Saya bukan Pencuri, Pleidoi Terdakwa Kasus Bantal Harvest Bikin Hakim Sempat Menitik
PASURUAN | JATIMSATUNEWS.COM: Sidang kasus bantal Harvest sampai pada putaran ke-17, agenda utama adalah pembacaan pledoi atau pembelaan terdakwa setelah pada sidang ke-16 lalu dituntut JPU, jaksa Penuntut Umum 1 tahun dan denda 50 juta. Sebuah tuntutan yang membuat PH, Penasehat Hukum Sahlan Azwar dan timnya Zulfi Syatria meradang, juga Deby Afandi selaku terdakwa kecewa, sangat sedih.
Tertuang dalam pledoi atau naskah pembelaan yang dibuat terdakwa sendiri. Basah pipi Deby Afandi ketika membaca, mengheningkan suasana sidang. Hingga Majelis hakim pun nampak ikut menitikkan air mata.
"Saya melihat tadi salah satu hakim ada yang ikut menangis, saya juga ini," ujar Eko, pengunjung yang ikut menyaksikan di ruang sidang bersama Asurban, Asosiasi Kasur dan Bantal. Kawan kawan Deby yang setia ikut mengawal sidang dari awal hingga detik ke 17 ini.
Soal hari biru pledoi Deby menyatakan sangat terpukul terutama saat menyebut dirinya bukan pencuri.
"Saya ini UMKM, orang yang berusaha bekerja mencari nafkah halal kok dituntut pidana seperti kriminal, saya bukan pencuri yang pantas dihukum," ujar Deby masih dengan mata sembab usai sidang.
PH dalam hal ini menyatakan tuntutan JPU memang keterlaluan.
"Pak Deby ini bukan penjahat. Dimana hati nurani jaksa ini sampai tega menuntut begitu berat" ucap Sahlan didampingi Zulfi yang mendapat kesempatan menyampaikan pledoi sebagai pengacara juga.
Berikut adalah Pledoi yang mengharu biru dibacakan Deby.
Pledoi Deby Afandi
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Yang Mulia Majelis Hakim yang saya hormati,
Izinkan saya membuka pembelaan ini dengan hati yang berat, namun penuh harapan, bahwa Yang Mulia akan melihat kebenaran di balik peristiwa yang membawa saya ke ruangan ini. Ini bukan sekadar pembelaan, tetapi suara hati seorang manusia yang berjuang, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarga dan orang-orang kecil yang bergantung pada usaha kecil yang kami bangun.
Yang Mulia,
Saya adalah seorang pelaku usaha kecil, hanya seorang rakyat biasa yang mencoba bertahan hidup. Bersama istri saya, kami memulai usaha kecil ini pada tahun 2019, bermodalkan tekad dan keyakinan bahwa kerja keras akan membuahkan hasil. Kami memilih nama "Harvest" setelah survei sederhana.
Kami tidak tahu tentang hukum merek, PDKI, atau DJKI. Yang kami tahu hanyalah bahwa kami tidak mengambil sesuatu yang bukan hak kami. Saya tidak berniat meniru merek apapun dan punya siapapun.
Perjalanan kami penuh peluh dan air mata. Kami berjualan dari pintu ke pintu, car free day (tanpa laku satupun tetap kami jalani), menggandeng reseller, bahkan sering kali harus menahan lapar demi menjaga roda usaha ini tetap berputar.
Perlahan usaha kami tumbuh, bukan hanya menjadi sumber nafkah kami, tetapi juga bagi para pekerja yang kami rekrut. Mereka adalah ibu tunggal, janda, dan orang-orang yang kehilangan harapan hidup. Bahkan ada seorang ibu karyawan kami yang suaminya dipenjara akibat kasus narkoba pernah hampir bunuh diri sebab tekanan ekonomi.
“Saya sudah tak kuat menahan beban hidup ini,” katanya . Untuk beliau kami memberi kesempatan bisa bekerja agar memberi nafas kehidupan dan ada yang diharapkan untuk makan setiap hari.
Yang Mulia,
Ketika kami mengetahui pentingnya pendaftaran merek, kami langsung berusaha mendaftarkan nama "Harvest Indopillow". Namun pendaftaran itu ditolak. Kami tidak menyerah, mencoba mendaftarkan merek baru, tetapi hasilnya sama.
Di tengah perjuangan ini, kami menghubungi Bapak Andrie Wongso, pemilik lama merek "Harvest," yang dengan kebesaran hatinya memberikan izin kepada kami untuk terus menggunakan nama itu.
Kami tentu senang dan bahagia.
Bahagia bukan hanya karena angka penjualan yang semakin baik. Tapi juga kerelaan satu-satunya pemilik merek Harvest di kelas 20 sudah kami dapatkan dan komunikasi yang kondusif di antara kami dalam upaya peralihan hak atas merek Harvest juga terus berproses.
Mulai terbayang masa depan yang indah di hadapan kami.
Namun, semua berubah ketika Sdr. Fajar Yuristanto mendaftarkan merek "Harvestluxury" pada tahun 2023, lalu melaporkan kami hanya dua hari setelah pendaftaran mereknya diterima. Kami seperti disambar petir.
Apa salah kami? Kami telah memakai nama ini sejak 2019, jauh sebelum dia muncul. Laporan itu menghancurkan hidup kami.
Istri saya yang baru saja melahirkan menerima ancaman akan menjadi tersangka. Kami diminta menutup usaha kami. Kami terpojok, sampai-sampai harus mencari uang besar demi memenuhi permintaan tertentu agar kasus ini tidak semakin memburuk.
Saya hadapi pemanggilan demi pemanggilan dan mediasi demi "mediasi" (dalam tanda kutip) dengan pikiran kalut. Bagaimana tidak;
• Istri saya sedang hamil besar dan segera akan melahirkan
• Kompensasi damai yang diminta ke saya sangatlah tidak wajar. Diawali dg 12 Miliar. Angka yg sangat jauh di atas kemampuan kami. Sempat kami berpikir ini komepensasi apa pemerasan?
• Walaupun dalam mediasi terakhir permintaan itu menjadi 1,126 miliar, tetap angka yg sangat besar bagi sy, pelaku UMKM.
• Selain tidak wajar angka-angka tersebut juga tidak jelas dasar perhitungannya.
• Kami dilarang berjualan
• Pihak yang semestinya membela saya cenderung menyuruh "damai" dg arti kata sy mau membayar dan menyerahkan merek saya.
• Pihak yang semestinya menjadi penengah yang adil cenderung menekan saya supaya terjadi "perdamaian" dg arti kata sy harus membayar. Ini bukan perkara nyawa, bayar saja, katanya. Kami benar-benar merasa sendiri, terpojok dan ditekan.
• Istri saya yang begitu saya cintai diancam juga akan ditersangkakan dan ditahan.
• Akun Tiktokshop dan Shoope beserta HP dan Komputer Admin saya diancam akan disita
• Barang dagangan disita
• Rompi tahanan warna oranye sudah sempat saya kenakan. Pintu tahanan sudah di depan mata.
• Dan pada akhrinya istri pun menjadi tersangka.
Seperti kami ini melakukan kejahatan yang tidak bisa dimaafkan, seolah-olah tidak ada ampun bagi kami, sebegitu hinanya kami pada saat itu.
Begitu besar tekanan yang saya rasakan, saya bertanya-tanya:
• Akankah usaha yang kami rintis dengan susah payah ini hilang begitu saja?
•
Akankah sumber penghasilan kami hilang?
• Akankah saya dan istri dipenjara?
• Akankah anak-anak saya kehilangan kedua orang tuanya karena dipenjara?
Yang Mulia,
Saya bukan pencuri, bukan penipu, dan bukan orang yang ingin mengambil keuntungan dari hak orang lain. Ketidaktahuan kami soal hukum menjadi kesalahan yang harus kami tanggung dengan begitu mahal.
Kami telah mencoba memperbaiki keadaan. Kami mengganti nama merek menjadi "Harvestway," (tanpa spasi) berharap agar tidak ada lagi sengketa.
Tetapi, mengapa kami masih di sini? Mengapa kami harus menghadapi tuntutan yang tidak masuk akal, hingga miliaran rupiah, yang jelas-jelas di luar kemampuan kami?
Namun itu sudah menjadi jalannya.
Terbayang dimata saya, rekan kami H. Fauzan yang bukan hanya mereknya beralih, tapi usahanya juga hilang dan tidak bisa bangkit lagi sampai sekarang, karena kasus yang sama dengan kami, dengan orang yang sama pula. Juga setelah membayar kompensasi.
Begitu kejam rasanya jika itu juga saya alami.
Yang Mulia,
Kami hanyalah rakyat kecil yang berjuang untuk hidup. Usaha ini bukan hanya tentang saya dan istri, tetapi juga tentang para karyawan kami yang menggantungkan hidupnya dari tempat ini.
Jika usaha ini dihancurkan, bukan hanya kami yang menderita, tetapi juga mereka, para ibu, janda, dan anak-anak yang menggantungkan harapan pada pekerjaan mereka.
Yang Mulia,
Dalam Islam, ada satu prinsip: "Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niatnya." Niat kami hanya untuk mencari nafkah dengan cara yang halal. Tidak pernah terbersit sedikit pun untuk melanggar hukum atau merugikan orang lain.
Maka saya memohon dengan tulus, dengan segenap hati, agar Yang Mulia mempertimbangkan:
1. Bahwa kami telah beritikad baik dengan mengganti nama merek.
2. Bahwa usaha ini telah memberikan kehidupan bagi banyak orang.
3. Bahwa kasus ini semestinya dapat diselesaikan dengan cara yang lebih manusiawi, bukan dengan menghancurkan kami.
Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mahfud MD, "Hukum harus membawa keadilan, bukan hanya kepastian hukum."
Kami memohon keadilan, bukan belas kasihan. Kami hanya ingin diberi kesempatan untuk kembali berdiri, untuk melanjutkan perjuangan kami, dan untuk terus memberikan manfaat kepada masyarakat kecil di sekitar kami.
Yang Mulia,
Saya percaya bahwa hati nurani Yang Mulia akan melihat kebenaran di balik kasus ini. Izinkan kami kembali bekerja, kembali membangun hidup kami, dan kembali menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Itulah yang ingin kami lakukan, itulah yang menjadi alasan kami berjuang.
Demikian pembelaan saya. Semoga Allah SWT memberikan hikmah dan kebijaksanaan kepada Yang Mulia dalam mengambil keputusan. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Ans