Pasang iklan disini

 

Dilema Pendidik di Era Generasi Z dan Alpha: Antara Disiplin, Ekspektasi, dan Tantangan Pendidikan Karakter

Admin JSN
02 Februari 2025 | 19.29 WIB Last Updated 2025-02-02T12:29:30Z

 

cr: Radar Jombang

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Nama saya Dwi Nanda Purwanto, S.T., MOS., ACA. Saya berasal dari SMP Ar-Rohmah Boarding School Dau Malang dan merupakan lulusan dari Universitas Islam Malang. Sejak tahun 2019, ketika masih aktif dalam Resimen Mahasiswa (Menwa), saya telah terlibat dalam kegiatan pendidikan karakter dan kedisiplinan siswa. Hingga saat ini, pada tahun 2025, saya terus berkontribusi di bidang tersebut sebagai seorang guru.

Meskipun saya memiliki latar belakang pendidikan teknik, kecintaan saya terhadap dunia sosial dan pendidikan, khususnya dalam membangun karakter siswa, telah membawa saya ke berbagai sekolah di kawasan Malang, Probolinggo, Mojokerto, dan Blitar. Pengalaman saya dalam Menwa memberikan pemahaman mendalam tentang pentingnya disiplin, integritas, dan kepemimpinan bagi generasi muda. Oleh karena itu, saya merasa terpanggil untuk berkontribusi dalam membentuk karakter siswa melalui berbagai program di sekolah.

Selain berkiprah di dunia pendidikan, saya juga aktif dalam pembuatan konten dan bekerja sama dengan berbagai media digital. Sejak masa perkuliahan hingga saat ini, saya telah berkolaborasi dengan media seperti Times.id, Radar Malang, Jatim Satu News, Kicaunews.com, Arrohmahputra.com, hingga Detikcom. Saya percaya bahwa media digital memiliki peran penting dalam menyebarluaskan nilai-nilai pendidikan karakter kepada khalayak yang lebih luas termasuk dalam pembuatan buku dengan judul “Suara Hati Ketika Hukum Mengancam”

 

Dalam perjalanan saya, saya menyadari bahwa membangun karakter siswa bukan sekadar memberikan teori di dalam kelas, tetapi juga melalui keteladanan dan pengalaman nyata. Pendekatan ini semakin relevan di era digital, di mana siswa lebih mudah mengakses informasi tetapi sering kali kurang dalam pembentukan karakter. Oleh karena itu, saya terus berinovasi dalam metode pembelajaran dan memanfaatkan berbagai platform digital untuk menanamkan nilai-nilai positif kepada para siswa.

 

Sebagai seorang tenaga pendidik, saya menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks dalam mendidik siswa dari generasi Z dan Alpha. Dari tahun ke tahun, saya menyaksikan perubahan yang signifikan dalam perilaku siswa, yang tampaknya semakin dimanja oleh orang tua mereka dengan berbagai fasilitas yang telah diberikan kepada siswa itu sendiri. Hal ini berdampak langsung pada pola kemandirian mereka, membentuk karakter yang rapuh, serta menimbulkan tantangan dalam aspek etika, adab, dan perilaku mereka di lingkungan sekolah khususnya.

Salah satu tantangan terbesar yang saya hadapi adalah menanamkan nilai-nilai kemandirian. Banyak siswa yang bergantung sepenuhnya pada orang tua dalam mengambil keputusan, menyelesaikan tugas, bahkan dalam menghadapi masalah kecil sekalipun. Mereka lebih sering memilih kenyamanan dibandingkan menghadapi tantangan, sehingga sulit bagi saya untuk membentuk karakter mereka menjadi pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab.

Selain itu, masalah sosialisasi juga menjadi perhatian utama. Saya mendapati semakin banyak siswa yang cenderung menyendiri, lebih memilih interaksi dengan gawai daripada berkomunikasi langsung dengan teman sebaya. Ketika diminta untuk berbicara di depan kelas atau mengungkapkan pendapat, mereka tampak ragu, bahkan enggan. Ekspresi diri seakan menjadi hal yang sulit bagi mereka, yang berakibat pada kurangnya keberanian dalam menghadapi dunia luar.

Dalam proses pembentukan karakter, saya sering merasa bahwa ajaran yang saya berikan tidak mudah diterapkan oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari. Saya bisa berbicara panjang lebar tentang pentingnya sopan santun, disiplin, dan tanggung jawab, namun ketika kembali ke lingkungan keluarga, mereka justru mendapatkan perlakuan yang berlawanan. Orang tua cenderung memudahkan segala sesuatu bagi anak-anaknya, membuat mereka sulit belajar dari tantangan dan kegagalan.

Saat ini, saya merasakan perubahan yang cukup mencolok dalam sikap siswa di lingkungan sekolah. Berdasarkan pengamatan saya, siswa terdahulu selalu menunjukkan sikap santun yang begitu kental. Mereka tak hanya sekadar datang untuk belajar, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan. Senyum, salam, dan sapa terhadap yang lebih tua, baik itu kakak kelas, guru, maupun warga sekolah lainnya yang lebih tua seolah-olah  enjadi kebiasaan yang melekat dalam kehidupan mereka.

Namun, kini saya melihat sesuatu yang berbeda. Para siswa seolah-olah hanya menyapa mereka yang dianggap penting, sementara yang lain diabaikan. Rasa hormat yang dahulu menjadi ciri khas perlahan terkikis. Yang lebih mengkhawatirkan, muncul pola pikir di kalangan siswa bahwa keberadaan mereka di sekolah hanyalah sebagai pelanggan yang membayar untuk mendapatkan layanan pendidikan. Seakan-akan, karena telah membayar biaya sekolah, maka segala hal harus terpenuhi sesuai dengan keinginan mereka, termasuk tuntutan terhadap tenaga pendidik.

Padahal, pendidikan bukan sekadar transaksi jual beli. Sekolah bukanlah tempat di mana siswa hanya datang untuk menuntut hak tanpa memahami kewajibannya. Guru bukan sekadar penyedia jasa yang harus memenuhi semua permintaan siswa. Ada proses, ada etika, dan ada nilai-nilai moral yang harus tetap dijunjung tinggi dalam dunia pendidikan.

Saya percaya bahwa perubahan ini bukanlah sesuatu yang tidak bisa dikembalikan. Semua pihak, baik siswa, guru, maupun orang tua, memiliki peran untuk menanamkan kembali budaya hormat dan sopan santun dalam kehidupan sekolah. Jika kita tidak mulai bertindak, saya khawatir masa depan akan dipenuhi oleh generasi yang kehilangan esensi dari nilai-nilai luhur yang seharusnya mereka bawa ke mana pun mereka pergi.

Sebagai seorang pendidik, saya telah mengalami begitu banyak pengalaman pahit dalam mendidik karakter siswa. Tidak hanya saya, tetapi juga rekan-rekan seperjuangan saya, sering kali dihadapkan pada situasi yang membuat kami bertanya-tanya: masih adakah kepercayaan dari orang tua kepada kami sebagai pendidik?

Salah satu pengalaman yang sering terjadi adalah ketika kami mencoba menegakkan disiplin dan etika di lingkungan sekolah, tetapi justru berakhir dengan pelaporan dari siswa kepada orang tua mereka. Misalnya, ketika seorang siswa bersikap tidak sopan kepada temannya atau guru, saya mencoba menasihatinya agar ada perbaikan perilaku. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Orang tua berdalih dengan penuh kemarahan, seolah-olah anak mereka tidak pernah melakukan kesalahan. Mereka membela anaknya tanpa terlebih dahulu mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya. Alih-alih menjalin komunikasi yang baik dengan pihak sekolah, mereka justru mempermasalahkan tindakan kami yang hanya berusaha menegakkan kedisiplinan.

Tak jarang pula, saya mendapati siswa yang tidak mengikuti program sekolah, seperti sholat berjamaah yang telah menjadi bagian dari aturan sekolah. Ketika saya menegur dan mengingatkan siswa, beberapa siswa justru mengadu kepada orang tua dengan versi cerita yang berbeda. Mereka mengatakan bahwa mereka diceramahi atau bahkan dihukum karena tidak sholat. Padahal, apa yang kami lakukan hanyalah bentuk pembinaan agar mereka terbiasa dengan kebiasaan baik. Lagi-lagi, alih-alih mendukung kami, orang tua justru datang dengan keluhan dan protes, mempertanyakan mengapa anak mereka diperlakukan seperti itu.

Belum lagi soal barang-barang aneh dan terlarang yang dibawa siswa ke sekolah. Sebagai seorang guru, saya selalu merasa heran, mengapa ada siswa yang membawa barang yang jelas-jelas tidak sesuai dengan aturan sekolah? Seharusnya, orang tua memiliki peran utama dalam mengawasi apa yang dibawa anaknya ke sekolah. Namun, ketika kami menindak tegas, justru kami yang disalahkan. Orang tua tidak terima dengan peraturan sekolah yang sebelumnya telah mereka setujui. Bukankah ini suatu ironi? Kami hanya menjalankan tugas untuk menjaga lingkungan sekolah tetap kondusif, tetapi kami justru dianggap menghalangi kebebasan anak.

Pengalaman-pengalaman ini membuat saya sadar bahwa tantangan dalam mendidik karakter siswa bukan hanya datang dari mereka sendiri, tetapi juga dari sebagian orang tua yang kurang memahami bahwa pendidikan karakter bukan hanya tugas guru, melainkan juga tanggung jawab keluarga. Tanpa sinergi antara sekolah dan orang tua, sulit bagi kami untuk membentuk generasi yang berkarakter baik dan berdisiplin.

Setiap hari, saya menghadapi berbagai tuntutan dan ekspektasi dari para orang tua terhadap pendidikan anak-anak mereka. Mereka menginginkan anak-anak yang cerdas, beradab, dan berakhlak mulia, tetapi seolah-olah mereka berharap semua itu terwujud dengan sedikit usaha, hanya dengan sentuhan ajaib dari para guru. Padahal, membentuk karakter seorang siswa bukanlah perkara mudah. Layanya sebuah seni, sama seperti seorang pemahat yang membentuk kayu menjadi karya seni yang luar biasa. Butuh kesabaran, keterampilan, dan waktu yang tidak sebentar.

Dalam dunia pendidikan, membentuk karakter siswa adalah proses panjang yang membutuhkan usaha yang serius, pendidikan yang berkesinambungan, serta pengajaran yang terencana sesuai dengan aturan sekolah yang berlaku. Tidak ada jalan pintas dalam menanamkan nilai-nilai luhur. Jika ingin menciptakan generasi yang unggul, beradab, dan berakhlak, maka harus ada komitmen dan kolaborasi antara tenaga pendidik dan orang tua. Namun, kenyataannya, sering kali saya merasa bekerja sendirian.

Ketika ada kesalahan atau perilaku yang kurang baik dari seorang siswa, jari-jari dengan mudah menunjuk ke arah guru. Seolah-olah semua kesalahan ada di pundak kami, padahal proses pendidikan karakter bukan hanya tanggung jawab sekolah, melainkan juga keluarga dan lingkungan. Guru menjadi pihak yang disalahkan tanpa mempertimbangkan berbagai faktor lain yang turut membentuk kepribadian anak.

Sebaliknya, ketika seorang siswa berhasil, ketika ia tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, berakhlak baik, dan berprestasi, sering kali nama guru tidak lagi disebut. Semua keberhasilan seolah-olah hanya buah dari kerja keras anak itu sendiri atau dukungan orang tua, sementara peran guru yang setiap hari membimbing, mengarahkan, dan membentuk karakter mereka luput dari pengakuan.

Sebagai pendidik, saya tidak pernah meminta penghargaan yang berlebihan. Saya hanya ingin ada kesadaran bahwa mendidik bukan sekadar tugas guru, melainkan tanggung jawab bersama. Jika orang tua ingin anak-anak mereka tumbuh menjadi pribadi yang luar biasa, mereka juga harus turut berperan aktif, bukan hanya berharap hasil instan tanpa memahami proses yang berlangsung di baliknya. Pendidikan adalah kerja bersama, bukan sekadar tuntutan sepihak.

Saya merasa semakin hari dunia pendidikan semakin kehilangan arah. Aturan yang seharusnya menjadi pilar kedisiplinan di sekolah justru berubah-ubah hanya demi menjaga nama baik institusi. Dulu, aturan dibuat dan disepakati bersama, menjadi pedoman bagi siswa dan guru dalam menjalankan proses belajar mengajar. Namun, kini, demi menghindari kontroversi dan menjaga citra, sekolah dengan mudahnya mencabut atau mengubah kebijakan yang sudah ditetapkan.

Saya menyaksikan sendiri bagaimana banyak rekan pendidik merasa terhimpit oleh sistem yang tidak adil. Guru dituntut untuk memberikan yang terbaik, mencetak generasi unggul, mendidik dengan sepenuh hati, namun saat ada masalah, justru guru dijadikan kambing hitam. Petinggi sekolah yang menetapkan aturan dan membebankan ekspektasi tinggi kepada kami, tiba-tiba menghilang ketika masalah muncul. Bukannya memberikan dukungan, mereka justru ikut menyalahkan kami, seolah-olah semua kesalahan bersumber dari guru.

Saya juga mulai melihat perubahan dalam sikap para guru. Banyak dari mereka yang kini lebih memilih diam daripada bertindak ketika ada siswa yang melanggar aturan. Mereka takut. Takut ditegur, takut diprotes orang tua, bahkan takut dilaporkan hanya karena menegakkan disiplin. Sungguh miris, kini kami tidak hanya harus berhati-hati dalam mendidik, tetapi juga harus berpikir seribu kali sebelum menegur siswa yang melanggar aturan. Jika kami menindak, kami berisiko mendapat masalah. Jika kami membiarkan, kami pun tetap bisa disalahkan jika siswa itu nantinya menghadapi konsekuensi atas perilakunya sendiri.

Rasanya seperti memakan buah simalakama. Serba salah. Di satu sisi, kami ingin mendidik siswa dengan baik, menanamkan nilai-nilai disiplin dan tanggung jawab. Di sisi lain, kami juga tidak ingin terjebak dalam situasi di mana niat baik kami justru berbalik menjadi masalah besar. Akhirnya, banyak guru yang memilih untuk tidak peduli, bukan karena mereka tidak ingin mendidik, tetapi karena mereka lelah menghadapi ketidakpastian yang terus menghantui mereka.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, saya khawatir pendidikan kita akan kehilangan sosok guru yang benar-benar mendidik dengan hati. Kita bukan hanya sedang menciptakan generasi yang tidak mengenal disiplin, tetapi juga membiarkan dunia pendidikan terombang-ambing oleh kebijakan yang inkonsisten. Saatnya sekolah kembali kepada prinsip dasar: mendidik dengan tegas namun tetap bijaksana, serta memberikan perlindungan kepada para pendidik yang berjuang di garda terdepan mencerdaskan anak bangsa.

Sebagai seorang pendidik, saya merasa semakin hari semakin sulit untuk menjalankan tugas saya dengan tenang dan profesional. Lemahnya aturan terhadap perlindungan guru menjadi salah satu faktor yang harus segera diselesaikan. Jika tidak, profesi yang seharusnya dihormati ini justru akan semakin banyak memakan korban. Kami, para guru, mengabdikan diri untuk mencerdaskan anak bangsa, membimbing mereka agar siap menghadapi tantangan besar di masa depan, baik di dunia kerja maupun di masyarakat. Namun, realitas yang kami hadapi justru bertolak belakang dengan semangat pengabdian kami.

Di dalam lingkungan sekolah, banyak siswa yang secara sadar melanggar peraturan yang mereka sendiri pahami. Mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah, tetapi tetap saja mereka mencari celah untuk membenarkan tindakan mereka. Ketika ditegur atau diberikan sanksi, mereka dengan mudahnya berlindung di balik ancaman, "Saya akan lapor orang tua." Ini menjadi tameng mereka untuk menghindari tanggung jawab atas perbuatan mereka sendiri. Tak jarang, ancaman tersebut membuat kami sebagai guru serba salah dan berada dalam posisi yang sulit.

Modus-modus pelanggaran pun semakin beragam. Ada yang sengaja bolos sekolah, lalu ketika tertangkap, mereka berdalih memiliki alasan tertentu yang dibuat-buat. Ada pula yang datang ke sekolah, tetapi menghindari kegiatan belajar dengan berdiam diri di Unit Kesehatan Sekolah (UKS) tanpa alasan yang jelas. Lebih parahnya lagi, kasus perundungan atau bullying semakin sering terjadi, dan ketika seorang guru berusaha menengahi, justru kami yang menjadi sasaran kemarahan. Seolah-olah, kami adalah pihak yang bersalah karena berupaya menegakkan disiplin.

Saya bertanya-tanya, sampai kapan guru harus terus berada dalam posisi yang lemah seperti ini? Sampai kapan profesi yang seharusnya dihormati justru menjadi sasaran amarah dan keluhan yang tidak berdasar? Jika aturan perlindungan terhadap guru tidak segera diperkuat, maka dunia pendidikan kita akan semakin terpuruk. Guru-guru akan kehilangan semangat, tidak lagi merasa aman dalam menjalankan tugasnya, dan pada akhirnya, yang dirugikan bukan hanya kami, tetapi juga para siswa itu sendiri. Pendidikan yang baik hanya bisa terwujud jika ada keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara penghormatan dan tanggung jawab. Sudah saatnya pemerintah, sekolah, dan masyarakat sadar bahwa guru juga manusia yang berhak mendapatkan perlindungan yang layak.

Mendidik bukan sekadar menyampaikan materi, tetapi juga membentuk karakter, menanamkan adab, serta membimbing siswa agar tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak baik. Sayangnya, tidak semua sekolah memiliki keberanian untuk menegakkan disiplin yang selaras dengan nilai-nilai pendidikan karakter.

Meski demikian, saya tetap percaya bahwa di tengah berbagai tantangan, masih ada titik terang. Banyak sekolah yang tetap berpegang teguh pada prinsipnya dalam membangun generasi yang berintegritas. Saya bersyukur, sekolah tempat saya mengabdi adalah salah satunya. Lingkungan di sini masih menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan yang sesungguhnya, bukan sekadar mengikuti tren atau memilih jalan pintas demi menghindari konflik.

Harapan saya, rekan-rekan seperjuangan di luar sana tetap sabar dan teguh dalam menjalankan tugasnya. Mengajar bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa. Meski jalan yang ditempuh penuh tantangan, saya percaya bahwa niat awal kami sebagai pendidik tetap putih dan suci: memajukan dunia pendidikan demi masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang.

-----

BIODATA PENULIS

Saya, Dwi Nanda Purwanto, S.T., MOS., ACA, merupakan lulusan Universitas Islam Malang dan guru di SMP Ar-Rohmah Boarding School Malang. Berawal dari pengalaman di Menwa, saya aktif di dunia pendidikan karakter siswa di berbagai daerah. Selain itu, saya juga berkontribusi dalam pembuatan konten dan media digital khususnya dalam dunia Pendidikan.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Dilema Pendidik di Era Generasi Z dan Alpha: Antara Disiplin, Ekspektasi, dan Tantangan Pendidikan Karakter

Trending Now