Artificial Intelligence tidak bisa menangkap metafora, karena metafora itu tidak untuk dimengerti, tapi dirasakan
JAKARTA|JATIMSATUNEWS.COM - Komponis dan Pianis Ananda Sukarlan dikenal sebagai tokoh utama Indonesia dalam genre Tembang Puitik, yaitu gubahan musik berdasarkan puisi yang sudah ada.
Ia telah mencipta lebih dari 500 karya berdasarkan puisi dari bahasa Spanyol (Miguel Cervantes, Federico Garcia Lorca dll.), Inggris (antara lain William Shakespeare, Walt Whitman, Emily Dickinson) dan ratusan penyair Indonesia.
Ia juga adalah penyandang Asperger's Syndrome dan 20 Februari mendatang akan menggelar talkshow dan konser yang khusus membahas disabilitas dan musik. Acara ini diselenggarakan oleh Rotary Club, dimana Ananda adalah salah seorang honorary member.
Berikut di bawah ini adalah wawancara tertulis penulis (Lasman Simanjuntak) dengan Komponis & Pianis Ananda Sukarlan di Jakarta pada Senin, 27 Januari 2025.
Apakah tanggapan Ananda Sukarlan sebagai komponis terhadap teknologi ini untuk proses kreatif menulis karya musik, misalnya musik klasik tembang puitik?
Sampai sekarang teknologi kecerdasan buatan AI (Artificial Intelligence) masih belum bisa, karena tembang puitik itu bukan seperti musikalisasi puisi, istilah yang populer di kalangan para penyair dan musikus pop di Indonesia.
Proses kreatif tembang puitik itu menganalisa metafora yang ingin digambarkan oleh karya sastra dengan penggabungan kata-kata yang tepat, dan mencoba melukisnya lewat musiknya, bukan kata-kata yang dibikin melodi.
Jadi begitu puisi itu sudah menjelma menjadi tembang puitik, musiknya (bisa dibilang iringan instrumentalnya) itulah yang menterjemahkan teks puisinya, tidak sekedar memberi ritme, atau akord-akord semacam mengisi kekosongan selama penyanyinya menyanyi seperti di musik pop.
Intinya puisi dan musik itu sama, ingin melukis hal-hal yang tidak bisa dilukis. Musik itu selalu puitis, dan puisi itu selalu musikal.
Sapardi Djoko Damono adalah contoh yang paling jelas, misalnya kalau dia bilang subuh ini/ kau menjelma langit/ yang semalaman/ tak memejamkan mata atau aku ingin mencintaimu/ dengan sederhana/dengan isyarat/ yang tak sempat disampaikan /awan kepada hujan /yang menjadikannya tiada.
Nah, itukan sebetulnya lukisan? Cuma, gimana melukisnya? Hanya musik yang bisa melukisnya.
Apa AI bisa mengerti metafora sedalam dan seindah itu? Saya kok tidak percaya. Keindahan dan kedalaman artistik itu tidak untuk dimengerti, tapi untuk dirasakan. AI itu "I"nya Intelligence, bukan Emotion.
Apa 'kelemahan' dan 'kelebihan' teknologi AI ini?
Gini, kita tuh sebetulnya sudah punya Intelligence yang natural. Tapi ternyata kecerdasan itu tidak berguna! Lihat saja, itu cuma dipakai untuk berantem bahkan sampai perang. Bahkan banyak yang tidak senang kalau kita berhasil, dan bukannya bergabung untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik bersama-sama demi tujuan yang lebih baik.
Namun, malah mencoba menjegal orang lain, dengan "intelligence" kita. Apalagi kalau sedang jatuh cinta, langsung deh otak itu "hang" dan susah di restart.
Masih mengaku "intelligent"? Ya ternyata tidak kan? Jadi kita bikin lah Intelligence yang Artificial (palsu). Nah, kita yang sebetulnya bodoh tuh jadi kelihatan pintar kalau memakai AI. Tidak bisa bikin musik, puisi, lukisan, tapi jadi bisa, terus kita pamerkan di media sosial sebagai karya kita sendiri. Tapi ternyata AI banyak mengambil alih tugas kita, AI merebut banyak lapangan pekerjaan, jadi kita berpikir, mungkin kita ini sebetulnya tidak terlalu pintar untuk sampai menciptakan AI.
Dimana artificial intelligence itu menjadi lebih intelligent daripada natural Intelligence yang kita miliki sejak lahir. Kita jadi kelihatan tambah bodoh!
Kesimpulannya, kita cukup pintar untuk menciptakan AI, cukup bodoh untuk membutuhkannya, dan begitu bodohnya kita sehingga kita tidak dapat menyadari apakah kita memang membutuhkan AI atau tidak.
Apakah dibutuhkan kejujuran, etika, dan idealisme penulisnya dalam menggunakan teknologi AI baik untuk sebuah karya musik atau kritik musik?
Ahahahah .... ya tentu saja tidak! Dengan menggunakan AI tapi mengakui bahwa karya tersebut adalah karya kita, itu saja sudah tidak jujur, tidak etis dan jauh dari idealis. Kan, itu hasil pikiran orang ---eh mesin-- lain, bukan hasil pemikiran kita. Kok, ngaku-ngaku?
Bagaimana tanggapan untuk generasi milenial (Gen Z) yang paling banyak mempergunakan teknologi kecerdasan buatan untuk melahirkan sebuah karya musik?
Ya, silakan saja, itu bukan urusan saya. Soalnya saya paling tidak suka karya "seni" bikinan AI. Kalau anda suka, ya silakan saja.
Lalu apakah teknologi AI ini akan 'mengancam' dunia musik (klasik) di Indonesia?
Ah, tidak kok, well, mungkin belum saja ya. Musik klasik, seperti seni yang memang seni yang tulen itu butuh intuisi artistik, bukan hanya logika. AI itu "I" nya intelligence, logika, bukan A untuk Art. Artificial Intelligence tidak bisa menangkap metafora, karena metafora itu tidak untuk dimengerti, tapi dirasakan.
Hanya natural intelligence yang bisa. Tapi, AI sangat membantu kehidupan para seniman, misalnya untuk bersih-bersih rumah, menyupiri kita dengan mobil tanpa supir dan lain-lain. Jangan terbalik, kita yang bersih-bersih rumah tapi kita menyuruh AI untuk membuat musik kita.
Pertanyaan terakhir, bagaimana pendapat Ananda Sukarlan soal teknologi AI untuk masa depan, bukan masa kini?
Wah kalau ini aku enggak bisa, dan enggak berani jawab, deh. Soalnya perkembangannya sangat cepat bahkan intelligence-nya jauh melebihi manusia.
(***)
Kontributor : Lasman Simanjuntak