Bu Ifah (kiri) bersama dua mahasiswa Seni Rupa Sungkyunkwan University Korea saat workshop Batik Story di Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur./dok. JSN-ANS |
PASURUAN | JATIMSATUNEWS.COM - Agenda workshop Batik Story Bu Ifah kepada mahasiswa Sungkyunkwan University di Purwosari Pasuruan Jawa Timur berjalan lancar.
Keberadaan penerjemah (interpreter) Bu Shin Nathalie Bosul membuat aliran informasi terkait Batik Story Bu Ifah dapat tersampaikan kepada para akademisi Departemen Seni Rupa Sungkyunkwan University Korea.
Rombongan akademisi dari Sungkyunkwan berisi 3 profesor dan 8 mahasiswa Seni Rupa. Mereka menjalani workshop Batik Story Bu Ifah selama tiga hari, yakni mulai Senin (20/1) hingga Rabu (22/1) kemarin.
Kedatangan mereka disambut dengan tangan terbuka oleh Bu Ifah dan stakeholder terkait dengan industri kebudayaan Batik Pasuruan, termasuk Bu Diana selaku Kadisperindag Kabupaten Pasuruan.
Bu Diana pun turut mengalungkan kain batik kepada profesor dan mahasiswa Sungkyunkwan tersebut.
Sembari mengalungkan, Bu Diana mengharapkan para mahasiswa dapat menyerap ilmu yang ada di Batik Story Bu Ifah.
"Saya berharap para mahasiswa Sungkyunkwan ini dapat memperoleh ilmu yang ada di sini. Begitu pula dengan kami yang mendapat timbal balik berupa ilmu dari Korea," ujar Bu Diana kepada JSN yang turut meliput langsung di lokasi.
Kadisperindag Kabupaten Pasuruan, Bu Diana, turut mengalungkan kain batik kepada akademisi Seni Rupa Sungkyunkwan University, Korea Selatan./dok. JSN-ANS |
Bu Diana mengharapkan workshop Batik Story Bu Ifah dapat memberi manfaat untuk kedua belah pihak./dok. JSN-ANS |
Rombongan akademisi Seni Rupa Sungkyunkwan University dari Seoul, Korea Selatan ini berisi tiga profesor. Yakni, Kepala Departemen Seni Rupa Profesor Shin Hak, Profesor Jung Yeondoo, dan Profesor Son Donghyun.
Kemudian, delapan mahasiswa Seni Rupa Sungkyunkwan, yaitu Kim Minseo, Yang Seungyeob, Kim Minsub, Na Yunjae, Kwon Yesong, Jung Daeun, Yoon Nayoung, dan Kim Hyunji.
Mereka turut didampingi Shin Bosul Nathalie yang menjadi interpreter sekaligus kurator di Total Art Museum, Seoul, dan Choi Suyong sebagai kurator di Space ISU.
Bu Nathalie menyampaikan informasi seputar Batik Story Bu Ifah kepada profesor dan mahasiswa Seni Rupa Sungkyunkwan University./dok. JSN-ANS |
Mahasiswa Seni Rupa Sungkyunkwan University menyimak penjelasan dari Bu Nathalie tentang Batik Story Bu Ifah./dok. JSN-ANS |
Bu Ifah menjelaskan bahan pewarnaan alami dari daun rambutan yang sudah gugur./dok. JSN-ANS |
Bu Ifah mengenalkan alat batik cap dari yang mahal hingga yang paling murah./dok. JSN-ANS |
Canting, alat batik tulis di Batik Story Bu Ifah./dok. JSN-ANS |
Melalui Bu Nathalie terdapat beberapa hal yang diperkenalkan kepada peserta workshop diantaranya yakni tentang pewarnaan alami hingga tentang durasi pengerjaan batik yang biasanya juga memiliki kisah-kisah tertentu yang ingin disampaikan oleh kreatornya.
Pada momen ini juga ditunjukkan salah satu bahan pewarnaan yakni daun rambutan yang sudah gugur. "Saya mengambil daun rambutan yang sudah gugur, bukan yang masih di pohon. Jadi, bahannya alami sekaligus tidak mengganggu lingkungan," ujar Bu Ifah kepada profesor dan mahasiswa Sungkyunkwan.
Mereka juga ditunjukkan alat pembuatan batik, dari alat cetakan untuk batik cap hingga aneka canting untuk batik tulis.
Harga alatnya pun variatif, tergantung pada motif yang dihasilkan. "Ada yang 50 ribu hingga 1,5 juta rupiah," ungkap Bu Ifah.
Jika dikurskan ke mata uang Korea Selatan (won) maka harga alat batiknya sekitar 4.500 won hingga 133.000 won.
Profesor Jung Yeondoo menjelaskan apa yang dia maknai dari workshop Batik Story Bu Ifah./dok. JSN-ANS |
Salah seorang profesor, Jung Yeondoo mengatakan ketertarikannya mempelajari batik terutama hingga sampai di Batik Story Bu Ifah, adalah faktor penggunaan bahan alami yang ramah lingkungan dan tidak mengganggu kesehatan manusia karena tidak menggunakan bahan kimia berbahaya.
"Kami ingin mempelajari bagaimana proses menghasilkan batik dengan pewarnaan alami dan tetap menghasilkan batik yang berkualitas, ramah lingkungan, dan ramah untuk tubuh penggunanya," ungkap Profesor Jung.
Di sela workshop, para peserta juga mendapat jamuan makan dengan menu khas Indonesia. Ada soto ayam, bakwan jagung, mendoan, tempe, hingga kerupuk. Profesor Shin Hak pun sempat mencicipi kerupuk yang renyah. Begitu pula dengan Profesor Jung yang dapat menyebut istilah 'lezat' usai mencicipi soto ayamnya.
Para mahasiswa Sungkyunkwan juga dapat beradaptasi dengan makanan khas Indonesia tersebut.
Aneka makanan khas Indonesia, seperti tempe goreng, bakwan jagung, mendoan, hingga soto ayam tersaji di meja makan di sela-sela workshop Batik Story Bu Ifah./dok. JSN-ANS |
Kehadiran mereka turut diapresiasi salah seorang jurnalis asal Malang, Djoko. Dia memuji kemauan para akademisi dari Korea Selatan untuk mempelajari Batik bahkan hingga ke Pasuruan, yang artinya mereka mengakui eksistensi Batik sebagai seni budaya dari Indonesia.
Adapun mengenai ulasan awal kedatangan mahasiswa Seni Rupa Sungkyunkwan dapat dibaca pada artikel sebelumnya. Dan, video momen mereka mengikuti workshop yang dijembatani oleh interpreter Bu Nathalie dapat ditonton di kanal YouTube Jatim Satu News. ***
Penulis: YAN