cr: pinterest |
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Sebagai seorang guru, saya selalu
percaya bahwa pendidikan adalah jalan untuk menciptakan generasi yang lebih
baik. Setiap hari, saya datang ke kelas dengan niat tulus untuk membimbing
anak-anak ini menjadi manusia yang berakhlak, cerdas, dan mandiri. Namun,
belakangan ini, ada sesuatu yang mengganggu hati saya. Bukan soal kurikulum
yang terus berubah atau tuntutan administrasi yang semakin berat, melainkan
bayang-bayang ancaman hukum yang terasa semakin dekat.
Sebagai
seorang guru, saya sering bertanya-tanya, kapan profesi yang mulia ini mulai
berubah menjadi ladang penuh ketidakpastian? Dulu, menjadi guru adalah sebuah
kebanggaan, bukan hanya karena ilmu yang diajarkan, tetapi juga karena rasa
hormat yang diberikan masyarakat. Namun, kini suasana itu perlahan memudar,
digantikan oleh rasa was-was yang menghantui setiap langkah. Setiap keputusan,
setiap kata, bahkan setiap sentuhan yang dimaksudkan untuk mendidik, bisa
menjadi bumerang yang menyeret kami ke meja hijau.
Saya
masih ingat betul bagaimana dulu, orang tua dan guru berdiri di sisi yang sama,
bahu-membahu untuk membentuk generasi yang lebih baik. Tetapi sekarang,
segalanya berubah. Ada ketakutan yang terus mengintai, bahwa tindakan saya
untuk mendisiplinkan siswa, yang sejatinya bertujuan mendidik, dapat dianggap
melanggar hukum. Sebagai manusia biasa, saya tidak luput dari kesalahan, tetapi
rasanya tidak adil ketika niat baik kami sering disalahartikan, bahkan berujung
pada kriminalisasi.
Setiap
hari, saya berhadapan dengan puluhan siswa, masing-masing membawa karakter,
latar belakang, dan tantangan yang berbeda. Tugas saya tidak hanya mengajarkan
pelajaran, tetapi juga membentuk karakter mereka. Namun, di tengah harapan itu,
ada bayang-bayang ketakutan yang terus membayangi: apakah tindakan saya akan
disalahartikan? Apakah ada orang tua yang akan merasa tidak puas dan memilih
jalur hukum tanpa mencoba memahami maksud sebenarnya? Beban mental ini perlahan
menjadi bagian dari rutinitas saya.
Hukum memang penting untuk melindungi hak-hak anak, tetapi bagaimana dengan perlindungan untuk kami, para guru? Kami juga manusia, yang bekerja keras untuk memberikan yang terbaik, sering kali dengan sumber daya yang terbatas. Namun, ketika hukum lebih sering berpihak pada mereka yang mengadukan daripada mereka yang mendidik, rasanya seperti kami kehilangan tempat berpijak. Apakah kami masih bisa mendidik dengan hati tanpa rasa takut?
Dalam hati, saya sering
bertanya: apakah masyarakat masih percaya pada guru? Saya rindu saat di mana
orang tua datang ke sekolah untuk berdiskusi, bukan untuk mencari-cari
kesalahan. Saya rindu saat di mana kata-kata kami dihormati, bukan diragukan.
Saya ingin kembali ke masa di mana pendidikan adalah kerja sama, bukan ajang
saling menyalahkan.
Sebagai guru, saya hanya berharap, mari kita kembalikan kepercayaan dan rasa hormat yang pernah ada. Mari kita jadikan hukum sebagai pelindung, bukan ancaman. Saya percaya, dengan dialog yang baik dan saling pengertian, kita bisa menciptakan lingkungan yang aman, tidak hanya bagi siswa, tetapi juga bagi kami, para pendidik yang selalu berusaha memberikan yang terbaik. Sebab, tanpa rasa aman, bagaimana kami bisa mendidik dengan sepenuh hati?
---
Nama : Ariyani Fajar Apriliana Asal Madrasah : MTsN 4 Malang Guru : Bahasa Inggris |