![]() |
cr: SINDOnews |
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru adalah pendidik profesional yang bertugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. (UU No. 14 Tahun 2005)
Guru
mempunyai tugas mulia untuk membantu
murid sebagai fasilitator dalam mencapai cita-citanya dalam kehidupan. Tidak
mengajarkan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga melakukan pendidikan moral. Kedua
hal itu saling terkait satu sama lain dan agar tercapai kondisi yang seimbang
antara kecerdasan dan perilaku yang murid. Guru mengemban Amanah untuk membantu
mewujudkan peradaban bangsa yang lebih baik tersebut dilakukan dengan
memberikan pengajaran kepada peserta didik sesuai dengan kompetensi yang
dimilikki oleh seorang guru.
Profesi
guru merupakan satu pekerjaan yang yang mengemban tugas mulia, namun kerap kali
dihadapkan pada tantangan berat terkait perlindungan hukum. Meskipun beberapa
regulasi telah dirancang dan dibuat oleh pemerintah untuk melindungi guru, namun
dalam implementasinya sering kali tidak efektif, bahkan menimbulkan kekecewaan
yang mendalam. Tulisan pendek ini akan membahas bagaimana hukum seharusnya
menjadi pelindung guru, tetapi dalam praktiknya justru sering kali menjadi
beban yang menghambat mereka dalam menjalankan tugas profesional.
Profesi
guru memegang peran yang sangat penting dalam membangun karakter dan kecerdasan
generasi bangsa. Sebagai pengemban tugas mulia, guru sangat membutuhkan
perlindungan hukum agar dapat menjalankan tugasnya dengan rasa aman dan tanpa bayang-bayang
takut terjerat kasus hukum. Namun, kenyataannya, seringkali guru yang merasa
tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Kriminalisasi terhadap
tindakan pendisiplinan siswa menjadi salah satu isu utama yang menimbulkan
kekecewaan.
Regulasi
Perlindungan Hukum untuk Guru
Di
Indonesia, perlindungan hukum bagi guru telah diatur dalam beberapa regulasi,
antara lain:
1. UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Pada pasal 40 ayat (2)
tercantum hak pendidik dan tenaga kependidikan dalam memperoleh:
a. penghasilan
dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
b. penghargaan
sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. pembinaan
karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
d. perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan
e. kesempatan
untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang
kelancaran pelaksanaan tugas.
2. Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Pada pasal 39 disebutkan
bahwa:
1) Pemerintah,
pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan
wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
2) Perlindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1) meliputi: perlindungan hukum; perlindungan
profesi; perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;
3) Perlindungan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan,
ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari
pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak
lain.
4) Perlindungan
profesi sebagaimana dimaksud pada ayat 2) mencakup perlindungan terhadap
pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam
menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan
lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
5) Perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan
kerja, kecelakaan kerja, kebakaran waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja,
dan/atau risiko lain.
3. Permendikbud
Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di
Lingkungan Satuan Pendidikan
a. Pada
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 disebutkan: Tindak kekerasan adalah perilaku yang
dilakukan secara fisik, psikis, seksual, dalam jaringan (daring), atau melalui
buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di
lingkungan satuan pendidikan dan mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan
barang, luka/cedera, cacat, dan atau kematian.
b. Selanjutnya
pada BAB II Maksud Tujuan dan Sasaran pasal 4 disebutkan: Sasaran dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan:
a. peserta didik; b. pendidik; c. tenaga kependidikan; d. orang tua/wali; e.
komite sekolah; f. masyarakat; g. pemerintah daerah; dan h. Pemerintah.
4. Permendikbud
Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan,
Pada Pasal 2 disebutkan:
a. Perlindungan
merupakan upaya melindungi Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang menghadapi
permasalahan terkait pelaksanaan tugas.
b. Perlindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan: a. hukum; b. profesi;
c. keselamatan dan kesehatan kerja; dan/atau d. hak atas kekayaan intelektual.
5. Permendikbud-Ristek
46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan
Pendidikan
Pada bagian menimbang
disebutkan bahwa: Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak
Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
dan perkembangan hukum, sehingga perlu diganti;
Bada Bagian Kedua Pasal 2
disebutkan: Upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan
pendidikan dimaksudkan untuk:
a. melindungi
Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Satuan Pendidikan
Lainnya dari Kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan;
b. mencegah
Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Satuan Pendidikan
Lainnya, melakukan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
c. melindungi
dan mencegah setiap orang dariKekerasan yang terjadi di lingkungan satuan
pendidikan;
d. mengatur
mekanisme Pencegahan, Penanganan, dan sanksi terhadap tindakan Kekerasan di
lingkungan satuan pendidikan; dan
e. membangun
lingkungan satuan pendidikan yangramah, aman, inklusif, setara, dan bebas dari
tindakan diskriminasi dan intoleransi.
Meskipun
regulasi ini telah ada, namun dalam implementasinya sering kali tidak berjalan secara
optimal. Banyak guru yang belum tahu atau bahkan tidak tahu cara mengakses
bantuan hukum, sementara institusi Pendidikan sebagai Lembaga yang bersentuhan
langsung dengan guru tidak selalu memberikan dukungan penuh pada guru.
Adanya
produk hukum sebagaoimana disebut diatas patut diapresiasi. Namun di sayangkan,
peraturan turunan yang berupa permendikbud, permendikbud-ristek, maupun peraturan
dirjen seringkali kurang memiliki kedudukan hukum kuat. Keberadaan mereka
justru sering kali tumpul dan tidak berfungsi karena harus bersinggungan dengan
KUHP (UU 1/2023) atau UU 35/2014 jo UU 23/2002 yang, walaupun berupa UU, lebih
memiliki substansi yang spesifik, komprehensif, dan implementatif tentang
perlindungan anak.
Kekecewaan
Guru terhadap Hukum
Ada
beberapa bentuk kekecewaan yang seringkali dirasakan oleh guru terhadap hukum
di Indonesia, hal itu meliputi:
1. Minimnya
Pendampingan Hukum
Beberapa tahun terakhir,
dunia pendidikan di Indonesia dikejutkan oleh kasus-kasus di mana guru dituntut
secara hukum karena melakukan tindakan mendidik yang dianggap melanggar hak
murid. Fenomena ini menggambarkan adanya krisis dalam hubungan antara guru,
murid, dan orang tua, di mana tindakan pendisiplinan atau teguran yang menjadi
bagian integral dari proses pendidikan sering kali disalahartikan dan dibawa ke
ranah hukum. Kondisi ini mengancam martabat profesi guru dan berpotensi
menghancurkan fondasi pendidikan moral di negeri ini. (Kumparan.com. 2004)
Kasus kriminalisasi guru ini
sering terjadi karena kurangnya pemahaman akan batasan dalam mendisiplinkan
siswa. Undang-Undang Perlindungan Anak kerap menjadi dasar pemolisian terhadap
guru. Menurut Ruth ”Kita perlu dukungan hukum yang jelas agar tindakan
pendisiplinan tidak dianggap sebagai tindak kriminal. Namun, guru juga harus
memahami batasan dalam mendisiplinkan siswa, tidak boleh ada kekerasan, baik
fisik maupun verbal,” ujarnya. (Kompas.id. 2024)
Asfinawati, Direktur
Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) periode 2017-2021 yang sekarang aktif
mengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
menjelaskan, perlindungan hukum bagi guru sebenarnya telah diatur dalam
berbagai regulasi, antara lain, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
undang-undang itu sebenarnya sudah cukup kuat dalam mengatasi potensi
kriminalisasi guru. Namun, ia mengakui, implementasinya di lapangan sering
tidak berjalan sesuai harapan. Banyaknya kasus kriminalisasi guru adalah
cerminan tidak dilaksanakannya hukum acara pidana secara benar serta kurangnya
literasi hukum, baik di kalangan guru maupun masyarakat. (Kompas.id. 2024).
Sehingga tidak melaporkan atau mencari bantuan hukum dan tidak meratanya akses
bantuan hukum bagi guru, terutama di daerah.
Dalam kasus-kasus
kriminalisasi guru, banyak yang merasa tidak mendapatkan pendampingan hukum
yang memadai dari pemerintah atau organisasi profesi. Hal ini membuat mereka
merasa terabaikan.
Pengamat pendidikan
sekaligus CEO Jurusanku.com, Ina Liem“Sebetulnya kita sudah memiliki kerangka
hukum untuk melindungi guru. Contohnya Peraturan Pemerintah 74/2008 pasal
39-42, yang meliputi bantuan hukum atas perkara yang berhubungan dengan tugas
profesionalnya, dan menghindarkan guru dari tindakan atau kebijakan yang tidak
adil. Masalahnya ada di praktik di lapangan, yang masih menghadapi tantangan,”
(media Indonesia.com. 2024).
Lebih lanjut, Liem
menyebut bahwa: “Kita belum memiliki asuransi profesi seperti di negara maju.
Contoh di Asia, Singapura sudah memberikan asuransi ini (indemnity insurance)
ke para guru. Di Indonesia, perlindungan hukum yang ada bergantung pada regulasi,
bantuan asosiasi guru, atau perlindungan individu,” (media Indonesia.com.
2024).
Dalam hal upaya
perlindungan pada guru secara riil di lapangan, sangat perlu dan mendesak
adanya pembentukan paralegal sebagai salah satu langkah advokasi hukum untuk
guru. Paralegal itu sendiri merupakan orang yang memiliki keterampilan hukum
dan telah mengikuti pelatihan untuk membantu masyarakat yang bermasalah dengan
hukum, tetapi bukan pengacara. Paralegal adalah orang yang bukan sarjana hukum,
tetapi memiliki pengetahuan dan dasar hukum dan hak asasi manusia dan bekerja
untuk komunitas masyarakat tertentu, secara sukarela, dan bertanggung jawab
atas komunitasnya. Namun bekerja di bawah bimbingan pengacara atau dengan
kemampuan hukum yang dinilai cukup.
dia menambahkan bahwa
implementasi di lapangan ini berkaitan dengan kurangnya pemahaman guru tentang
hak-hak mereka, sehingga tidak melaporkan atau mencari bantuan hukum dan tidak
meratanya akses bantuan hukum bagi guru, terutama di daerah.
2. Ketidakjelasan
dalam Menentukan Batas Tindakan Disiplin
Dalam proses pendidikan,
disiplin merupakan bagian yang penting untuk menciptakan lingkungan belajar
yang kondusif. Namun, sering kali ketidakjelasan batas tindakan disiplin dan
upaya pendisiplinan menimbulkan berbagai masalah, baik bagi guru, siswa, maupun
orang tua. Ketidakjelasan ini tidak hanya menyulitkan para pendidik dalam
mengambil keputusan, tetapi juga dapat berujung pada konflik hukum yang
merugikan berbagai pihak.
Banyak sekali sekolah
yang belum memiliki pedoman khusus yang mengatur tindakan disiplin dan Upaya
pendisiplinan yang jelas dan terstandarisasi. Akibatnya guru harus menggunakan
pemahaman dan penilaian pribadi mereka untuk menentukan batas-batas tindakan
disiplin, yang sehingga batas-batas disiplin ini dapat bervariasi, tergantung
pada pemahaman, pengalaman, nilai-nilai pribadi, ataupun budaya setempat dimana
sekolah berada.
Di sisi lain, Orang tua,
siswa, dan guru sering kali memiliki persepsi yang berbeda mengenai tindakan
disiplin. Sebagai contoh, teguran keras oleh guru dapat dianggap sebagai bentuk
pembinaan oleh satu pihak, tetapi dinilai sebagai tindakan kasar oleh pihak
lainnya.
Batasan yang tidak jelas
ini berpotensi besar menyebabkan guru menghadapi ancaman hukum, bahkan saat
guru berniat mendisiplinkan siswa secara wajar sekalipun. Yang mana kasus
kriminalisasi guru yang disebabkan karena Tindakan dan Upaya penerapan disiplin
telah menjadi perhatian publik dalam beberapa tahun terakhir.
3. Proses
Hukum yang Cenderung Memojokkan Guru
Beberapa tahun terakhir,
kasus hukum yang melibatkan guru di Indonesia makin banyak disorot. Fenomena
ini menunjukkan kecenderungan bahwa proses hukum dapat memojokkan guru,
meskipun tindakan mereka dimaksudkan untuk mendisiplinkan atau mendidik siswa.
Kondisi ini tidak hanya merugikan guru secara pribadi, tetapi juga memengaruhi
kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Regulasi yang melindungi
guru dari kriminalisasi masih kurang memadai. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen memang menyebutkan bahwa guru berhak mendapatkan
perlindungan hukum (Pasal 39). Namun, implementasi dari aturan tersebut sering kali
tidak berjalan dengan baik, terutama di daerah-daerah yang minim akses terhadap
bantuan hukum.
Seringkali guru, terutama
di wilayah terpencil, yang kesulitan mendapatkan akses ke layanan hukum. Ketika
menghadapi masalah hukum, mereka sering kali tidak mendapatkan bantuan dari
sekolah, pemerintah daerah, atau organisasi profesi. Banyak daerah, terutama
yang terpencil, tidak memiliki infrastruktur hukum yang memadai. Keberadaan
advokat atau layanan hukum sering kali terpusat di kota-kota besar. Menurut
Hartono (2020) dalam Jurnal Pendidikan dan Hukum, lebih dari 60% guru di
daerah pedesaan tidak memiliki akses ke pendampingan hukum yang berkualitas.
Keadaan minimnya
perlindungan hukum terhadap guru ini semakin di perparah oleh peran media masa
dan opini publik. sering kali Media massa dan media sosial memperbesar
kasus-kasus yang melibatkan guru. Ketidakseimbangan dalam pemberitaan ihi dapat
menggiring dan membentuk opini publik semakin menyudutkan guru sebelum proses
hukum berjalan secara objektif. Hal ini sejalan dengan studi Sutrisno (2021)
dalam Jurnal Pendidikan dan Hukum, yang menyatakan bahwa publikasi media
sering kali mengabaikan fakta-fakta pendukung yang dapat meringankan posisi
guru.
Langkah
untuk Memperbaiki Perlindungan Hukum
Untuk
mengatasi permasalahan ini, perlindungan hukum bagi guru adalah hal yang mutlak
di perlukan dan sangat penting guna menciptakan lingkungan pendidikan yang
kondusif. Guru yang merasa terlindungi secara hukum pasti akan lebih nyaman
serta mampu menjalankan tugasnya secara maksimal tanpa rasa takut akan risiko
hukum yang tidak adil. Di Indonesia, meskipun sudah ada regulasi yang menjamin
perlindungan bagi guru, implementasinya masih memerlukan perbaikan. Oleh karena
itu, langkah-langkah berikut dapat menjadi solusi untuk memperbaiki
perlindungan hukum bagi guru. Langkah-langkah tersenut diantaranya:
1. Peningkatan
Pembaruan Regulasi dan Perlindungan Hukum
Dalam
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memang sudah memuat
tentang hak perlindungan kepada guru, namun masih bersifat umum, sehingga banyak
celah hukumyang bisa menjerat guru. Perlu ada pembaruan atau penambahan pasal
yang lebih jelas terkait dengan perlindungan hukum untuk tindakan disiplin yang
dilakukan oleh guru, terutama dalam konteks pendidikan dan pengelolaan kelas.
Pemerintah
harus mempertimbangkan revisi undang-undang tersebut, dengan memasukkan
ketentuan yang jelas tentang hak-hak guru untuk bertindak sesuai dengan aturan
pendidikan tanpa takut dikriminalisasi, selama tindakan tersebut sah dan
profesional.
2. Pendampingan
Hukum yang Optimal
Dalam
hal ini, guru sangat memerlukan akses mudah ke layanan hukum untuk menghindari
potensi kriminalisasi. Pemerintah dapat berkolaborasi dengan lembaga bantuan
hukum atau organisasi profesi seperti PGRI untuk menyediakan layanan
pendampingan hukum yang dapat diakses oleh guru, baik secara daring maupun
luring.
Layanan
ini bisa berupa fasilitasi pembentukan paralegal untuk membantu permasalahan hukum yang dihadapi oleh guru,
pembentukan posko hukum, hotline untuk konsultasi hukum, atau aplikasi digital
yang menyediakan bantuan hukum bagi guru yang menghadapi masalah.
3.
Penyuluhan
kepada Masyarakat tentang Peran Guru dan Batasan Hukum
Dalam upaya untuk mengurangi
potensi kriminalisasi dan penghakiman negatif terhadap guru, perlu kiranya ada
penyuluhan kepada masyarakat mengenai peran guru dan batasan-batasan tindakan
disiplin yang dapat diambil oleh guru. Upaya ini bisa dilakukan melalui media
massa, seminar, atau acara-acara yang melibatkan masyarakat, sehingga pemahaman
akan peran penting seorang guru dalam pendidikan semakin baik.
4.
Kolaborasi Antar Lembaga dan Organisasi
Pendidikan
Agar perlindungan hukum pada guru
bisa optimal dan efektif maka sangat perlu adanya kerjasama antara berbagai
pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi profesi, penegak
hukum, dan juga masyarakat. Kolaborasi ini bisa mencakup pendanaan untuk
layanan hukum, pelatihan bagi guru, serta pengembangan kebijakan yang
memperkuat perlindungan hukum bagi guru. Dengan melibatkan berbagai
stakeholder, diharapkan akan tercipta sistem perlindungan yang lebih baik dan
dapat menjangkau seluruh guru di Indonesia.
Kesimpulan
Hukum
seharusnya memberikan perlindungan bagi guru dalam menjalankan tugasnya. Namun,
lemahnya implementasi regulasi menyebabkan banyak guru merasa kecewa. Untuk
mengatasi hal ini, diperlukan komitmen yang lebih kuat dari pemerintah,
institusi pendidikan, penegak hukum, dan juga masyarakat. Langkah nyata,
seperti edukasi hukum, pendampingan, dan revisi regulasi, harus sesegera
mungkin dilakukan guna menjamin dan memastikan bahwa guru akan dapat
menjalankan tugasnya dengan baik, aman dan tanpa rasa takut akan adanya jeratan
hukum.
Haii
... Aku Baittil 'Izzah. Teman - teman dan keluargaku memanggilku Betty . Memang
unik sih darimana dipanggil Betty ? ..
Usiaku
udah lebih 40 tahun di Agustus ini namun aku belum punya keahlian dan hasil
karya sama sekali.
Aku
pernah kuliah di UII Jogja FIAI Syari'ah AS dan aku lanjutkan di Unisma
Malang dengan fakultas dan jurusan yang
sama karena suatu hal aku harus transfer pada saat itu.
Aku
tidak punya hal yang aku sukai ataupun keahlian khusus yang membuat aku
istimewa .
Lulus
kuliah aku harus mengajar di salah satu MTs tertua di Kota Batu dengan mata
pelajaran yang bukan jurusanku. B Arab 13 THN lho ... Bukan waktu yang pendek
untuk bisa dikata dengan tidak suka sih
....
Karena
kewajiban dan aturan aku mengambil Akta 4 salah satu persyaratan untuk mengajar
pada saat itu aku ambil di STIT Raden Rahmad yang sekarang biasa dikenal dengan
Unira Malang.
13 THN
berlalu di Batu aku memutuskan pulang ke kampung suami untuk melaksanakan tugas
negara sesuai dengan aturan atas bidangku dan mengabdikan jiwa dan raga ini di
SMP Negeri 2 Kasembon Kab Malang.
Aku
hidup di dua dunia dua lingkungan yang semuanya aku lakukan atas kehendak
Illahi pastinya atas penataan hidupku ini dan pasti inilah yang terbaik. Hingga
aku juga berkesempatan mendapat gelar Magister di IAIN Kediri dengan jurusan
yang sesuai dengan tugasku sebagai Guru Pendidikan Agama Islam.
Aku asli Kediri lahir di Kediri tetapi
bermukim di Kabupaten Malang kecamatan paling Barat sebagai ibu rumah tangga
dengan 3 anak cewek semua.
Menjalani
apa yang sudah digariskan oleh Alloh adalah keikhlasan dalam hidupku.
Sedikit
kata yang mungkin bisa menjadi peganganku untuk selalu melangkah dengan pasti.
Tetap menjadi yang biasa di mata manusia, menjadi yang terbaik di mata orangtu dan berusaha menjadi yang paling istimewa di mata Alloh ... Aamiin 🌼
____bettyizzaaden___
-----
Referensi
1. Detik
News. (2023). Yurisprudensi MA: Guru Tak Bisa Dipidana karena Mendisiplinkan
Siswa. Diakses dari: https://news.detik.com.
2. Hartono,
A. (2020). "Akses Layanan Hukum bagi Guru di Daerah Terpencil". Jurnal
Pendidikan dan Hukum, 10(2), 33-47.
3. Kompas.id.
(2024). Perlindungan Hukum Guru Masih Lemah. Diakses dari: https://www.kompas.id.
4. Kompas.id.
2024. Guru Masih Rentan Terjerat Hukum dalam Mendidik Siswa. Diakses
dari https://www.kompas.id/artikel/guru-masih-rentan-terjerat-hukum-dalam-mendidik-siswa
5. Kumparan.com.
2024. Urgensi Perlindungan Hukum Bagi Guru: STOP Kriminalisasi Pendidikan. Diakses
dari https://kumparan.com/akuuu-capcuters/urgensi-perlindungan-hukum-bagi-guru-stop-kriminalisasi-pendidikan-23loG3B03aF/1
6. Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi
Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
7. Pikiran
Rakyat. (2024). Kasus Guru yang Terjerat Hukum karena Mendisiplinkan Siswa.
Diakses dari: https://sleman.pikiran-rakyat.com
8. Sutrisno, A. (2021). "Kriminalisasi Guru dalam Sistem Pendidikan Indonesia". Jurnal Pendidikan dan Hukum, 12(1), 45-56.
9. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.