Ilustrasi Tradisi Buwuhan dalam Pesta Pernikahan sebagai Wujud Kerukunan. Foto Sri RD
MADIUN | JATIMSATUNEWS.COM -Buwuhan merupakan tradisi memberi hadiah atau sumbangan kepada orang yang melaksanakan hajatan baik pernikahan, khitanan atau kelahiran bayi. Tradisi ini sudah ada sejak lama dan beberapa wilayah masih melestarikannya, termasuk di Madiun.
Buwuhan atau buwuh sering juga disebut jagong, nyumbang, tarian. Barang yang dibawa saat buwuh berupa bahan makanan pokok seperti beras, mie, gula, minyak goreng.
Jumlah bahan makanan tersebut tidak sama, bisa 2 atau 3 macam, tetapi beras harus ada. Pada umumnya beras 2-3 kilogram ditambah mie 1 pack harga Rp5.000-Rp6.500. Bisa juga beras dan gula pasir 1 kilogram atau minyak goreng.
Jika kerabat, biasanya akan buwuh lebih banyak, minimal beras 5 kilogram, gula pasir 5 kilogram. Buwuh kepada saudara kandung bisa lebih banyak lagi, bisa mencapai beras 1 karung dan bahan makanan lain.
Pada intinya barang bawaan saat buwuh menyesuaikan status kekerabatan, kemampuan ekonomi juga keikhlasan. Ini karena ke depannya berhubungan dengan utang piutang.
Tradisi Buwuh antara Kerukunan dan Utang Piutang
Tradisi buwuhan ini erat kaitannya dengan budaya gotong royong karena melibatkan masyarakat sekitar. Satu hari sebelum acara atau manggulan tetangga sudah mulai berdatangan membawa barang buwuhan.
Tradisi ini bukan sekadar memberi hadiah, tetapi banyak manfaatnya, seperti mempererat silaturahmi, kerukunan antar masyarakat. Juga meringankan biaya hajatan.
Namun, selain menjaga kerukunan buwuh juga identik dengan utang piutang. Contohnya ketika hajatan, utusan atau laden akan mencatat barang bawaan tamu. Suatu saat jika tamu itu hajatan, barang buwuhan harus dikembalikan dengan jumlah yang sama. Begitu pun dengan uang.
Jika tidak dikembalikan atau buwuh balik, ada perasaan sungkan. Aturan ini tidak tertulis, tetapi sudah umum dilakukan masyarakat.
Alangkah baiknya saat buwuhan tidak mengharapkan kembali. Nitakan membantu empunya hajat agar acaranya lancar. (SRI RD/Madiun)