cr: detikNews |
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Menjadi seorang guru adalah sebuah amanah yang penuh tantangan. Ketika saya ditugaskan oleh madrasah sebagai pelatih pasukan pengibar bendera (paskibra), saya menerima tugas itu dengan penuh semangat. Dengan disiplin ketat, latihan yang terstruktur, dan semangat juang yang tinggi, akhirnya tim paskibra dari kelas enam berhasil mendapatkan kepercayaan dari kantor Kementerian Agama setempat.
Mereka diberi kehormatan untuk menjadi tim pengibar bendera pada upacara 17
Agustus tingkat kota. Prestasi ini mendapat apresiasi luar biasa dari madrasah,
Kementerian Agama, serta masyarakat, terutama para wali murid. Namun, di balik
kesuksesan itu, ada pengalaman pahit yang tak mudah saya lupakan. Pengalaman
yang sempat mengguncang kepercayaan diri saya sebagai guru dan pelatih.
Suatu
hari, panggilan dari kepala madrasah membuat hati saya berdebar. "Bapak,
bisa ke ruangan saya? Ada wali murid yang ingin mengonfirmasi tentang perlakuan
bapak terhadap anaknya." saya terkejut. Tak menyangka ada orang tua yang
merasa keberatan dengan metode pendisiplinan yang saya terapkan.
Murid yang dimaksud adalah Ando (bukan nama sebenarnya), salah satu anggota tim panji merah putih. Ia memiliki postur tegap, semangat tinggi, serta wajah yang rupawan. Dalam latihan, saya menerapkan metode pendisiplinan dengan tepukan di punggung atau betis sebagai bentuk dorongan semangat.
Namun, ternyata hal ini
menimbulkan ketidaknyamanan bagi Ando hingga ia mengadu kepada orang tuanya.
Juga menimbulkan masalah yang lebih besar ketika orangtua Ando mengetahui dan
merasa keberatan, serta menuduh saya sebagai guru telah melakukan perundungan
terhadap anak mereka.
Tuduhan perundungan ini datang begitu cepat dan tanpa kompromi. Orangtua Ando menganggap bahwa teguran yang diberikan oleh saya telah mempermalukan anak mereka, bahkan menganggapnya sebagai bentuk kekerasan psikologis yang bisa menimbulkan trauma bagi Ando. Bagi mereka, cara saya menangani masalah kedisiplinan tersebut bukan hanya tidak tepat, tetapi juga melanggar hak anak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan, dan bahkan tidak profesional.
Tuduhan ini jelas menjadi sebuah dilemanya bagi saya seorang guru. Di satu
sisi, guru berjuang untuk menegakkan kedisiplinan dan membentuk karakter anak,
namun di sisi lain, ia juga terancam menghadapi masalah hukum yang bisa merusak
reputasinya sebagai pendidik.
Di ruangan kepala madrasah, saya bertemu dengan wali murid tersebut. Dengan nada keberatan, mereka menyampaikan ketidaksenangan terhadap perlakuan saya. Saya pun menjelaskan bahwa metode tersebut diterapkan kepada seluruh tim, bukan hanya kepada Ando, dengan tujuan membentuk mental dan fisik mereka agar lebih disiplin dan siap tampil di hadapan publik.
Saya menjelaskan bahwa saya tidak memiliki niat untuk melakukan
pembulian terhadap Ando atau siswa lainnya. Saya juga menjelaskan bahwa
pendisiplinan yang saya lakukan adalah untuk membantu siswa menjadi lebih
disiplin, lebih bertanggung dan lebih mandiri dalam segala hal.
Setelah
diskusi yang cukup panjang, wali murid Ando memahami bahwa saya tidak memiliki
niat untuk melakukan pembulian terhadap anaknya. Mereka juga memahami bahwa
pendisiplinan yang saya lakukan adalah untuk membantu siswa menyadari diri akan
jati dirinya, memiliki karakter dan siap untuk menghadapi tantangan di masa
yang akan datang. Akhirnya kami mencapai pemahaman bersama. Orang tua Ando
dapat menerima penjelasan saya, dan konflik pun mereda. Pada endingnya, tim panji merah putih tampil
dengan gemilang di upacara 17 Agustus.
Namun,
pengalaman ini meninggalkan bekas mendalam dalam hati saya. Saya menyadari
betapa sulitnya menjadi seorang guru di era modern ini. Pendisiplinan yang dulu
dianggap sebagai hal wajar kini dapat berujung pada kesalahpahaman, bahkan
tuntutan hukum. Seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu, tetapi
juga harus memiliki kesabaran, kemampuan mengendalikan diri, dan keterampilan
berkomunikasi yang baik dengan orang tua siswa.
Dalam konteks ini, perlindungan terhadap anak menjadi isu yang sangat penting. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, setiap anak berhak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikologis. Selain itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Perlindungan Anak semakin memperjelas tentang hak-hak anak yang tidak bisa dilanggar.
Sebuah tindakan yang
merendahkan dan melecehkan anak, dalam hal ini yang dapat dianggap sebagai bullying, sangat dilarang dalam dunia
pendidikan. Namun, dalam kasus ini, perlu juga dipertimbangkan bahwa tujuan
utama dari tindakan si guru adalah untuk mendidik Ando, bukan untuk
merundungnya.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 82 Tahun 2015, bullying atau perundungan adalah tindakan kekerasan, baik fisik, verbal, atau psikologis yang dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang terhadap individu atau kelompok tertentu, yang menyebabkan perasaan tertekan, terhina, dan trauma.
Dalam hal ini, sanksi yang diberikan oleh si Guru berupa ceplesan
(tepukan) pada punggung dan betis sebagai konsekuensi dari
ketidakdisiplinan Ando, seharusnya dilihat sebagai bagian dari upaya mendidik,
bukan sebagai bentuk perundungan. Dengan kata lain, meskipun tujuannya adalah
untuk mendidik agar lebih disiplin, cara yang dipilih oleh si guru mungkin
tidak sepenuhnya tepat dan berisiko disalahartikan.
Pengalaman
ini juga membuat saya menyadari pentingnya hukum perlindungan guru. Sebagai
guru, saya memiliki hak untuk mendisiplinkan siswa saya, tetapi saya juga harus
memastikan bahwa saya tidak melanggar batas dan hak-hak siswa.
Dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 40 ayat (1)
menyatakan bahwa guru memiliki hak untuk mendisiplinkan siswa, tetapi harus
dilakukan dengan cara yang tidak merugikan siswa. Bahwa menjadi seorang guru
tidak hanya membutuhkan ilmu pedagogik, tetapi juga kesabaran dan pengendalian
diri. Guru juga harus memastikan bahwa dirinya tidak melanggar batas dan
hak-hak siswa, serta memahami hukum perlindungan guru.
Pengalaman berharga ini, bahwa dalam mendidik, pendekatan yang lebih lembut dan komunikasi yang lebih terbuka dengan orangtua sangat diperlukan. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga sosok yang harus mampu menjadi teladan, mampu memahami dinamika sosial di lingkungan pendidikan.
Saya pun semakin berusaha untuk menjadi pendidik yang tidak hanya tegas dalam mendisiplinkan, tetapi juga bijaksana dalam bersikap. Sebab, mendidik bukan hanya membentuk keterampilan, tetapi juga membangun hubungan yang harmonis antara guru, madrasah, siswa, dan orang tua demi pendidikan yang lebih baik, dan menjadi pendidik yang profesional.
Referensi:
• Pengalaman nyata dalam bertugas.
• Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 82 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Perundungan di Satuan Pendidikan.
• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
• Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Perlindungan Anak.
• Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
------
Abd. Halim