1. Mencintai guru, berkah Ilmuku
Pertama kali mendengar ketika ada berita
seorang Guru Pendidikan Agama Islam di daerah Dampit, tepatnya dari SMP
Diponegoro Dampit yang dilaporkan ke
polisi karena mendisiplinkan serta menegur siswanya masalah sholat. Apa yang
kita rasakan sebagai sesama guru? Terutama sebagai Guru Pendidikan Agama? Miris??
Iya. Sedih?? Tentu saja. Marah?? Terselip juga.
Tidak bisa kita pungkiri, sangat manusiawi jika kita juga ikut merasakan
apa yang Pak Rupian rasakan kala itu, yakni menjadi tersangka hanya
karena menjalankan tugas sebagai
pendidik anak bangsa.
Di zaman yang serba modern seperti
sekarang ini, akhlak serta karakter
seakan tertindas perannya, sehingga banyak akibat negatif yang ditimbulkan
khususnya dalam dunia Pendidikan, sehingga lahirlah kebijakan Pemerintah
tentang “Penguatan Karakter Siswa”. Hal
ini juga berakibat pada perilaku siswa serta orang tua terhadap guru di
sekolah. Tidak sedikit siswa maupun orang tua yang tidak menghargai guru
sebagai pendidik yang notabene berkewajiban mendidik siswa. Bahkan, kadang mereka sampai ada yang
menyalahkan tindakan seorang guru dalam mendisiplinkan siswanya. Tak jarang
dari beberapa guru ada yang sampai dilaporkan ke pihak yang berwajib dengan
dalih “tindakan kekerasan”. Tentu saja hal ini sangat meresahkan bagi para
guru. Mereka menjadi dilema, antara menjalankan tugas dan kewajiban sebagai
pendidik atau hanya sekedar sebagai pengajar agar tetap aman.
Dalam konteks ini, saya sebagai seorang
guru agama, sebenarnya sangat prihatin dengan tindakan serta perilaku siswa
zaman sekarang yang notabene krisis akhlak/tata krama. Bahkan anak seusia SMA/K
tidak bisa berbicara halus kepada guru atau orang yang lebih tua, kadang saya
mengajari mereka tata cara berbicara yang baik dan sopan khususnya kepada
guru-guru di sekolah. Hal ini kelihatan sepele, akan tetapi mempunyai pengaruh serta
dampak yang besar terhadap pembentukan karakter siswa. Jika mereka terbiasa berbicara
kasar, tentu akan mudah menyulut emosi bagi yang mendengarnya, bahkan tidak
sedikit seorang guru yang berusaha mengingatkan dengan caranya masing-masing
dengan tujuan agar sikap siswa menjadi baik. Namun hal ini, yang terkadang
memicu permasalahan antara guru dan orang tua. Sehingga muncul beberapa kasus
di berbagai daerah di Indonesia, guru ditegur dengan tidak semestinya, bahkan
dilaporkan ke pihak yang berwenang. Sehingga peran “adab/tata krama” sangat
penting bagi siswa khususnya di era yang semakin modern seperti sekarang ini
yang sering kita dengar dengan sebutan “Gen Z”.
Mengapa
adab atau tata krama sangat diperlukan dan penting? Karena adab
merupakan pembeda antara manusia dengan hewan. Bahkan adab lebih tinggi daripada ilmu, karena orang yang beradab
pasti akan berbuat baik, akan tetapi kalo orang yang berilmu saja tetapi tidak
beradab, bisa melakukan hal-hal yang tidak baik. Itulah pentingnya tata krama
dalam kehidupan manusia, sehingga siswa perlu di perkuat karakter nya
agar menjadi manusia yang berilmu dan berakhlak mulia.
Imam Darul Hijrah, Imam Malik
rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy, تعلم
الأدب قبل أن تتعلم العلم, yang
mempunya arti : “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”
Kenapa sampai para ulama mendahulukan
mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata, بالأدب
تفهم العلم , yang artinya : “Dengan mempelajari adab,
maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”
Dan Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata, “Dengan
memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab,
maka ilmu akan disia-siakan.”
Dari beberapa paparan diatas, peran adab
sangat diperlukan dalam bermasyarakat serta bersosialisasi di dunia ini,
sehingga sudah tepat kiranya jika Pemerintah juga berusaha mewujudkan “peran
adab” dalam dunia Pendidikan dengan lebih mengedepankan nilai sikap siswa
daripada nilai sumatif maupun formatif.
Dalam mewujudkan program Pemerintah
tentang “penguatan karakter” yang dituangkan dalam berbagai cara, salah satunya
yang saat ini kita kenal dengan “
Penguatan Profil Pelajar Pancasila” yang mengedepankan karakter siswa dalam
setiap pembelajaran yang diperoleh siswa di sekolah. Hal ini mengharuskan
sekolah mempunyai program yang dapat
menunjang hal tersebut. Sekolah harus mampu berinovasi dalam mewujudkan siswa
yang tidak hanya cerdas dalam ilmu pengetahuan akan tetapi juga dalam hal
akhlak dan agamanya.
Sekolah-sekolah berlomba-lomba
mewujudkan hal tersebut dengan berbagai cara, salah satunya yang ada disekolah saya
adalah adanya pembiasaan-pembiasaan yang bersifat religius. Pembiasaan itu
adalah sholat dhuha dan dhuhur berjamaah di sekolah, membaca yasin, istighosah
serta menunjukkan sikap sopan dan santun Ketika bertemu guru di sekolah maupun
di luar sekolah. Hal ini dilakukan karena karakter tidak bisa terbentuk secara instan, perlu proses
serta pembiasaan.
Salah satu program yang saya lakukan di
sekolah juga membuat jurnal sholat untuk semua siswa yang beragama Islam. Hal
ini dilakukan untuk mengontrol sholat siswa di rumah. Karena banyak siswa yang
hanya melaksanakan sholat di sekolah, sehingga dengan adanya jurnal sholat,
sedikit demi sedikit para siswa mau melaksanakan sholat di rumah.
Hal ini juga sangat butuh dukungan dari
berbagai pihak, khususnya orang tua sebagai agen of control anak-anak di
rumah. Bahkan ada orang tua yang memang tidak melakukan sholat di rumah,
sehingga siswa tidak termotivasi untuk melakukan sholat. Hal ini mungkin hampir
sama dengan yang dilakukan pak Rufian (guru yang dilaporkan orang tua karena
dianggap melakukan kekerasan Ketika mengingatkan sholat). Seorang pendidik/guru
tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang melanggar norma jika tidak ada sebab.
Seorang guru tidak akan mungkin membiarkan siswa yang melakukan tindakan yang
dilarang. Dalam hal ini, memang di butuhkan parenting bagi orang tua
agar lebih memahami tugas guru di sekolah. Tugas guru tidak hanya sekedar
mentransfer ilmu, akan tetapi juga harus mendidik siswa menjadi anak yang siap
dalam menghadapi dunia yang keras dengan perilaku yang baik dan santun. Seorang
siswa juga harus mematuhi semua peraturan yang ditetapkan oleh sekolah agar
memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Terkait syarat agar ilmu yang kita
peroleh bermanfaat, ada beberapa syarat seperti yang disampaikan Pengasuh
Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, KH Moh Zuhri Zaini
menjelaskan, bahwa ada empat syarat agar ilmu yang diperoleh bermanfaat bagi
orang lain. Penegasan tersebut disampaikan saat Halal Bihalal di masjid pondok
pesantren setempat, Rabu (18/05/2022).
Pertama, adalah ikhlas dalam menuntut ilmu.
Yakni, menuntut ilmu dengan niatan untuk menghilangkan kebodohan, bukan sebab
yang lain. Sebab menurut Kiai Zuhri, menuntut ilmu itu hukumnya wajib.
Kedua, adalah menghargai ilmu. Sebab, bila tidak menghargai
ilmu maka ilmu tersebut tidak akan menjadi bermanfaat. Di antara cara
menghargai ilmu tersebut adalah menghargai kitab, menghormati guru, dan
menghormati teman belajar. Mengingat, tiga hal tersebut memiliki keterkaitan
yang erat dengan ilmu.
“Jika kita ingin mendapatkan ilmu yang
bermanfaat, maka hormati gurumu, teman-temanmu, dan hargai kitabmu,” kata putra
KH Zaini Mun’im tersebut.
Ketiga, adalah riyadhah dan mujahadah atau
melakukan tirakat. Yakni, dengan melawan keinginan nafsu yang tidak semisal
melawan rasa malas pada saat menuntut ilmu.
Keempat, adalah taat peraturan sekolah dan
taat atas perkataan guru. Bilamana tidak mentaati peraturan sekolah dan
perkataan guru, maka nantinya akan memiliki keberanian untuk melanggar terhadap
peraturan yang lebih besar.
“Taat kepada peraturan dan guru
merupakan kunci dari kemanfaatan ilmu kita,” ujar alumni Pondok Pesantren
Sidogiri tersebut.
Dari uraian KH Moh Zuhri Zaini diatas
jelas bahwa keempat syarat tersebut tidak dapat dipisahkan dan bergantung satu
dengan yang lainnya. Sehingga peran guru, orang tua serta siswa harus
berkesinambungan dan saling bertautan. Orang tua juga harus mendukung semua
program serta peraturan sekolah sehingga memudahkan putra dan putrinya dalam
menuntut ilmu dan memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Jika semua orang tua melakukan hal
tersebut, kita sebagai seorang pendidik khususnya guru Pendidikan Agama Islam,
merasa tenang dan nyaman dalam menjalankan kewajiban dalam mendidik serta
membentuk karakter siswa tanpa dihantui dengan bayang-bayang pelaporan orang
tua siswa ke pihak yang berwajib.
2. Guru
dan Hukum
Berbagai kasus
kekerasan hingga kriminalisasi yang dialami guru, khususnya dalam konteks
pengajaran dan pendisiplinan siswa, menunjukkan betapa rentannya tenaga
pendidik terhadap jeratan hukum saat menjalankan tugasnya. Karena itu,
perbaikan sistem perlindungan hukum untuk mendukung guru dalam melaksanakan
tugasnya dengan aman dan nyaman sangat dibutuhkan saat ini.
Kasus
kriminalisasi seorang guru sering terjadi karena kurangnya pemahaman akan batasan-batasan
dalam hal mendisiplinkan siswa. Seringkali Undang-Undang Perlindungan Anak
menjadi dasar pelaporan terhadap seorang guru. Maka dari itu, kita butuh
dukungan hukum yang jelas agar tindakan pendisiplinan siswa tidak dianggap
sebagai tindak kriminal. Akan tetapi, guru juga harus memahami batasan dalam hal
mendisiplinkan siswa, tidak boleh ada kekerasan, baik fisik maupun verbal.
Sehingga guru harus lebih bijak dalam hal memberikan sanksi atau hukuman
terhadap siswa dalam hal kedisiplinan sehingga tidak terjerumus ke dalam lubang
hukum.
Disebutkan dalam UU Guru dan Dosen yakni memberikan
perlindungan hukum bagi guru untuk menjalankan tugas profesionalnya dengan
memberikan hak untuk memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut
menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai
dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan dan
memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.
Meskipun demikian, ditegaskan pula
bahwa dalam menjalankan tugas keprofesionalannya, guru berkewajiban, salah
satunya, untuk bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar
pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau
latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam
pembelajaran dan juga menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan,
hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika.
Dengan demikian, kebebasan yang
diberikan kepada guru dalam memberikan sanksi kepada siswa haruslah sesuai
dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Sebuah
kewajiban bagi guru dalam melaksanakan haknya untuk bertindak objektif dan
tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras,
dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial
ekonomi siswa dalam pembelajaran serta menjunjung tinggi peraturan
perundang-undangan, hukum, kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika.
Ketika hak dan kewajiban guru telah dilaksanakan dengan
seimbang dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan UU Guru dan Dosen
diharapkan tidak akan terjadi permasalahan yang berujung pada pelaporan
pelanggaran administratif, kode etik guru, hingga laporan kasus hukum pidana
atau bahkan terancam sanksi yang menjadi konsekuensinya jika terbukti.
UU Guru dan Dosen juga mengatur mengenai
hak guru untuk mendapatkan bantuan hukum dan perlindungan profesi guru dari organisasi
profesinya.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal
42 UU Guru dan Dosen yang mengatur bahwa organisasi profesi guru
mempunyai kewenangan:
- menetapkan
dan menegakkan kode etik guru;
- memberikan
bantuan hukum kepada guru;
- memberikan
perlindungan profesi guru;
- melakukan
pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan
- memajukan
pendidikan nasional.
Ketentuan tersebut menjelaskan secara khusus peran penting organisasi profesi guru untuk memberikan perlindungan hak bagi guru yang menghadapi permasalahan hukum dengan memberikan bantuan hukum dan perlindungan terhadap profesi guru.
Mudah-mudahan semua amal yang kita
lakukan dalam mencerdaskan anak bangsa mendapat Ridho dari Allah Swt dan
menjadi ladang pahala jariyah kita ilaa yaumil qiyamah. Dan semoga kita
dijauhkan dari hal-hal yang dapat menghapus amal serta keihkhlasan kita, Aamiin
Wallahu a’lam bissowab….
----
Tentang Penulis
Dewi Khusniah,S.Si, M.Pd lahir di Pasuruan pada tanggal 29 Oktober 1981. MTs dan MA di tempuh di PPP KHA Wahid Hasyim Bangil. Lanjut S1 di Fakultas Saintek Jurusan Matematika di Universitas Maulana Malik Ibrahim (UIN) Malang tahun 2000-2004. Pada tahun 2013 ambil S2 Jurusan Magister Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Malang.
Penulis asli Pasuruan, namun saat ini menetap di Kabupaten Malang bagian Barat daerah pegunungan ikut suami.
Mulai mengajar di SMK A.Yani Ngantang pada Januari 2005 yang awalnya sebagai Guru Matematika kemudian juga merangkap sebagai Guru Pendidikan Agama Islam sampai sekarang.