Pasang iklan disini

 

Suara Hati Guru Ketika Hukum Mengancam

Admin JSN
02 Februari 2025 | 20.53 WIB Last Updated 2025-02-02T13:53:15Z

 

cr: Pikiran Rakyat

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Akhir-akhir ini marak kembali Guru dilaporkan kepada pihak kepolisian dengan dugaan telah melakukan kekerasan terhadap anak didiknya, Kejadian ini tidak hanya terjadi di lembaga pendidikan formal seperti SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK, kasus lapor melapor sudah merambah ke dunia Pondok Pesantren, seperti kasus yang pernah terjadi di salah satu Pondok Pesantren di Jember.

Melihat kejadian-kedian ini, fungsi dan tugas Guru secara tidak langsung telah di RAMPAS oleh Negara (Pemerintah dan DPR) melalui adanya UU Perlindungan Anak, oleh sebab itu sangat wajar bila kejadian-kajadian yang tengah menimpa di dalam dunia pendidikan tidak mendapat atensi yang cukup baik dari pemerintah maupun DPR RI, mungkin tidak cukup seksi secara politik untuk di angkat dan dijadikan pembahasan untuk mencari akar masalahnya. 

Sementara ini, yang menjadi objek “Bersalah” adalah Guru yang memang bertugas untuk mencetak karakter dengan cara mendisiplinkan dan menertibkan para anak didiknya. Sehingga tidak jarang, Guru bersama Yayasan berjuang sendirian untuk melawan proses Hukum agar bisa lepas dari jeratan hukum disisi lain upaya menyelamatkan nama baik lemabaga pendidikannya. 

Sementara ini, Guru hanya di iming-imingi dengan tunjangan Sertifikasi dan sejenisnya dengan berbagai syarat dan ketentuan. Di satu sisi pemerintah tidak pernah melihat dan bahkan menjadikan bagaimana memproteksi Guru agar ketika menjalankan Tugas dan Fungsinya tidak dijadikan sapi perah oleh oknom-oknom yang tidak berkepentingan. 

Hal ini bisa kita perhatikan dari sekian Presiden dan Menteri yang pernah ada, semua yang dibahas hanya yang berkaitan dengan bumbu-bumbu “Kesejahteraan dengan Ketidak Ikhlasan” diseretai dengan tumpukan-tumpukan aturan yang bertentangan dengan substansi “Impian Kesejahteraan” itu sendiri. Makan dapat penulis katakana bahwa arah kebijakan pemerintah dalam melihat pentingnya eksistensi dunia pendidikan mengalami disorientasi, terlalu materialistis dan setengah-setengah.

PROTEKSI GURU HANYA SEBATAS YURISPRUDENSI 

 Kalau ada pertanyaan, apakah sudah ada perangkat Hukum untuk memproteksi Guru? Jawabannya: Kayaknya ada. Jawaban yang kurang meyakinkan bagi semua Guru adalah benar dan tidak bisa terbantahkan lagi.

Perangkat Hukum yang memprateksi Guru agar tidak di amputasi oleh oknom adalah Yurisprudensi Mahkamah Agung nomor: 1554 K/PID/2013 tentang perkara pidana atas nama Aop Saipudin, guru di Majalengka yang dilaporkan ke Polisi karena memberikan hukuman cukur rambut kepada empat muridnya yang berambut gondrong.

Semuala, Aop didakwa melanggar dua pasal pada UU Perlindungan Anak. 

 Pertama, Pasal 77 huruf a yang menyatakan bahwa ”Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril, sehingga menghambat fungsi sosialnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta.” 

 Kedua, Pasal 80 ayat 1 yang menyatakan bahwa ”Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.” 

Aop juga dijerat dengan Pasal 335 Ayat 1 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan sehingga pada 2 Mei 2013 Pengadilan Negeri Majalengka memutuskan Aop bersalah dan dikenai hukuman percobaan. Proses banding yang diajukan di Pengadilan Tinggi Bandung justru putusan Majelis Hakim PN Majalengka.

Aop akhirnya berhasil memperoleh keadilan, dia dibebaskan dari segala bentuk dakwaan pada tingkat kasasi setelah Hakim MA membacakan pandangan bahwa Aop mempunyai tugas untuk mendisiplinkan muridnya yang berambut gondrong. Apa yang dilakukan Aop sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana sehingga tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatannya itu karena bertujuan untuk mendidik. 

 Sebuah langkah strategis dan berani yang dilakukan para Hakim Agung dalam upaya menafsir ulang pasal 80 ayat (1) yang dianggap masih bersifat umum sehingga dianggap terjadi kekosongan hukum, khusus yang berkaitan dengan Guru sebagai pendidik. Sementara Pasal 77 huruf (a) UU Perlindungan Anak dan Pasal 335 ayat (1) KUHP lebih dipaksa paksakan. Karena kalau di pelajari dua pasal tersebut tidak ada korelasinya dengan tindak pidana yang sangkakan, namun yang demikian sudah lumrah dalam permainan logika hukum sekalipun terkadang di paksakan agar “kasus” yang terjadi “kayak” benar-benar pelanggaran pidana yang Serius. 

 Oleh sebab itu, dalam kasus Aop, keberanian Mahkamah Agung menafsirkan Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak lebih kepada bahwa keberadaan pasal tersebut masih bersifat umum sehingga belum bisa diberlakukan secara general. Karena Kekerasan dan Mendidik adalah dua hal berbeda yang tidak bisa diberlakukan sama. Sementara Pasal 80 ayat (1) objeknya tidak jelas alias Pasal Hantam Kerumun. Ibarat orang yang lagi Mabuk Cinta, siapapun yang mendekati kekasihnya di Sikat Habis.. hahaha….

a. Definisi Yurisprudensi 

Pertanyaannya, apakah cukup Yurisprudensi untuk memproteksi Guru dalam menjalankan perannya? 

Sebelum menjawab pertanyaan diatas akan penulis uraikan terlebih dahulu apa itu Yurisprudensi. 

Yurisprudensi merupakan sumber hukum yang dibentuk oleh keputusan hakim. 

Kapan yurisprudensi digunakan? Terkait ini, penting untuk diketahui bahwa tidak semua putusan hakim dapat menjadi yurisprudensi. Kemudian, penerimaan yurisprudensi sebagai suatu hukum disebabkan oleh tiga alasan utama. 

Pertama, karena adanya kewajiban hakim untuk menetapkan dan memutus perkara yang diajukan meski belum ada peraturan yang mengatur hal tersebut. 

Kedua, salah satu fungsi pengadilan dalam pembaruan dan pembangunan hukum adalah menciptakan sumber hukum baru. 

Ketiga, adanya hasil penafsiran hakim terhadap ketentuan perundang-undangan dalam mencari, mewujudkan, dan menegakkan keadilan.

b. Hirarki Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum 

Yurisprudensi sebagai putusan Hakim Agung merupakan salah satu implementasi kekuasaan Hakim yang bersifat merdeka yang disebutkan dalam UU no. 48 tahun 2008 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang di ajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pasal 10 ayat (1) merupakan dasar bisa dilahirkannya Yurisprudensi oleh Mahkamah Agung untuk mengisi kekosongan atau kekurang jelasan Hukum pada suatu masalah pidana maupun perdata yang terjadi dimasyarakat. 

Bermula dari pasal 10 ayat (1) kemudian terdapat beberapa macam Yurisprudensi sebagai berikut: 

  • Yurisprudensi Tetap: suatu putusan dari hakim yang terjadi oleh karena rangkaian putusan yang sama dan dijadikan sebagai dasar bagi Pengadilan untuk memutuskan suatu perkara
  • Yurisprudensi Tidak Tetap: suatu putusan hakim terdahulu yang tidak dijadikan sebagai dasar bagi pengadilan 
  • Yurisprudendi Semi Yuridis: suatu penetapan pengadilan yang didasarkan pada permohonan seseorang yang berlaku khusus hanya pada permohonan. Contoh Penetapan Status Tanah 
  • Yurisprudensi Administrasi: adalah SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) yang berlaku hanya secara administrative dan mengikat intra di dalam lingkungan Pebngadilan.

Sementara hirarki Yusrisprudensi dalam Tata Urutan Sumber Hukum Formal di Indonesia sebagai berikut: 

  • Undang Undang
  • Adat Kebiasaan
  • Yurisprudensi 
  • Traktat 
  • Doktrin Ilmu Hukum

Sekalipun hirarki Yusrisprudensi sebagai salah satu sumber hukum berada dibawah Adat Istiadat, bukan berarti tidak memiliki kekuatan hukum selama tidak bertentangan dengan UU dan Hukum Adat itu sendiri. Namu bila kita pelajari, justru keluarnya Yurisprudensi oleh Mahkamah Agung bersumber karena UU yang ada dianggap belum mampu mengakomodir permasalahan Tindak Pidana maupun Perdata yang terjadi sehingga diperlukan penafsiran ulang secara legal agar tidak terjadi kekosongan hukum di masyarakat. Rialiatas tersebut dapat difahami oleh semua pihak bahwa eksistensi Yurisprudensi tidak bisa diabaikan begitu saja oleh para penegak hukum selama memiliki korelasi dengan suatu perkara yang lain. 

c. Status Yurisprudensi 

Kalau penulis pelajari sejak dikeluarkannya Yurisprudensi Mahkamah Agung nomor: 1554 K/PID/2013 sebagai dasar untuk memproteksi peranan Guru sebagai pendidik sudah cukup lama, namun peristiwa hukum dalam berupaya untuk meng-amputasi peran Guru oleh sebagian oknum terus berlanjut, seakan eksistensi Yurisprudensi hanya sebatas prodak gagal yang tidak mampu memberikan harapan bagi semua Guru yang ada. 

Akhirnya setiap terjadinya peristiwa hukum yang menimpa seorang Guru, Yurisprudensi tersebut tidak lagi dijadikan pijakan oleh penegak hukum khususnya pihak Kepolisian, semua laporan peristiwa pidana “kekerasan” Guru langsung ditetapkan sebagai “Tersangka”. 

Seperti Kasus yang menimpa Guru PAI di Kecamatan Dampit, langsung ditersangkakan (sekalipun hanya sebatas wajib lapor) dengan dasar pengakuan korban yang masih di “bawah umur”. Lucunya lagi, konon, diminta uang damai Rp. 70 jt sebagai uang damai.!! Bukankah ini namanya Tindak Pidana Pemerasan.!! 

Perlu juga difahami bahwa ketentuan Pasal 80 ayat (1) terkait denda 72 juta merupakan ancaman maksimal, dan hanya bisa dieksekusi atas Putusan Pengadilan, bukan justru dijadikan suatu kesempatan untuk mendapat keuntungan finansial secara pribadi dengan mengatasnamakan “Perdamaian”. 

Untuk itu, seharusnya penegak hukum menyadari bahwa Yusrisprudensi bukan prodak jalanan yang bisa diabaikan begitu saja. Yurisprudensi adalah prodak ilmiah yang legal dan diakui oleh system perundang-undangan Indonesia. Hal tersebut bisa dilihat dalam UU no. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 6 ayat (1) huruf (g dan i) dalam upaya memberikan rasa adil, ketertiban dan kepastian hukum di dalam masyarakat. Legalitas Yurisprudensi sebagai prodak hukum yang dijadikan salah sumber hukum diperkuat oleh UU no. 48 tahun 2008 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (1) agar keadilan hukum dan kepastian hukum benar-benar dapat hadir ditengah-tengah masyarakat. 

Pertanyaannya adalah, mengapa setiap adanya peristiwa hukum “kekerasan” yang konon dilakukan oleh para Guru masih harus di Tetapkan sebagai Tersangka? Menurut penulis, keberadaan Yurisprudensi masih belum banyak difahami oleh kalangan masyarakat. Seharusnya yang menjadi perhatian, khususnya, Yurisprudensi tentang Proteksi Guru bukan hanya sekedar bentuk kasusnya, melainkan substansi alasan yang mendasari hadirnya Yurisprudensi Mahkamah Agung. 

Contoh didalam Yurisprudensi Mahkamah Agung nomor: 1554 K/PID/2013 tentang perkara pidana atas nama Aop Saipudin yang dijadikan pokok perkara adalah memotong rambut yang dilakukan seorang Guru, tetapi alasan dibebaskannya dari tindak pidana oleh Mahkamah Agung adalah karena Guru memiliki tugas dan tanggung jawab yaitu Mendisiplinkan. Berdasarkan alasan dikeluarkannya Yurisprudensi tersebut, bentuk kasus-kasus di dalam dunia pendidikan yang berkaitan dengan tugas Guru terhadap siswanya harus tetap dijadikan dasar hukum dengan tafsiran yang sama. 

RESTORATIVE JUSTICE 

Restorative justice adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemilihan kembali pada keadaan semula. Pengertian restorative justice atau keadilan restoratif ini termuat dalam Pasal 1 huruf 3 Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021. 

Arti restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak terkait. Prinsip dasar restorative justice adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. 

Dasar Hukum Restorative Justice Dasar hukum restorative justice pada perkara tindak pidana ringan termuat dalam beberapa peraturan berikut ini: 

  • Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
  • Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP)
  • Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP
  • Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP 06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Restorative Justice
  • Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan umum Nomor 301 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Tindak Pidana Ringan
  • Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif
  • Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif 

Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice adalah pada perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 483 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal ini hukum yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda Rp 2,5 juta.2 

Restorative Justice dalam perkara kekerasan yang salalu dijadikan dasar dalam mengamputasi peran Guru tidak bisa dan sulit untuk diterapkan. Kesulitan ini terletak adanya keterbatasan jangkauannya dengan ancaman pidana serta denda maksimalnya yaitu ancaman 3 bulan penjara atau denda Rp. 2,5 juta yang dijadikan standar utama. 

Sementara didalam Undang-undang Perlindungan Anak Pasal 77 huruf (a) dengan ancaman 5 tahun atau denda Rp. 100 juta dan Pasal 80 ayat (1) ancaman 3 tahun 6 bulan atau denda Rp. 72 juta. Pasal tersebut sangat “seksi” dan menjadi idola para pihak terkait dalam berupaya mengamputasi peran Guru sebagai pendidik. 

Adanya keterbatasan tersebut, Restorative Justice sebagai salah satu solusi dalam menyelsaikan masalah “hukum” yang kerap terjadi terhadap Guru tidak bisa dijadikan dasar hukum. 

SOLUSI KONKRIT ADALAH REVISI 

Keberadaan UU Perlindungan Anak tidak kemudian di hakimi sebagai sumber masalah di dalam dunia pendidikan yang tengah terjadi, hanya ada beberapa Pasal didalamnya perlu diperbaiki atau dilakukan revisi terbatas terutama yang berkaitan peran guru sebagai pendidik dan orang tua sebagai pihak yang bertanggungjawab kelak di akhirat. Tanggungjawab yang begitu besar ini tentunya tidak bisa hanya di amputasi dengan atas nama “Kekerasan, Diskriminasi” dan lain sebagainya yang secara akademik masih diperdebatkan karena bunyi pasalnya masih ambigu. 

Yang terbaru korban dari UU Perlindungan Anak dan UU KDRT adalah kasus penangkpan orang tua oleh polisi atas laporan anaknya karena di cubit dengan alasan melakukan Kekerasan (Seru.co.id, 13 Desember 2024). 

Kalau dipelajari pakai hati nurani, apakah wajar dan relevan orang tua kandung tadi ditangkap dan ditersangkakan.!! 

Oleh sebab itu, Pemerintah bersama DPR RI seharus lebih peka terhadap fenomina yang terjadi di dunia pendidikan akhir-akhir ini dengan cara melakukan perbaikan pada Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU KDRT, sebagai berikut.

a. Revisi Terbatas 

Merevisi suatu Undang-undang dalam sebuah Negara adalah menjadi tanggungjawab Negara, dalam hal ini Eksekutif bersama Legislatif. Kedua-duanya diberi kewenangan oleh Konstitusi untuk mengajukan hak inisiatif dan rancangan revisi Undang-undang. Agar hasilnya lebih objektif, maka dalam melakukan revisi harus melibatkan komponen masyarakat yang dapat mewakilinya. Selain melibatkan Ahli Hukum, organisasi guru seperti PERGUNU, PGRI, MKKS, Pesantren dan sejenisnya harus diberi ruang diskusi yang cukup agar dapat menyampaikan permasalahan dalam upaya menerapkan perannya sebagai Pendidik. 

b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang." 

Kegentingan yang memaksa memiliki pengertian yang multitafsir dan menjadi wewenang dari Presiden untuk menafsirkan kegentingan yang memaksa tersebut dalam pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang., dalam menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, harus ada batasan yang objektif mengenai kegentingan yang memaksa tersebut. 

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa kegentingan yang memaksa harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut memerlukan kepastian untuk diselesaikan. 

c. Sinkronisasi Peraturan Perndang-Undangan 

Tidak hanya bagaimana melakukan Revisi terbatas terhadap UU Perlindungan Anak dan UU KDRT. Ada beberapa Undang-undang menyatakan bahwa seorang guru memiliki hak untuk mendapat perlindungan, diantaranya: 

  • UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 38 ayat (1) menyatakan bahw aguru memiliki hak untuk mendapatkan hukum dan keselamatan kerja
  • UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 38 ayat (1) menyatakan bahwa guiru memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan diskriminasi dan pelecehan seksual
  • Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang Guru Pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa Guru mrmiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan dan pelecehan

Sinkronisasi terhadap Peraturan Perundang-Undangan terkait merupakan langkah mendesak untuk dilakukan oleh Pemerintah bersama DPR RI. Sebab bila tiada sinkronisasi sebagaimana disebutkan diatas akan membuka peluang bagi oknum untuk mencari celah hukum untuk mengamputasi peran Guru sebagai pendidik. 

Dari tiga syarat Putusan Mahkamah Konstitusi diatas, sudah selayaknya Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atas Undang-undang Perlindungan Anak yang selama ini menjadi momok bagi Guru sebagai pendidik, mengingat kondisi saat ini peran Guru sebagai pendidik secara tidak langsung sudah lama di “amputasi” dengan atas nama Hukum. Potret ini sudah berjalan cukup lama menghantui para Guru sebagai pendidik tetapi belum pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah. 

Mengapa solusinya harus dengan Revisi atau Perpu Pengganti Undang-undang.? 

Dalam system hukum Indonesia, keberadaan Yurisprudensi tidak begitu cukup untuk dijadikan pelindung dan penopang Guru dalam melaksanakan perannya yang begitu besar sebagai pendidik. Karena Yurisprudensi sendiri tidak memeliki kekuatan mengikat secara absolut, Yurisprudensi hanya dapat dijadikan acuan bagi pengadilan, tetapi tidak mengikat secara mutlak, artinya masih memberi ruang adanya penafsiran baru oleh Hakim Mahkamah Agung sesuai dengan perkembangan social masyarakat. Jadi tidak cukup alasan apabila Pemerintah bersama DPR RI hanya berpangku tangan bertahun-tahun melihat realitas ini. 

Sementara tujuan dari Revisi tersebut sebagai upaya memperjelas terkait dengan bunyi pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak dan pasal-pasal terkait lainnya adalah untuk: 

  • Mengatur definisi dan batasan kekerasan untuk menghindari interpretasi yang terlalu berlebihan
  • Menambahkan pasal tentang perlindungan guru dan tuduhan palsu
  • Mengatur prosedur pengaduan dan penyelesaikan konflik yang adil dan transparan
  • Mengatur sangsi untuk tindakan kekerasan dan tuduhan palsu terhadap seorang Guru

Seringnya “sedikit-sedikit” melaporkan Guru ketika melaksanakan tugasnya sebagai pendidik yang disertai dengan dan pemerasan oleh oknom, karena memang Undang-undang memberikan peluang untuk itu, disatu sisi pemerintah bersama DPR RI tidak memberikan solusi jangja panjang sehingga terkesan di masyarakat ada unsur pembiaran dari pemerintah itu sendiri. 

KESIMPULAN 

Dari sekian pemaparan diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa Pemerintah bersama DPR RI harus segera melakukan tindakan konkrit dan taktis dalam menyikapi fenomina yang terjadi di dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini. Seorang Guru dalam menjalankan peran mulianya dalam mendidik generasi bangsa yang lebih baik kedepan baik dari segi intelektualitas dan mentalitasnya benar-benar dapat berfungsi dengan baik. Sementara eksistensi Yurisprudensi sebagai paying hukum dalam upaya melindungi peran Guru sebagai pendidik tidak cukup kuat alias sangat lemah. Oleh sebab itu, Guru membutuhkan perangkat aturan yang benar-benar bisa melindunginya, yaitu Pemerintah bersama DPR RI Merevisi Undang-undang Perlindungan Anak.


Oleh: SABUR MS, S.H.I, M.H

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Suara Hati Guru Ketika Hukum Mengancam

Trending Now