.

Kegelisahan saya kian mendalam Ketika saya memperhatikan kondisi perekonomian masyarakat di sekitar kampus-kampus megah itu. Setiap hari mobil dosen dan mahasiswa dari luar kota yang mencari penghidupan di Kota Pendidikan Malang hanya menyisakan kepulan asap bagi penduduk asli Kota Malang. Tanah yang dulu dimiliki oleh nenek moyang mereka, sudah tidak lagi menjadi milik ahli warisnya. Lahan itu sudah dijual habis oleh anak-anaknya. Mereka hanya menyisakan satu rumah untuk berteduh Bersama dua, tiga, atau empat anaknya. Hamparan sawah yang dulu menghijau, kini sudah diganti dengan beton-beton kuat, setidaknya menjadi dinding yang menancap dengan pongahnya dan disebut dengan “Perumahan Indah”. Ahli waris pemilik lahan itu tidak ada, atau mungkin jarang, yang menjadi penghuni dalam nama-nama indah perumahan yang mengitari semua kampus. Perumahan itu diisi oleh para pendatang yang bekerja di Kota Malang. Di antara ahli waris penduduk sekitar kampus, hanya mampu menjadi cleaning service, security, atau paling banternya menjadi tenaga kependidikan, alias karyawan. Itu pun harus melalui “titipan” ke ordal (orang dalam), sebab paling tingginya mereka hanya mengantongi ijazah SD atau SLTP.

Yang menjadi pikiran saya, apakah tidak mungkin ada kebijakan bersama, atas nama kemanusia dan keadilan bagi penduduk asli Kota Malang, antara Wali Kota Malang dengan para Rektor untuk mengangkat harkat dan martabat Pendidikan Arek Asli Malang? Misalnya saja, saya kira para Rektor tidak akan keberatan untuk memberikan beasiswa bagi penduduk asli Kota Malang, satu kursi di setiap prodi saja. Karena setiap kampus harus tetap menjaga kualitas, maka mekanisme dibuat Jalur Seleksi “Beasiswa Tanggung Jawab Sosial.” Seleksi dilakukan mulai dari Tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, kemudian Tes di tingkat kota untuk sejumlah kursi yang sudah disediakan oleh setiap pada pada semua Perguruan Tinggi di seluruh Kota Malang. Seleksi ini harus dilakukan secara ketat dengan penagwasan Dinas Pendidikan agar tidak terjadi jual kursi kampus oleh Dinas. 

Jika ini bisa dilakukan, maka seandainya di UIN Maliki Malang memiliki misalnya 25 prodi, maka setidaknya ada 25 remaja asli Kota Malang yang memiliki kesempatan untuk berkotestasi menjadi SDM terdidik yang bersaing dengan para “pendatang.” Jika ini berjalan sesuai dengan rencana, maka dalam lima tahun setidaknya sudah ada 125 remaja berpendidikan sarjana. Jika ini dikalikan dengan jumlah prodi di seluruh perguruan tinggi, maka jumlahnya akan menajdi fantastis. Program ini oleh Wali Kota, misalnya saja, disebut dengan Program Satu RT-Satu Sarjana (PSRT-SS), bagi penduduk asli Kota Malang. Jika program ini sudah berjalan, maka kelak bisa dikembangkan pada Kabupaten Malang dan Kota Batu. Inilah bentuk konkrit tanggung jawab social institusi Pendidikan tinggi bagi Masyarakat yang ada di sekitarnya. Mas Idnas lain di masa depan akan menjadi sarjana, bahkan mungkin Magister, Doktor dan kemudian Profesor dari penduduk asli Kota Malang

Lebih dari itu semua, inti dari gerakan kebersamaan dan tanggung jawab sosial kampus ini adalah untuk menjadikan Kota Malang sebagai "Kota Berpendidikan", dalam artian kota yang dihuni oleh Educated People, bukan hanya "Kota Pendidikan". Kota Malang akan menjadi sebuah kota yang digambarkan dalam al-Qur’an sebagai kota:

Kota yang digambarkan. Kota Malang akan menjadi sebuah Kota yang digambarkan dalam al-Qur’an sebagai Kota:

 لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

Sungguh bagi Kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Rabb) di kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan:) “Makanlah dari rizki yang dianugerahkan Tuhan kalian dan bersyukurlah kepadaNya!’. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr”. [Saba’/34:15]. Kebun-kebun Pendidikan di kanan kiri Kota Malang akan menjadikan sorga bagi penduduk asli Kota Malang. Mereka bisa mencari nafkah dan memberikan cahaya di kebun-kebun ilmu pengetahuan sehingga Malang berhak menyandang "Kota Berpendidikan".

Wallahu A’lam


Oleh: M. Fauzan Zenrif: Guru Besar Ilmu al Qur'an dan Tafsif UIN Maliki Malang





Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Di Bawah Gemerlap “Kota Pendidikan” Malang: Mas Idnas dan Permasalahan Pendidikan Masyarakat Asli Malang

Trending Now