Pasang iklan disini

 

Tangisan dan Jeritan Hati Guru: Mencari Sesuatu yang Hilang

Admin JSN
03 Februari 2025 | 11.44 WIB Last Updated 2025-02-03T04:44:22Z
cr: Tirto.id

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Entah mengapa, pikiranku selalu melayang saat memikirkan kondisi sebagian murid-murid saat ini. Perasaanku mengatakan bahwa ada sesuatu yang hilang di dunia pendidikan, terutama sikap murid kepada guru.

Berbeda dengan kisah masa lalu, ketika ayahku dipanggil oleh gurunya, Kia Bisri Cholil, “Kam ke Gondanglegi, dan kamu akan jadi pekerja, apa kamu siap? Lalu ayahku bilang, “Siap”, dan jadilah orang tuaku menjadi pejuang ke-Islaman tanpa kenal lelah, di daerah yang ditunjukkan Kiai.

Berbeda ceritanya dengan Kiai Imron Hamzah, saat mondok di Rejoso Peterongan Jombang, karena dikenal nakal, sempat disuruh pulang oleh Kia Romli Tamim, namun ternyata orang tua beliau, Kiai Imron mengantarkannya kembali ke pondok pesantren lagi, agar tetap diterima dan terus menjadi santri di Rejoso. Hingga kita mengenal beliau sebagai ulama kharismatik di jawa Timur.

Berbeda juga dengan kisah Kiai Romli Tamim, saat menjadi murid Kia Kholil Bangkalan. Kiai Romli Tamim yang sedang merencanakan melihat wayang kulit di dengan temannya setelah salat isyak, ternyata dipanggil oleh Kiai Cholil, “Cong, kamu ke sini dengan temanmu” lalu datanglah keduanya mendekat Sang Kiai dan tidak lama kemudian Kia Kholil memerintahkan keduanya jongkok lalu masing-masing dimasukkan kurungan ayam dengan diberitahu, “Jangan keluar kalua bukan saya yang mengeluarkan”. Hingga akhirnya, pagi hari saat Kiai Kholil akan mengimami salat subuh, kedua santri itu berkokok, dan barulah dikeluarkan dengan do’a semoga di masa akan dating menjadi orang yang berguna.

Berbeda pula dengan kisah Sunan Kalijogo yang memohon bisa diterima menjadi murid Sunan Bonang walau dengan syarat apapun, lalu diperintahlah ia untuk tetap berdian di lokasi tongkat bambo yang ditancapkan Sunan Bonang, hingga tongkat itu pun tumbuh menjadi “barongan”, kerumunan pohon bamboo saat Sunan Bonang menengoknya, setelah bertahun-tahun ditinggalkan.

 Berbeda juga di belahan dunia yang lain, seperti di Cina. Bagaimana seorang murid padepokan silat bersedia disuruh apa saja oleh gurunya dengan aktifitas tertentu atau latihan apapun yang sifatnya memberatkan secara fisik, namun dilakukan dengan tulus hati dan penuh kesungguhan demi memperoleh ilmu dari guru yang dipilihnya.

Apa yang hilang pada murid-murid kita sekarang ini?

Pertama, tingkat kepercayaan kepada gurunya bahwa guru dengan cara yang dimiliki, akan mampu mengarahkan murid itu pada tujuan atau cita-cita yang diharapkan.

Kedua, rasa hormat atau tawadhu’ kepada guru, hingga tidak jarang tidak menghargai kepada guru, pada saat guru menerangkan materi pembelajaran. Pada sebagian murid justru asyik berbicara dengan temannya tentang sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran, atau bermain dengan sesuatu yang ada di sekitarnya. Ketika murid itu sibuk berkata kepada temannya, bukankah ia menginginkan agar temannya lebih mendengarkan dirinya daripada kepada gurunya yang sedang menerangkan, atau merasa murid yang bicara itu lebih penting keberadaannya daripada gurunya.

Ketiga, rasa cinta murid kepada gurunya juga mengalami penurunan. Padahal cinta inilah energi terkuat dalam upaya mencari ilmu agar menjadi orang berilmu. Dalam sebuah hadits, Rasulullah pernah bersabda bahwa, hendaklah kita mebjadi orang berilmu, atau mencari ilmu, atau berusaha mendengar, atau yang mencintai, dan jangan menjadi yang kelima, yaitu yang memiliki rasa benci. Sabda Rasulullah itu secara tersirat merupakan proses antiklimaks bahwa, pertama milikilah rasa cinta, maka muncul kondisi kedua, yaitu mendengar. Dengan mendengar, akan tercapai kondisi ketiga, sebagai pencari ilmu yang sebenarnya, yang akan mengantarkannya ke kondisi keempat, yaitu menjadi orang yang berilmu.

Keempat, empati kepada guru dan lembaga tempat belajar. Hal ini bisa kita ketahui, bagaimana guru pada masa dulu jika dating ke sekolah maka murid berusaha membantu membawakan tas atau barang bawaannya agar guru itu tidak merasakan beban keberatan membawa barang bawaannya. Begitu juga, saat saya melihat seorang kiai entah dari mana saat istighotsah kubro di Makodam V Brawijaya Surabaya di tahun 1998, yang mengalami kesulitan dalam berjalan kaki, ternyata dating dengan dibopong oleh santri-santri yang mengitarinya. Begitu juga kita menjumpai orang berebut menatakan sandal kiai yang ditinggalkan saat mau masuk masjid atau majlis tertentu. Namun untuk saat ini, secara umum, guru yang kesulitan membawakan LCD proyektor ke kelas, oleh para murid dibiarkan mengalami kesulitan; guru yang risih dengan suara ramai saat mau mengucapkan salam, dibiarkan oleh para murid, hingga suara teguran keras muncul dari guru; guru yang membutuhkan anak untuk mengambilkan buku di perpustakaan, lama juga menunggu murid yang siap membantunya hingga didahului saling menyuruh teman.

Kelima, kolaborasi yang kurang dari murid dalam rangka pembelajaran. Rendahnya kemampuan berkolaborasi itu pun tampak saat murid mendapatkan tugas dari guru. Tidak jarang, murid tertentu dengan penuh tanggung jawab berusaha menyelesaikan tugas guru seolah-olah sebagai game yang menantang untuk ditaklikkan. Adapun sebagian anak, hanya “titip nama” tanpa ada aktifitas yang memadai sebagai teman berkolaborasi. Demikian juga kolaborasi yang diperlukan oleh guru, tidak semuanya dipenuhi. Setiap orang tua dan murid menghendaki guru yang sungguh-sungguh, namun tidak semua murid bersungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas atau melaksanakan tugasnya sebagai pelajar.

Keenam, hilangnya kepasrahan murid kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kita bisa menyaksikan, bagaimana saat murid berdoa, maka masih kita jumpai yang bermain-main pulpen, bergurai atau dengan melamun. Demikian juga keikhlasan dalam melakukan aktifitasnya, atau motivasi intrinsic, dari hati yang masih kurang kuat.

Itulah sebagian yang hilang dari murid-murid kita, semoga kita bisa mengembalikan lagi sesuatu hilang itu pada generasi penerus kita. Tentu masih ada factor yang lain yang perlu diperbaiki dari segi guru dan lainnya.

Wallahu A’lamu bi al-shawab.
Gondanglegi, 28 Rajab 1446 H./28 Januari 2025 M.
Muhammad Yahya Sy

-----

BIODATA

Muhammad Yahya Sy.

Lahir di Malang, 19 Juli 1971

Pendidikan S1 di IAIN Sunan Ampel Malang Tahun 1994. Tahun 2010 melanjutkan Pendidikan Program Magister pada program studi Manajemen Pendidikan Islam di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang lulus S2 pada tahun 2012.

Sejak 1993 penulis sudah menjadi guru di MTs Khairuddin Gondanglegi Kab. Malang hingga tahun 2010. Tahun 1999 hingga tahun 2016 menjadi guru PAI di SMPN 1 Gedangan Kab. Malang. Tahun 2016 hingga sekarang menjadi guru PAI di SMPN 1 Gondanglegi Kab. Malang.

Pengalaman organisasi, menjadi sekretaris MGMP PAI SMP Kab. Malang mulai tahun 2010 s.d. sekarang. Pengurus Ranting NU Gondanglegi Wetan dan UPZISNU Ranting Gondanglegi Wetan tahun 2023 s.d. sekarang.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Tangisan dan Jeritan Hati Guru: Mencari Sesuatu yang Hilang

Trending Now