SIDOARJO|JATIMSATUNEWS.COM β Adanya dugaan penerbitan sertifikat bangunan yang dimiliki oleh PT Bernofarm sampai sempadan Sungai Avour, Desa Karangbong, Sidoarjo menimbulkan sebuah pertanyaan, mengingat ada aturan yang melarang kepemilikan pribadi atas tanah sempadan sungai.
Seperti yang telah diketahui bersama, munculnya kontroversi di Kabupaten Tangerang, Banten, terkait pagar misterius di laut. Dilansir dari CNN Indonesia, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid baru-baru ini mengungkakan pencabutan 266 sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di bawah laut, karena cacat prosedur dan melanggar aturan. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan bahwa sertifikat di area tersebut tidak bisa diterbitkan karena berada di luar garis pantai dan tidak bisa menjadi properti pribadi.
Kasus di Tangerang ini menjadi pengingat penting bahwa penerbitan sertifikat pada lahan konservasi harus melalui pengawasan ketat. Hal ini relevan dengan polemik di Sidoarjo, di mana bangunan milik PT Bernofarm diduga berada di area sempadan Sungai Avour. Berdasarkan informasi dari Dinas Pekerjaan Umum, Cipta Karya, dan Tata Ruang (P2CKTR), PT Bernofarm mendapatkan SHGB pada tahun 1988 hingga mencapai bibir sungai. Lebih lanjut, pada tahun 1991, terbit pula sertifikat lain yang mencakup lahan hingga ke area sungai. Padahal, menurut undang-undang, sempadan sungai merupakan lahan konservasi yang tidak boleh dimiliki, apalagi disertifikasi.
Tanah sempadan sungai adalah zona konservasi yang fungsinya untuk menjaga kelestarian sungai. Hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63/PRT/1993 Pasal 5 Ayat 5 bahwa sempadan sungai berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu.
Kemudian, pada Pasal 17 Ayat 1 dijelaskan bahwa Dalam hal hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menunjukkan terdapat bangunan dalam sempadan sungai maka bangunan tersebut dinyatakan dalam status quo (kondisi tidak boleh mengubah, menambah, ataupun memperbaiki bangunan) dan secara bertahap (sesuai prioritas dan kemampuan serta dengan partisipasi masyarakat) harus ditertibkan untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai.
Lebih lanjut dalam Ayat 2 dijelaskan bahwa ketentuan yang dimaksud tersebut tidak berlaku bangunan yang terdapat dalam sempadan sungai untuk fasilitas kepentingan tertentu yang meliputi:
a. bangunan prasarana sumber daya air;
b. fasilitas jembatan dan dermaga;
c. jalur pipa gas dan air minum; dan
d. rentangan kabel listrik dan telekomunikasi.
Dalam pasal 22 ayat 2 huruf b dilarang membangun bangunan dikarenakan sempadan sungai terdapat tanggul untuk kepentingan pengendali banjir.
Regulasi tersebut menegaskan bahwa tanah sempadan sungai adalah lahan konservasi yang dilindungi untuk mencegah kerusakan ekosistem, mengendalikan sumber daya air, serta mencegah bencana alam seperti banjir. Karena itu, penerbitan sertifikat kepemilikan pribadi atas lahan tersebut dapat dianggap melanggar hukum dan berpotensi dibatalkan.
Polemik ini menimbulkan sebuah pertanyaan: bagaimana sertifikat tersebut bisa diterbitkan pada tahun 1988 dan 1991? Apakah prosedur hukum sudah dilalui dengan benar?
Jika benar sertifikat tersebut diterbitkan untuk area sempadan sungai, maka ini merupakan pelanggaran serius terhadap aturan konservasi. Pemerintah harus segera menyelidiki dan mengambil tindakan tegas.
Kasus di Tangerang menunjukkan bahwa pemerintah dapat bertindak tegas dengan mencabut sertifikat yang melanggar aturan tata ruang dan konservasi. Hal ini seharusnya menjadi preseden bagi kasus serupa, termasuk di Sidoarjo.
Masyarakat kini menunggu tindak lanjut dari pemerintah terkait dugaan penerbitan sertifikat tanah sempadan di Sidoarjo. Jika benar terjadi pelanggaran, langkah tegas harus dilakukan untuk menjaga integritas aturan tata ruang dan kelestarian lingkungan.