cr: pinterest |
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Kejadian itu berlangsung sekitar enam tahun yang lalu, di sebuah kelas ketika kegiatan pembelajaran sedang berlangsung. Seperti biasa, saya—seorang guru tata tertib—berkeliling kelas memastikan setiap siswa fokus pada pelajaran. Namun, pandangan saya tertuju pada seorang siswi berjilbab. Rambutnya terlihat menjuntai keluar, sesuatu yang sudah beberapa kali saya ingatkan untuk dirapikan agar sesuai dengan aturan berpakaian.
Meski sering diingatkan, siswi tersebut tetap mengabaikan himbauan
saya. Hari itu, rasa sabar saya diuji. Peringatan kembali saya sampaikan,
tetapi tetap tidak dihiraukan. Emosi saya pun tersulut. Dalam upaya
mendisiplinkan, saya memotong rambut siswi tersebut, berpikir ini adalah
langkah agar rambutnya tidak lagi terlihat ketika berjilbab.
Namun, tindakan ini ternyata memicu reaksi yang tidak terduga.
Beberapa hari kemudian, paman siswi tersebut datang ke sekolah, ditemani oleh
ibu siswi. Mereka ingin menemui saya untuk mempertanyakan tindakan tersebut.
Situasi menjadi tegang karena paman siswi ini memiliki sifat temperamental dan
dikenal sering mengonsumsi minuman keras. Ia bahkan mengancam akan melaporkan
saya ke pihak berwajib dengan tuduhan melakukan pelanggaran.
Pihak sekolah, dalam hal ini, berdiri di sisi saya. Mereka berusaha
memberikan penjelasan kepada keluarga siswi bahwa niat saya adalah mendidik,
bukan untuk merugikan. Meski demikian, paman siswi tetap bersikeras. Situasi
ini akhirnya diselesaikan melalui mediasi. Dalam pertemuan tersebut, ayah dan
ibu siswi, yang lebih tenang, akhirnya memahami maksud dan tujuan saya. Mereka
juga mengakui bahwa anaknya memang bersalah karena tidak mengikuti peraturan
yang sudah ditetapkan.
Mediasi itu berhasil meredam konflik, dan laporan ke polisi pun
dibatalkan. Namun, pengalaman ini meninggalkan luka dan pelajaran besar bagi
saya sebagai pendidik. Betapa sulitnya menjadi seorang guru di era saat ini.
Dulu, profesi guru dihormati sebagai pembimbing moral dan intelektual, tetapi
kini wibawa guru kerap kali dipertanyakan.
Seorang guru yang mencoba mendisiplinkan muridnya bisa dengan mudah
dianggap melanggar batas dan diseret ke ranah hukum. Jika emosi tak terkendali,
guru bukan hanya kehilangan kehormatan, tetapi juga berpotensi kehilangan
kebebasan.
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa menjadi pendidik di era
modern membutuhkan lebih dari sekadar ilmu. Kesabaran, pengendalian emosi, dan
kemampuan berkomunikasi dengan orang tua siswa menjadi hal yang sangat penting.
Meski demikian, saya tetap berharap bahwa penghormatan kepada guru sebagai
pendidik bangsa dapat kembali ditanamkan di hati setiap individu.
Semoga kejadian seperti ini tidak lagi terulang di masa depan.
Semoga setiap guru diberi kesabaran dan kebijaksanaan untuk mendidik generasi
penerus bangsa. Aamiin yaa rabbal 'aalamiin.
----
Biodata Penulis
Mu'ifatul Hayati, S.Ag, lahir di Malang pada tanggal 31 Desember 1972. Saat ini berdomisili di Desa Sumberagung, RT 05 RW 01, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.Sebagai seorang sarjana agama, Mu'ifatul Hayati dikenal sebagai pribadi yang berdedikasi dan berkontribusi aktif dalam masyarakat sekitar. Keberadaannya di lingkungan ini memberikan dampak positif, baik dalam bidang sosial maupun keagamaan.