Pasang iklan disini

 

Makna Simbolik dalam Tradisi Ruwahan, Megengan, dan Nyadran

Admin JSN
27 Februari 2025 | 18.37 WIB Last Updated 2025-02-27T11:39:31Z
Makna simbolik dalam tradisi Ruwahan, Megengan, dan Nyadran mencerminkan penghormatan masyarakat Jawa terhadap leluhur dan persiapan menyambut bulan suci Ramadan.

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Budaya Jawa kaya akan tradisi adat istiadat yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah ritual Ruwahan, Megengan, dan Nyadran, yang berkaitan dengan penghormatan kepada leluhur serta persiapan menyambut bulan suci Ramadan. Ketiga tradisi ini merupakan bentuk ekspresi kepercayaan dan nilai-nilai kultural masyarakat Jawa yang sarat dengan makna simbolik.

Ruwahan adalah tradisi yang dilakukan pada bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa, yang bertujuan untuk mendoakan arwah leluhur agar mendapatkan tempat yang layak di alam akhirat. Megengan merupakan ritual yang menandai datangnya bulan Ramadan, yang diiringi dengan doa bersama dan kenduri sebagai simbol penyucian diri dan persiapan menyambut bulan suci. Sementara itu, Nyadran adalah tradisi ziarah kubur yang dilakukan dengan membersihkan makam, berdoa, dan membawa sesaji sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur serta manifestasi hubungan antara dunia nyata dan dunia spiritual.

Dalam perspektif teori ekspresi simbolik (Symbolic Expression), seperti yang dikembangkan oleh Clifford Geertz, ritual-ritual ini mencerminkan cara masyarakat mengekspresikan nilai-nilai budaya, kepercayaan, dan identitas mereka melalui simbol-simbol tertentu. Setiap elemen dalam ritual—mulai dari makanan sesaji, doa-doa, hingga tindakan membersihkan makam—memiliki makna simbolik yang menghubungkan individu dengan komunitas dan leluhur mereka. Simbol dalam ritual Ruwahan, Megengan, dan Nyadran mencerminkan konsep spiritualitas, solidaritas sosial, serta penghormatan terhadap siklus kehidupan dan kematian.

Kajian terhadap tradisi ini dengan pendekatan teori ekspresi simbolik penting untuk memahami bagaimana masyarakat Jawa mempertahankan identitas budaya mereka di tengah perubahan zaman. Simbol-simbol dalam ritual ini bukan sekadar elemen estetis, melainkan bagian dari sistem makna yang mengatur hubungan sosial dan spiritual dalam kehidupan masyarakat Jawa. Oleh karena itu, penting kiranya untuk mengungkap makna dan fungsi simbol dalam tradisi Ruwahan, Megengan, dan Nyadran serta bagaimana ekspresi simbolik ini berperan dalam menjaga keseimbangan budaya dan spiritualitas dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Di Kota Malang tradisi ruwahan, megengan dan nyadran masih dapat di jumpai, misalnya masyarakat di sekitar makam Ki Ageng Gribig menjelang bulan Ramadhan rutin menyelenggarakan Punggahan Poso dalam bentuk arak-arakan Tumpeng Apem yang bisa saja start arak-arakan dimulai dari salah satu jalan menuju dan berakhir di Makam Ki Ageng Gribig. Sesampai di pendopo yang ada di dalam makam, semua berdoa dan setelah itu apem yang di susun dlam bentuk gunungan (tumpeng apem) di bagikan dengan cara jabutan (dikeroyok dan diambili sendiri oleh warga).

Unik lagi di Kampung Budaya Polowijen, tradisi megengan dan nyadran selalu diawali dengan tari tarian tradisional oleh warga sekitar. Setelah itu warga kampung budaya polowijen melakukan arak arakan dengan membawa topeng menuju ke makam Mpu Topeng Malang Mbah Reni untuk doa bersama dan membersihkan area makam. Setelah itu warga kembali lagi berkumpul di panggung Kampung Budaya Polowijen untuk acara megengan dengan berdoa bersama khas dengan bahasa jawa disertai dengan kidung temanbang mocopat. Usai acara warga makan bersama sambil dibagi bagi apem dan pisang

Tradisi megengan juga masih banyak di jumpai oleh mushola-mushola dan masjid dimana warga sekitar yang menjadi jamaah juga membawa makanan nasi kotak yang tak lupa didalam juga berisi apem dan pisang. Ketika makanan sudah di kumpulkan maka warga bersama sama berdoa di pimpin oleh pemuka agama yang ada di mushola. Setelah itu nasi di bagi bagikan kepada jamaah yang hadir ada yang dimakan bersama ada yang di bawa pulang. Disamping itu warga juga ada yang membagikan sego berkat (nasi kotak) ke kerabat saudara dan tetangga sebagai bentuk permintaan maaf dan menjaga silaturahmi. Agar pada saat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan sudah terbebas dari perasaan bersalah dari saudara dan tetangga

Dalam tradisi Ruwahan, Megengan, dan Nyadran, makanan sesaji yang selalu hadir adalah apem dan pisang. Secara historis, apem berasal dari kata Arab "afwun" yang berarti maaf, sehingga makanan ini menjadi simbol permohonan ampun dan penyucian diri sebelum memasuki bulan Ramadan. Proses pembuatan apem yang melibatkan fermentasi juga melambangkan kesabaran dan perubahan menuju kebaikan.

Sementara itu, pisang, yang tumbuh dalam satu rumpun dengan buah yang berkelompok, melambangkan kebersamaan dan kekuatan hubungan antar anggota keluarga serta masyarakat. Selain itu, pisang juga dianggap sebagai simbol kesejahteraan dan kelimpahan karena sifatnya yang mudah tumbuh dan berbuah dalam jumlah banyak. Dalam konteks spiritual, pisang dalam ritual ini diyakini membawa harapan akan keberkahan dan kelancaran dalam menjalani kehidupan, terutama dalam menyambut bulan suci Ramadan.

Sejarah penggunaan apem dan pisang dalam tradisi Ruwahan, Megengan, dan Nyadran berkaitan erat dengan penyebaran Islam di Jawa, di mana Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga, menggunakan makanan ini sebagai media dakwah. Dengan mengadopsi makanan yang sudah dikenal dalam budaya Hindu-Buddha sebelumnya, Sunan Kalijaga memberikan makna baru pada apem sebagai simbol pengampunan dan penyucian diri. Oleh karena itu, hingga kini, apem menjadi bagian tak terpisahkan dalam ritual ini, sebagai bentuk ekspresi simbolik dari nilai-nilai spiritual dan sosial masyarakat Jawa.

---

Isa Wahyudi (Ki Demang)
Penggagas Kampung Budaya Polowijen dan Mahasiswa Doktor Psikologi Budaya UMM
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Makna Simbolik dalam Tradisi Ruwahan, Megengan, dan Nyadran

Trending Now