Pasang iklan disini

 

Tangisan dan Jeritan Hati Guru: Mencari Akar Masalah dan Solusi Konflik Guru dan Murid

Admin JSN
02 Februari 2025 | 19.50 WIB Last Updated 2025-02-02T16:14:43Z

 

cr: Pontianak Post

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Sebagai guru, saya merasakan bahwa dalam setiap hari kerap dihadapkan pada masalah perbedaan pandangan dengan murid-murid saya. Perbedaan pandangan itu tidak lain karena sebagai guru mengemban amanah untuk meluruskan pola pandang, pola pikir para murid agar sesuai dengan norma agama, norma masyarakat dan kebutuhan mereka di masa akan datang.

Fenomena berupa seringnya terjadi perbedaan pandangan antara saya dan murid saya, jika saya tidak mampu mengelola diri agar sabar dan sadar atas kondisi yang ada, tentu menimbulkan masalah yang tidak diinginkan. Bukankah sebagai guru, saya selalu berada dalam area permasalahan, karena selalu berada dalam kesenjangan antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi sebenarnya.

Posisi sebagai guru, kadang saya sadari seolah sebagai tukang tarik atau tukang dorong suatu benda agar posisinya selalu semakin dengan dengan lokasi tujuan. Ibarat mendorong mobil, kadang saya dapati murid itu seolah mobil mogok dengan kondisi yang sedikit sekali kemungkinan untuk bisa dijalankan. Saya dorong sampai bercucuran keringat dengan sekuat tenaga dan pikiran, ternyata si sopir yang di dalam mobil tetap tidak mendengar komando agar melepaskan rem tangan dan menyalakan mesin mobil. Sementara orang tua murid berharap agar mobil itu sampai tujuan dengan selamat sesuai waktu yang diharapkan.

Dengan bermodalkan sedikit pengetahuan saya dalam psikologi, dimana telah saya baca berkali-kali buku bahasa wajah dan bahasa tubuh, sering saya deteksi atau jumpai, sesekali murid di kelas dengan kondisi pandangan kosong, melamun atau beraktifitas lain dengan hanya sibuk bermain kertas, bermain gelang, pulpen, bahkan ada yang berlangganan tidur saat pelajaran, mengaca di cermin kecil yang dibawanya tanpa henti jika tidak ditegur, tidak hanya saat saya mengajar, melainkan di saat guru-guru yang lain yang mengajar, mereka juga memiliki kebiasaan yang sama.

Teguran demi teguran pun sering saya layangkan, agar pembelajaran yang dilakukan ada guna dan manfaat, namun tidak jarang setelah itu kondisi berulang kembali, dan harus mengingatkan lagi. Dalam kondisi seperti itu, saya rasa wajar jika kesabaran saya, suatu saat mengalami devisit, meski sabar yang diharapkan adalah sabar yang tiada batas.

Meskipun kondisi seperti itu tidak sampai menjadi populasi mayoritas murid-murid kami, namun banyaknya kasus yang terulang-ulang, cukup membuat hati kecewa. Selaku guru, saya selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik kepada murid-murid saya, dengan harapan bahwa mereka akan menjadi lebih baik dari saya di masa akan datang, dengan permasalahan yang semakin komplek.

Obat kekecewaan bagi saya, cukuplah bila melihat sebagian dari murid-murid saya masih lebih banyak yang memiliki respon positif terhadap pembelajaran yang saya berikan. Prestasi dan perubahan budi pekerti menjadi lebih baik, itulah indikator yang saya pantau untuk memastikan keberhasilan saya sementara waktu dalam mengantarkan murid-murid saya pada tercapainya tujuan mulia pendidikan.

Suatu waktu, terjadi juga kegundahan yang luar biasa ketika murid berkata kotor, “misuh” dengan sesuka hati, meski ditujukan kepada temannya, dan temannya diam saja sambal tertawa-tawa. Apalagi saya mendengar dan mengetahui foto bukti guru agama di sekolah lain dikata-katai dengan kata-kata kotor, setelah melalui lisan, masih ditambahi dengan ungkapan “misuh” secara tertulis. 

Di situlah sebagai guru, saya prihatin dan seolah membenarkan jika guru yang menjadi sasaran perbuatan murid tak terpuji itu marah dan hilang kesabaran hingga berurusan dengan kepolisian. Guru dihadapkan pada ancaman pidana jika melakukan kekerasan, baik secara verbal, fisik maupun mental, tanpa melihat alasan yang melatarbelakanginya seperti karena hilangnya kesabaran saat berhadapan dengan murid yang bengal. Sementara murid yang leluasa melakukan pelanggaran norma tata krama atau susila, tanpa menaruh rasa hormat kepada guru, bebas leluasa tanpa jeratan hukum sama sekali.

Kasus yang terjadi baru-baru ini, dimana seorang guru memukul atau “menapuk” ringan kepada siswa, sebetulnya karena rasa jengkel atau risih mendengar siswa yang “misuh” atau berkata kotor di hadapan guru. Demikian juga pada kasus besar sebelumnya seperti kasus Supriyani, ada kesamaan atau benang merah bahwa ketika murid bersalah atau melakukan pelanggaran etika, lalu mendapatkan teguran dari guru, tidak lain karena bentuk perhatian guru kepada murid agar menjadi murid yang baik. Lalu kemudian dengan seenaknya diabaikan oleh murid itu hingga menginjak kehormatan guru. 

Lalu, ketika guru merasa kehormatan atau marwahnya diinjak-injak oleh murid, sehingga hilang kesabarannya, maka guru dengan tanpa banyak pertimbangan, melakukan reaksi spontan dalam bentuk “apapun” maka murid dan orang tuanya seolah-olah dengan mudah mendapatkan peluang melakukan kriminalisasi kepada guru dengan hujatan, umpatan atau serangan fisik. Jika dirasa kurang, masih ada kesempatan melalui bantuan orang tua atau LSM atau makelar kasus untuk memperkarakan guru ke ranah pelanggaran hukum.

Akhirnya di hadapan hukum, guru dihadapkan pada kondisi serba salah karena berhadapan dengan murid yang seolah-olah “serba benar”, “kebal hukum” dan selalu mendapatkan dukungan orang tuanya meskipun melakukan kesalahan. Orang tua seperti lupa atau tidak mau mengetahui akan kondisi kepribadian anaknya. Berbeda dengan orang tua zaman dahulu, ketika anaknya menyampaikan bahwa dia mendapatkan hukuman dari guru, maka orang tua justru memarahi anaknya, karena tidak mungkin guru memberikan hukuman, atau marah, jika anak tidak melakukan kesalahan.

Akar Masalah

Sebagai guru, saya menyadari bahwa setiap guru memiliki latar belakang dan karakter yang berbeda-beda karena:  Pertama, memiliki standar norma yang relative baku, saklek karena latar belakang pendidikan, ajaran moral yang diperolehnya tentang bagaimana seharusnya kriteria kesopanan yang harus dimiliki anak dan cara mendidik anak. Karena pandangan yang saklek itu, guru kadang kurang mampu memodifikasi keputusan ketika mendapatkan masalah yang bersifat kekinian. 

Pola penanganan yang diterapkan pada masa lalu menurut buku atau berada dalam ingatannya saat diajar oleh guru pada masa lalu, yang dinilai mampu menghantarkannya menjadi berhasil, diterapkan pada murid-murid yang dididiknya di era kekinian. Inilah yang rentan menjadi masalah.

Kedua, kurangnya pengetahuan tentang aturan perundangan yang berlaku dan kurangnya kemampuan konteksualisasi ajaran agama atau norma masa lalu untuk situasi atau kondisi kekinian. Ibaratnya, pada masa lalu, ketika seorang isteri dinilai melakukan pelanggaran aturan rumah tangga atau abai dalam menjaga marwahnya sebagai isteri, maka suami dianjurkan untuk melakukan teguran hingga pemukulan kepada isteri. Namun, dalam konteks kekinian, perbuatan memukul justru akan menimbulkan masalah baru yang menjadikan suami terjerat pasal kekerasan dalam rumah tangga. 

Demikian halnya dalam mendidik anak, kalau pada zaman dahulu, anak yang tidak salat, maka orang tua diperbolehkan “memukul” anak dalam rangka mendidik, untuk menimbulkan efek jera, maka hal itu tidak dapat dilakukan lagi karena akan terjerat pasal penganiayaan anak. Sehingga perlu aktualisasi ajaran Islam tentang bagaimana menjadikan murid atau anak jera, tanpa terjerat aturan.

Pada sebagian murid, sebenarnya juga terdapat potensi penyebab munculnya masalah, di antaranya: pertama, murid masih dalam pencarian nilai-nilai sebagai pedoman hidup dan belum semuanya menemukan dan memiliki standar norma yang benar, bahkan ada yang sudah meyakini norma yang didapatkan dari media social dan teman pergaulannya sebagai norma yang patut dipedomani. Perbedaan nilai inilah yang mesti disadari oleh orang tua, yang menjadi penyebab perbedaan pandangan antara guru dengan murid. 

Murid yang terlalu terlena dengan dunia maya, menjadikan dirinya tidak peduli dengan dunia nyata, dan menganggap dirinya tidak bersalah, bahkan kebal hukum dan bebas memilih aturan manapun, mengingat tidak adanya batasan norma baik-buruk di dunia maya. Apa yang ditayangkan di dunia maya, disimpulkannya sebagai hal yang diperbolehkan selama tidak ada informasi bahwa konten tertentu dibredel atau ditutup oleh pemerintah. Setelah ada pelarangan atau sanksi, barulah disadari sebagai larangan.

Adapun Orang tua atau wali murid tidak jarang atau cenderung membela anak, karena anaknya yang sering menampakkan sikap penurut dan koperatif kepada orang tuanya saat di rumah, padahal berbeda sekali saat berada di luar rumah, termasuk di sekolah dalam pencitraan diri. Padahal, tidak menutup kemungkinan bagai anak sudah mulai dapat melakukan manipulasi. Di sinilah, salah satu indikator lemahnya keluarga sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan utama bagi anak, sekaligus indikator lemahnya kontrol keluarga terhadap apa yang dilakukan anak.

Kontrol masyarakat di lingkungan sekitar tempat tinggal murid sudah mulai berkurang. Ketika murid melakukan penyimpangan perilaku, anggota masyarakat cenderung apatis terhadap penyimpangan perilaku peserta didik di masyarakat, karena jera atau khawatir menghadapi konflik dengan keluarganya dan akhirnya lebih memilih sikap acuh hingga muncul sikap individualis. Hal ini juga tidak lepas dari sikap “protektif” orang tua kepada anaknya ketika berada di lingkungan masyarakat, dimana ketika anak melakukan kesalahan dari segi sikap, ucapan maupun perbuatan, orang tua terlalu melindungi anak.

Adanya oknum “makelar kasus” yang mengambil kesempatan di air keruh saat terjadi guru kehilangan kesabaran terhadap muridnya, juga berkontribusi terhadap munculnya sikap arogansi murid dan orang tua terhadap guru, karena setiap ada kasus yang dianggap bisa menjerat guru, guru bisa dijadikan sasaran bullying secara psikologis dan dianggapnya sebagai kesempatan untuk mendapatkan peluang rezeki melalui “pemerasan” kepada guru, meski yang dilakukan guru tidak sampai pada tarap penganiayaan.

Media sosial dan pengisi konten yang ada, yang lebih mengarah ke komersial dengan memburu: berapa banyak pemirsa, komentator dan subscriber yang tertarik mengikuti, sehingga tidak jarang menggunakan konten porno, asusila, prank, berita hoax atau adegan kurang etis, cenderung tidak memikirkan norma, menampilkan apa yang tampak beda, tanpa memikirkan dampaknya di dunia pendidikan.

Pemerintah pun tampak kewalahan mengendalikan media sosial, yang berdampak negatif pada pertumbuhan dan perkembangan mental generasi muda, karena banyaknya konten di media sosial tidak sebanding dengan kemampuan untuk melakukan pengawasan. Apalagi konten yang kurang mendidik itu pun tidak jarang, justru mendapatkan antusiasme luar biasa dari masyarakat penggemarnya.

Sebagai guru, saya merasakan bahwa konflik yang sering muncul antara guru dan murid, lebih terletak pada perbedaan pandangan antara guru dan murid, pada sikap menghormati, tawadhu’ dan mentaati yang mestinya dimiliki oleh setiap murid. Bagaimanapun sebagai guru, meskipun tidak minta dihormati, merupakan kewajiban bagi murid untuk menghormati dan mentaati guru sebagaimana norma kepribadian bangsa kita.

Saran untuk Solusi

Bantulah kami, para orang tua, masyarakat dan para pemerhati, agar para murid mau mencintai gurunya dengan sepenuh hati agar mau mendengar pesan-pesan atau arahan hingga menembus hati, agar para murid dapat belajar dan mengerti untuk modal di masa depan nanti, sebagai generasi penerus, karena sekali lagi, sebagian besar permasalahan terjadi antara guru dan murid karena sikap mental, sopan santun atau budi pekerti yang tak jarang merendahkan harga diri guru oleh murid-murid yang kurang berbudi.

Ketika kami sebagai guru mengalami kelelahan, hingga hilang kesabaran kepada murid, jangan langsung salahkan kami, tolong telusuri bahwa tidak ada asap jika tak ada api. Tidak mungkin ada tindakan kalau tidak ada kesalahan pada murid. Mari kita berbagi informasi untuk menemukan tindakan yang tepat, antara guru dan orang tua. Jangan asal bela kepada anak ketika mereka jauh dari kebenaran atau budi pekerti luhur. Barangkali guru juga perlu mendapatkan sosialisasi, baik secara aktif maupun pasif tentang rambu-rambu pelayanan kepada murid, yang tidak menyalahi aturan, yang bisa menjeratnya ke ranah pelanggaran hokum.

Bantulah kami, wahai para orang tua dengan turut menasehati kepada para anak atau murid saat di rumah, bagaimana cara bertata krama atau bersopan santun dalam bermasyarakat, baik kepada orang tua, guru sesama teman, atau sesama manusia, agar tidak hanya guru di sekolah yang menyampaikannya, sehingga hanya guru yang dinilai “rewel”.

Sekolah juga perlu sesekali mendatangkan narasumber dari luar lembaga untuk memberikan pengarahan kepada peserta didik, untuk menunjukkan bahwa aturan atau norma yang disampaikan oleh para guru, tidak hanya berlaku di internal sekolah, melainkan juga diterapkan di lingkungan lainnya dengan penerimaan yang baik oleh para murid di lingkungan mereka berada.

Perlu ada yang mengingatkan, agar media sosial dalam negeri turut serta dalam upaya mendidik anak dengan menyebarkan informasi yang positif dan menginhari konten negatif; serta ada upaya agar para murid mampu memfilter informasi yang didapat dari dunia maya atau media sosial untuk kebaikannya dalam kehidupan.

Barangkali sebagai solusi, lembaga pendidikan perlu menerapkan pencatatan pelanggaran tata tertib berupa skor pelanggaran, dengan kontrak perjanjian atau kontak belajar sebelum pelaksanaan belajar melalui penegakan tata tertib sejak awal menjadi murid di lembaga Pendidikan dengan sepengetahuan orang tua mereka. Mirip dengan apa yang dilakukan Nabi Khidhir a.s., saat menguji kesetiaan Nabi Musa a.s. dengan menghitung frekuensi dan tingkat pelanggaran atau ketidaktaatan yang tertuang sebelum peraturan ditegakkan.

Hal itu juga bisa dipahami bahwa hukuman, tidak harus berupa kekerasan, melainkan bisa juga dalam bentuk skor-skor tertentu sebelum adanya proses “putus hubungan”, dikeluarkannya murid dari lembaga pendidikan. Bukan sebagai tindakan kebencian kepada murid, melainkan untuk menghindari konflik berkelanjutan, karena tidak sabar dan untuk menghindari menyebarnya keburukan pada murid-murid lainnya.

Sebagai solusi tambahan, media sosial harus diupayakan untuk menyebarkan berita jika sikap ketidakadilan yang menimpa guru, seperti yang telah terjadi pada Pak Rufian, guru PAI di sebuah sekolah di Dampit, yang didukung dengan tim advokasi guru yang siap membantu jika ada kriminalisasi guru. Tentu hal ini harus didukung pula oleh organisasi profesi guru, seperti: Musyawarah Guru Mata Pelajaran PAI (MGMP PAI), Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang mendampingi jika terjadi perilaku kesewenang-wenangan kepada guru.

Wallahu A’lamu bi al-shawab.
Gondanglegi, 28 Rajab 1446 H./28 Januari 2025 M.
Muhammad Yahya Sy

-----
BIODATA
Muhammad Yahya Sy.

Lahir di Malang, 19 Juli 1971

Pendidikan S1 di IAIN Sunan Ampel Malang Tahun 1994. Tahun 2010 melanjutkan Pendidikan Program Magister pada program studi Manajemen Pendidikan Islam di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang lulus S2 pada tahun 2012.

Sejak 1993 penulis sudah menjadi guru di MTs Khairuddin Gondanglegi Kab. Malang hingga tahun 2010. Tahun 1999 hingga tahun 2016 menjadi guru PAI di SMPN 1 Gedangan Kab. Malang. Tahun 2016 hingga sekarang menjadi guru PAI di SMPN 1 Gondanglegi Kab. Malang.

Pengalaman organisasi, menjadi sekretaris MGMP PAI SMP Kab. Malang mulai tahun 2010 s.d. sekarang. Pengurus Ranting NU Gondanglegi Wetan dan UPZISNU Ranting Gondanglegi Wetan tahun 2023 s.d. sekarang.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Tangisan dan Jeritan Hati Guru: Mencari Akar Masalah dan Solusi Konflik Guru dan Murid

Trending Now