cr: Radar Jombang |
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Nama saya Dwi Nanda Purwanto,
S.T., MOS., ACA. Saya berasal dari SMP Ar-Rohmah Boarding School Dau Malang dan
merupakan lulusan dari Universitas Islam Malang. Sejak tahun 2019, ketika masih
aktif dalam Resimen Mahasiswa (Menwa), saya telah terlibat dalam kegiatan
pendidikan karakter dan kedisiplinan siswa. Hingga saat ini, pada tahun 2025,
saya terus berkontribusi di bidang tersebut sebagai seorang guru.
Meskipun saya memiliki latar
belakang pendidikan teknik, kecintaan saya terhadap dunia sosial dan
pendidikan, khususnya dalam membangun karakter siswa, telah membawa saya ke
berbagai sekolah di kawasan Malang, Probolinggo, Mojokerto, dan Blitar.
Pengalaman saya dalam Menwa memberikan pemahaman mendalam tentang pentingnya
disiplin, integritas, dan kepemimpinan bagi generasi muda. Oleh karena itu,
saya merasa terpanggil untuk berkontribusi dalam membentuk karakter siswa
melalui berbagai program di sekolah.
Selain berkiprah di dunia
pendidikan, saya juga aktif dalam pembuatan konten dan bekerja sama dengan
berbagai media digital. Sejak masa perkuliahan hingga saat ini, saya telah
berkolaborasi dengan media seperti Times.id, Radar Malang, Jatim Satu News, Kicaunews.com,
Arrohmahputra.com, hingga Detikcom. Saya percaya bahwa media digital memiliki
peran penting dalam menyebarluaskan nilai-nilai pendidikan karakter kepada
khalayak yang lebih luas termasuk dalam pembuatan buku dengan judul “Suara Hati
Ketika Hukum Mengancam”
Dalam perjalanan saya, saya menyadari
bahwa membangun karakter siswa bukan sekadar memberikan teori di dalam kelas,
tetapi juga melalui keteladanan dan pengalaman nyata. Pendekatan ini semakin
relevan di era digital, di mana siswa lebih mudah mengakses informasi tetapi
sering kali kurang dalam pembentukan karakter. Oleh karena itu, saya terus
berinovasi dalam metode pembelajaran dan memanfaatkan berbagai platform digital
untuk menanamkan nilai-nilai positif kepada para siswa.
Sebagai seorang tenaga pendidik, saya menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks dalam mendidik siswa dari generasi Z dan Alpha. Dari tahun ke tahun, saya menyaksikan perubahan yang signifikan dalam perilaku siswa, yang tampaknya semakin dimanja oleh orang tua mereka dengan berbagai fasilitas yang telah diberikan kepada siswa itu sendiri. Hal ini berdampak langsung pada pola kemandirian mereka, membentuk karakter yang rapuh, serta menimbulkan tantangan dalam aspek etika, adab, dan perilaku mereka di lingkungan sekolah khususnya.
Salah satu tantangan terbesar yang saya hadapi adalah menanamkan nilai-nilai kemandirian. Banyak siswa yang bergantung sepenuhnya pada orang tua dalam mengambil keputusan, menyelesaikan tugas, bahkan dalam menghadapi masalah kecil sekalipun. Mereka lebih sering memilih kenyamanan dibandingkan menghadapi tantangan, sehingga sulit bagi saya untuk membentuk karakter mereka menjadi pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab.
Selain itu, masalah sosialisasi juga menjadi perhatian utama. Saya mendapati semakin banyak siswa yang cenderung menyendiri, lebih memilih interaksi dengan gawai daripada berkomunikasi langsung dengan teman sebaya. Ketika diminta untuk berbicara di depan kelas atau mengungkapkan pendapat, mereka tampak ragu, bahkan enggan. Ekspresi diri seakan menjadi hal yang sulit bagi mereka, yang berakibat pada kurangnya keberanian dalam menghadapi dunia luar.
Dalam
proses pembentukan karakter, saya sering merasa bahwa ajaran yang saya berikan
tidak mudah diterapkan oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari. Saya bisa
berbicara panjang lebar tentang pentingnya sopan santun, disiplin, dan tanggung
jawab, namun ketika kembali ke lingkungan keluarga, mereka justru mendapatkan
perlakuan yang berlawanan. Orang tua cenderung memudahkan segala sesuatu bagi
anak-anaknya, membuat mereka sulit belajar dari tantangan dan kegagalan.
Saat ini, saya merasakan
perubahan yang cukup mencolok dalam sikap siswa di lingkungan sekolah.
Berdasarkan pengamatan saya, siswa terdahulu selalu menunjukkan sikap santun
yang begitu kental. Mereka tak hanya sekadar datang untuk belajar, tetapi juga
menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan. Senyum, salam, dan sapa terhadap yang
lebih tua, baik itu kakak kelas, guru, maupun warga sekolah lainnya yang lebih
tua seolah-olah enjadi kebiasaan yang
melekat dalam kehidupan mereka.
Namun, kini saya melihat sesuatu
yang berbeda. Para siswa seolah-olah hanya menyapa mereka yang dianggap
penting, sementara yang lain diabaikan. Rasa hormat yang dahulu menjadi ciri
khas perlahan terkikis. Yang lebih mengkhawatirkan, muncul pola pikir di
kalangan siswa bahwa keberadaan mereka di sekolah hanyalah sebagai pelanggan
yang membayar untuk mendapatkan layanan pendidikan. Seakan-akan, karena telah
membayar biaya sekolah, maka segala hal harus terpenuhi sesuai dengan keinginan
mereka, termasuk tuntutan terhadap tenaga pendidik.
Padahal, pendidikan bukan sekadar
transaksi jual beli. Sekolah bukanlah tempat di mana siswa hanya datang untuk
menuntut hak tanpa memahami kewajibannya. Guru bukan sekadar penyedia jasa yang
harus memenuhi semua permintaan siswa. Ada proses, ada etika, dan ada
nilai-nilai moral yang harus tetap dijunjung tinggi dalam dunia pendidikan.
Saya percaya bahwa perubahan ini
bukanlah sesuatu yang tidak bisa dikembalikan. Semua pihak, baik siswa, guru,
maupun orang tua, memiliki peran untuk menanamkan kembali budaya hormat dan
sopan santun dalam kehidupan sekolah. Jika kita tidak mulai bertindak, saya
khawatir masa depan akan dipenuhi oleh generasi yang kehilangan esensi dari
nilai-nilai luhur yang seharusnya mereka bawa ke mana pun mereka pergi.
Sebagai seorang pendidik, saya
telah mengalami begitu banyak pengalaman pahit dalam mendidik karakter siswa.
Tidak hanya saya, tetapi juga rekan-rekan seperjuangan saya, sering kali
dihadapkan pada situasi yang membuat kami bertanya-tanya: masih adakah kepercayaan
dari orang tua kepada kami sebagai pendidik?
Salah satu pengalaman yang sering
terjadi adalah ketika kami mencoba menegakkan disiplin dan etika di lingkungan
sekolah, tetapi justru berakhir dengan pelaporan dari siswa kepada orang tua
mereka. Misalnya, ketika seorang siswa bersikap tidak sopan kepada temannya
atau guru, saya mencoba menasihatinya agar ada perbaikan perilaku. Namun, yang
terjadi justru sebaliknya. Orang tua berdalih dengan penuh kemarahan,
seolah-olah anak mereka tidak pernah melakukan kesalahan. Mereka membela
anaknya tanpa terlebih dahulu mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya.
Alih-alih menjalin komunikasi yang baik dengan pihak sekolah, mereka justru
mempermasalahkan tindakan kami yang hanya berusaha menegakkan kedisiplinan.
Tak jarang pula, saya mendapati
siswa yang tidak mengikuti program sekolah, seperti sholat berjamaah yang telah
menjadi bagian dari aturan sekolah. Ketika saya menegur dan mengingatkan siswa,
beberapa siswa justru mengadu kepada orang tua dengan versi cerita yang
berbeda. Mereka mengatakan bahwa mereka diceramahi atau bahkan dihukum karena
tidak sholat. Padahal, apa yang kami lakukan hanyalah bentuk pembinaan agar
mereka terbiasa dengan kebiasaan baik. Lagi-lagi, alih-alih mendukung kami,
orang tua justru datang dengan keluhan dan protes, mempertanyakan mengapa anak
mereka diperlakukan seperti itu.
Belum lagi soal barang-barang
aneh dan terlarang yang dibawa siswa ke sekolah. Sebagai seorang guru, saya
selalu merasa heran, mengapa ada siswa yang membawa barang yang jelas-jelas
tidak sesuai dengan aturan sekolah? Seharusnya, orang tua memiliki peran utama
dalam mengawasi apa yang dibawa anaknya ke sekolah. Namun, ketika kami menindak
tegas, justru kami yang disalahkan. Orang tua tidak terima dengan peraturan
sekolah yang sebelumnya telah mereka setujui. Bukankah ini suatu ironi? Kami
hanya menjalankan tugas untuk menjaga lingkungan sekolah tetap kondusif, tetapi
kami justru dianggap menghalangi kebebasan anak.
Pengalaman-pengalaman ini membuat
saya sadar bahwa tantangan dalam mendidik karakter siswa bukan hanya datang
dari mereka sendiri, tetapi juga dari sebagian orang tua yang kurang memahami
bahwa pendidikan karakter bukan hanya tugas guru, melainkan juga tanggung jawab
keluarga. Tanpa sinergi antara sekolah dan orang tua, sulit bagi kami untuk
membentuk generasi yang berkarakter baik dan berdisiplin.
Setiap hari, saya menghadapi berbagai tuntutan dan
ekspektasi dari para orang tua terhadap pendidikan anak-anak mereka. Mereka
menginginkan anak-anak yang cerdas, beradab, dan berakhlak mulia, tetapi
seolah-olah mereka berharap semua itu terwujud dengan sedikit usaha, hanya
dengan sentuhan ajaib dari para guru. Padahal, membentuk karakter seorang siswa
bukanlah perkara mudah. Layanya sebuah seni, sama seperti seorang pemahat yang
membentuk kayu menjadi karya seni yang luar biasa. Butuh kesabaran, keterampilan,
dan waktu yang tidak sebentar.
Dalam dunia pendidikan, membentuk karakter siswa
adalah proses panjang yang membutuhkan usaha yang serius, pendidikan yang
berkesinambungan, serta pengajaran yang terencana sesuai dengan aturan sekolah
yang berlaku. Tidak ada jalan pintas dalam menanamkan nilai-nilai luhur. Jika
ingin menciptakan generasi yang unggul, beradab, dan berakhlak, maka harus ada
komitmen dan kolaborasi antara tenaga pendidik dan orang tua. Namun,
kenyataannya, sering kali saya merasa bekerja sendirian.
Ketika ada kesalahan atau perilaku yang kurang baik
dari seorang siswa, jari-jari dengan mudah menunjuk ke arah guru. Seolah-olah
semua kesalahan ada di pundak kami, padahal proses pendidikan karakter bukan
hanya tanggung jawab sekolah, melainkan juga keluarga dan lingkungan. Guru
menjadi pihak yang disalahkan tanpa mempertimbangkan berbagai faktor lain yang
turut membentuk kepribadian anak.
Sebaliknya, ketika seorang siswa berhasil, ketika
ia tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, berakhlak baik, dan berprestasi, sering
kali nama guru tidak lagi disebut. Semua keberhasilan seolah-olah hanya buah
dari kerja keras anak itu sendiri atau dukungan orang tua, sementara peran guru
yang setiap hari membimbing, mengarahkan, dan membentuk karakter mereka luput
dari pengakuan.
Sebagai pendidik, saya tidak pernah meminta
penghargaan yang berlebihan. Saya hanya ingin ada kesadaran bahwa mendidik
bukan sekadar tugas guru, melainkan tanggung jawab bersama. Jika orang tua
ingin anak-anak mereka tumbuh menjadi pribadi yang luar biasa, mereka juga
harus turut berperan aktif, bukan hanya berharap hasil instan tanpa memahami
proses yang berlangsung di baliknya. Pendidikan adalah kerja bersama, bukan
sekadar tuntutan sepihak.
Saya merasa semakin hari dunia pendidikan semakin
kehilangan arah. Aturan yang seharusnya menjadi pilar kedisiplinan di sekolah
justru berubah-ubah hanya demi menjaga nama baik institusi. Dulu, aturan dibuat
dan disepakati bersama, menjadi pedoman bagi siswa dan guru dalam menjalankan
proses belajar mengajar. Namun, kini, demi menghindari kontroversi dan menjaga
citra, sekolah dengan mudahnya mencabut atau mengubah kebijakan yang sudah
ditetapkan.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana banyak rekan
pendidik merasa terhimpit oleh sistem yang tidak adil. Guru dituntut untuk
memberikan yang terbaik, mencetak generasi unggul, mendidik dengan sepenuh
hati, namun saat ada masalah, justru guru dijadikan kambing hitam. Petinggi
sekolah yang menetapkan aturan dan membebankan ekspektasi tinggi kepada kami,
tiba-tiba menghilang ketika masalah muncul. Bukannya memberikan dukungan,
mereka justru ikut menyalahkan kami, seolah-olah semua kesalahan bersumber dari
guru.
Saya juga mulai melihat perubahan dalam sikap para
guru. Banyak dari mereka yang kini lebih memilih diam daripada bertindak ketika
ada siswa yang melanggar aturan. Mereka takut. Takut ditegur, takut diprotes
orang tua, bahkan takut dilaporkan hanya karena menegakkan disiplin. Sungguh
miris, kini kami tidak hanya harus berhati-hati dalam mendidik, tetapi juga
harus berpikir seribu kali sebelum menegur siswa yang melanggar aturan. Jika
kami menindak, kami berisiko mendapat masalah. Jika kami membiarkan, kami pun
tetap bisa disalahkan jika siswa itu nantinya menghadapi konsekuensi atas
perilakunya sendiri.
Rasanya seperti memakan buah simalakama. Serba
salah. Di satu sisi, kami ingin mendidik siswa dengan baik, menanamkan
nilai-nilai disiplin dan tanggung jawab. Di sisi lain, kami juga tidak ingin
terjebak dalam situasi di mana niat baik kami justru berbalik menjadi masalah
besar. Akhirnya, banyak guru yang memilih untuk tidak peduli, bukan karena
mereka tidak ingin mendidik, tetapi karena mereka lelah menghadapi
ketidakpastian yang terus menghantui mereka.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, saya khawatir
pendidikan kita akan kehilangan sosok guru yang benar-benar mendidik dengan
hati. Kita bukan hanya sedang menciptakan generasi yang tidak mengenal
disiplin, tetapi juga membiarkan dunia pendidikan terombang-ambing oleh
kebijakan yang inkonsisten. Saatnya sekolah kembali kepada prinsip dasar:
mendidik dengan tegas namun tetap bijaksana, serta memberikan perlindungan
kepada para pendidik yang berjuang di garda terdepan mencerdaskan anak bangsa.
Sebagai seorang pendidik, saya merasa semakin hari
semakin sulit untuk menjalankan tugas saya dengan tenang dan profesional.
Lemahnya aturan terhadap perlindungan guru menjadi salah satu faktor yang harus
segera diselesaikan. Jika tidak, profesi yang seharusnya dihormati ini justru
akan semakin banyak memakan korban. Kami, para guru, mengabdikan diri untuk
mencerdaskan anak bangsa, membimbing mereka agar siap menghadapi tantangan
besar di masa depan, baik di dunia kerja maupun di masyarakat. Namun, realitas
yang kami hadapi justru bertolak belakang dengan semangat pengabdian kami.
Di dalam lingkungan sekolah, banyak siswa yang
secara sadar melanggar peraturan yang mereka sendiri pahami. Mereka tahu mana
yang benar dan mana yang salah, tetapi tetap saja mereka mencari celah untuk
membenarkan tindakan mereka. Ketika ditegur atau diberikan sanksi, mereka
dengan mudahnya berlindung di balik ancaman, "Saya akan lapor orang
tua." Ini menjadi tameng mereka untuk menghindari tanggung jawab atas
perbuatan mereka sendiri. Tak jarang, ancaman tersebut membuat kami sebagai
guru serba salah dan berada dalam posisi yang sulit.
Modus-modus pelanggaran pun semakin beragam. Ada
yang sengaja bolos sekolah, lalu ketika tertangkap, mereka berdalih memiliki
alasan tertentu yang dibuat-buat. Ada pula yang datang ke sekolah, tetapi
menghindari kegiatan belajar dengan berdiam diri di Unit Kesehatan Sekolah
(UKS) tanpa alasan yang jelas. Lebih parahnya lagi, kasus perundungan atau
bullying semakin sering terjadi, dan ketika seorang guru berusaha menengahi,
justru kami yang menjadi sasaran kemarahan. Seolah-olah, kami adalah pihak yang
bersalah karena berupaya menegakkan disiplin.
Saya bertanya-tanya, sampai kapan guru harus terus
berada dalam posisi yang lemah seperti ini? Sampai kapan profesi yang
seharusnya dihormati justru menjadi sasaran amarah dan keluhan yang tidak
berdasar? Jika aturan perlindungan terhadap guru tidak segera diperkuat, maka
dunia pendidikan kita akan semakin terpuruk. Guru-guru akan kehilangan
semangat, tidak lagi merasa aman dalam menjalankan tugasnya, dan pada akhirnya,
yang dirugikan bukan hanya kami, tetapi juga para siswa itu sendiri. Pendidikan
yang baik hanya bisa terwujud jika ada keseimbangan antara hak dan kewajiban,
antara penghormatan dan tanggung jawab. Sudah saatnya pemerintah, sekolah, dan
masyarakat sadar bahwa guru juga manusia yang berhak mendapatkan perlindungan
yang layak.
Mendidik
bukan sekadar menyampaikan materi, tetapi juga membentuk karakter, menanamkan
adab, serta membimbing siswa agar tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak baik.
Sayangnya, tidak semua sekolah memiliki keberanian untuk menegakkan disiplin
yang selaras dengan nilai-nilai pendidikan karakter.
Meski
demikian, saya tetap percaya bahwa di tengah berbagai tantangan, masih ada
titik terang. Banyak sekolah yang tetap berpegang teguh pada prinsipnya dalam
membangun generasi yang berintegritas. Saya bersyukur, sekolah tempat saya
mengabdi adalah salah satunya. Lingkungan di sini masih menjunjung tinggi
nilai-nilai pendidikan yang sesungguhnya, bukan sekadar mengikuti tren atau
memilih jalan pintas demi menghindari konflik.
Harapan saya, rekan-rekan seperjuangan di luar sana tetap sabar dan teguh dalam menjalankan tugasnya. Mengajar bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa. Meski jalan yang ditempuh penuh tantangan, saya percaya bahwa niat awal kami sebagai pendidik tetap putih dan suci: memajukan dunia pendidikan demi masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang.
-----
BIODATA PENULIS
Saya, Dwi Nanda Purwanto, S.T., MOS., ACA, merupakan lulusan Universitas Islam Malang dan guru di SMP Ar-Rohmah Boarding School Malang. Berawal dari pengalaman di Menwa, saya aktif di dunia pendidikan karakter siswa di berbagai daerah. Selain itu, saya juga berkontribusi dalam pembuatan konten dan media digital khususnya dalam dunia Pendidikan.