Pasang iklan disini

 

Kau Anakku Wahai Muridku, dan Aku Ibumu

Admin JSN
31 Januari 2025 | 22.03 WIB Last Updated 2025-01-31T15:03:59Z

 

cr: liputan bangsa

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Ibu manakah yang akan berdiam diri melihat anaknya berbicara kotor di depannya? Ibu manakah yang rela melihat anaknya menjadi sampah masyarakat? Ibu manakah yang senang menyaksikan anaknya jauh dari Tuhannya? Sebagai seorang guru Pendidikan Agama Islam (PAI), setiap kali aku berada di tengah-tengah muridku, aku merasa seperti dikelilingi oleh anak-anakku sendiri. Hubungan itu bukan sekadar interaksi akademik, melainkan sebuah ikatan emosional yang mendalam.

Tak jarang kami berbagi momen kebersamaan. Kami makan bersama di kelas, saling bercerita, bermain, dan bercanda. Banyak muridku yang jarang bermain dengan ayah dan ibunya, sehingga ketika kami mengajak mereka bermain, mereka begitu

bersemangat. Permainan tradisional seperti kejar-kejaran, gopak sodor, atau lintang pindah menjadi momen yang membahagiakan. Sebagai seorang guru, aku memahami bahwa setiap anak memiliki karakter yang berbeda-beda. Ada yang pendiam, penurut, dan santun, tetapi ada juga yang keras kepala, suka memerintah, atau bahkan agresif.

Namun, apa yang terjadi ketika niat baik seorang guru untuk mendidik disalahpahami? Ketika hukum mengancam dan menempatkan guru dalam dilema? Kisah ini adalah tentang perjuangan seorang guru yang mencoba membentuk akhlak muridnya, meskipun tantangan besar menghadang.

Kisah Titi: Tantangan Mendidik Anak Istimewa

Aku pernah memiliki seorang murid istimewa, sebut saja namanya Titi (bukan nama sebenarnya). Dia adalah anak perempuan kelas 5 yang cantik dengan rambut tebal dan panjang, serta tubuh tinggi besar. Dari segi fisik, Titi sangat menonjol di antara teman-temannya. Dia memiliki kepercayaan diri yang luar biasa, bahkan cenderung dominan. Teman-temannya lebih sering tunduk, bahkan takut padanya. Namun, ada satu hal yang menjadi perhatian: nada bicaranya keras, kasar, dan suka mengumpat.

Sebagai guru PAI, aku merasa memiliki tanggung jawab moral untuk membantu Titi memperbaiki perilakunya. Aku mulai mengumpulkan informasi dari teman-temannya, orang tuanya, dan guru kelasnya. Semua mengatakan hal yang sama: Titi sudah melewati batas. Ibunya sendiri mengaku tidak mampu menasihatinya. Guru kelasnya pun merasa kata-kata mereka tidak mempan. Di bulan Ramadhan, ketika seluruh warga sekolah diwajibkan untuk tidak makan atau minum di sekolah, Titi justru dengan santainya makan di kelas, di depan teman-temannya yang sedang berpuasa.

Teman-temannya yang mencoba menegurnya malah diancam. "Kasih tahu Bu Guru kalau berani!" katanya dengan nada keras. Guru kelasnya sudah berkali-kali menasihatinya, tetapi tidak membuahkan hasil. Aku tahu, tugas ini membutuhkan pendekatan yang lebih dari sekadar kata-kata.

Sebuah Insiden yang Mengubah Segalanya

Suatu hari, ketika aku mengajar di kelasnya, aku melihat Titi sedang makan permen. Teman-temannya segera melaporkan: "Bu, Titi makan permen lagi. Dia tidak puasa." Mendengar itu, Titi berdiri, berkacak pinggang, dan berkata dengan nada menantang, "Permen ini milikku! Aku beli sendiri, bukan urusan kalian!"

Aku bertanya dengan tenang, "Titi, benar kamu makan permen hari ini?"

Dia menjawab dengan kasar, "Ya, kenapa?" Refleks, tanganku menepuk mulutnya. Titi terkejut dan menangis. Aku segera memeluknya erat. Meski dia memberontak, aku tidak melepaskannya. Aku berbisik di telinganya, "Anakku, Ibu sangat menyayangimu. Tapukan ini bukan karena benci, tapi karena Ibu peduli. Ibu ingin kamu menjadi anak yang dicintai teman-temanmu dan diridhai Allah."

Tangis Titi perlahan mereda. Teman-temannya yang biasanya takut kepadanya pun terkejut melihat sisi lembut Titi yang jarang terlihat. Hari itu, Titi berjanji akan berubah. Sejak saat itu, dia berusaha keras memperbaiki perilakunya. Setiap kali bertemu denganku di sekolah, dia selalu menyapaku dengan senyum manis. Aku membalasnya dengan senyuman tulus seorang ibu.

Guru: Orang Tua Kedua di Sekolah

Kisah Titi adalah salah satu dari sekian banyak cerita perjuangan seorang guru dalam membentuk karakter anak. Titi tidak berubah hanya karena satu tindakan, tetapi karena dia merasa diperhatikan dan disayangi. Terkadang, guru perlu tegas untuk mendidik. Namun, di tengah ancaman hukum yang semakin ketat, banyak guru yang merasa takut untuk bertindak. Jika guru menyerah karena takut dikenai undang-undang pidana, bagaimana nasib anak-anak seperti Titi?

Proses mendidik bukanlah sesuatu yang instan. Butuh kesabaran, cinta, dan keteguhan hati. Guru adalah orang tua kedua bagi murid-muridnya. Tidak ada orang tua yang tega melihat anaknya menjadi sampah masyarakat atau jauh dari Tuhannya. Kami, para guru, menginginkan yang terbaik untuk anak-anak kami, baik di dunia maupun di akhirat.

Perlindungan Anak dan Guru dalam Hukum

Perlindungan anak adalah salah satu aspek penting dalam dunia pendidikan. Anak-anak harus merasa aman, dihormati, dan dilindungi hak-haknya, baik di rumah maupun di sekolah. Namun, tidak kalah pentingnya adalah perlindungan hukum bagi para guru. Guru sering berada di garis depan dalam membentuk karakter anak, tetapi posisi mereka kerap rentan terhadap salah tafsir dan tuntutan hukum yang mungkin tidak proporsional.

Sebagai contoh, UU Perlindungan Anak di Indonesia menegaskan bahwa setiap anak memiliki hak untuk diperlakukan dengan hormat dan tanpa kekerasan. Namun, dalam praktiknya, ada kalanya upaya tegas yang dilakukan guru dalam mendidik disalahartikan sebagai kekerasan. Di sisi lain, guru juga berhak mendapatkan perlindungan dari kriminalisasi yang tidak adil atas tindakan mendidik yang didasarkan pada niat baik.

Pemerintah dan masyarakat perlu memastikan bahwa peraturan yang ada tidak menjadi penghalang bagi guru untuk melaksanakan tugasnya dengan tegas dan bijaksana. Program pelatihan bagi guru tentang metode disiplin yang positif dapat menjadi solusi untuk mengurangi risiko kesalahpahaman. Selain itu, perlu ada mekanisme mediasi yang adil untuk menyelesaikan konflik antara guru, siswa, dan orang tua sebelum berujung pada tindakan hukum.

Penutup

Doa kami sebagai guru selalu sama: "Rabbana atina fiḍ­-dunya Ḥasanah, wa fil­ aakhirati Ḥasanah, wa qina ʿadzaaba an-naar." Semoga Allah memberikan keberkahan kepada kami dalam mendidik generasi penerus bangsa, dan semoga hukum tidak menjadi penghalang bagi kami untuk melakukan tugas mulia ini. Aamiin.

----

 

Tentang Penulis

Hullatin, lahir di Probolinggo pada 11 Juli 1976, adalah sosok pendidik dan abdi negara yang telah memberikan sumbangsih luar biasa dalam dunia pendidikan. Perjalanan hidup dan kariernya menggambarkan dedikasi mendalam, tidak hanya sebagai seorang guru, tetapi juga sebagai pembina generasi muda yang penuh semangat. Meniti pendidikan tinggi di STAIN Malang dan menyelesaikan jenjang Sarjana (S1) pada tahun 1998, kecintaannya pada ilmu membawa beliau melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA), di mana ia berhasil meraih gelar Magister Pendidikan Islam (M.Pd.I) pada tahun 2012. Pendidikan formalnya diperkuat dengan dasar agama yang kokoh, hasil pembinaan di Pondok Pesantren di Paiton, Probolinggo.

Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di bawah naungan Kementerian Agama, Hj. Hullatin memulai kiprahnya dengan mengabdi di SDN 3 Dalisodo, Wagir, dari tahun 2005 hingga 2012. Pengabdian ini dilanjutkan di SDN 3 Pandanlandung, Wagir, dari tahun 2012 hingga 2024, sebelum akhirnya berpindah tugas ke SDN 2 Sidorahayu, Wagir, tempat ia mengabdi hingga saat ini. Selama lebih dari dua dekade, beliau tidak hanya menjadi seorang pendidik, tetapi juga pembimbing yang selalu memberikan perhatian penuh kepada peserta didik. Metode pengajarannya yang inovatif diperkaya dengan pelatihan khusus dalam berbagai metode pembelajaran Al-Qur’an, seperti Iqro’, Al-Barqi, Ummi, dan Bilqolam, sehingga mencetak generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga religius.

Hj. Hullatin juga dikenal karena dedikasinya dalam pembinaan Gerakan Pramuka. Dengan kualifikasi lengkap dalam pelatihan kepramukaan, termasuk Ijazah KMD, KML, KPD, dan KPL, beliau telah menjadi figur inspiratif dalam melatih dan membimbing pembina Pramuka. Kepiawaiannya di bidang ini tidak hanya membekali anak-anak dengan keterampilan hidup, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemandirian, disiplin, dan tanggung jawab. Di balik segala pencapaian, Hj. Hullatin adalah sosok yang rendah hati dan membumi. Dalam setiap langkahnya, ia selalu mengutamakan keikhlasan dan kebermanfaatan. Bagi beliau, mendidik adalah bentuk ibadah yang tidak hanya mengubah kehidupan anak didiknya, tetapi juga menjadi investasi akhirat.

Hj. Hullatin, S.Ag., M.Pd.I., adalah bukti nyata bahwa pendidikan dan pengabdian dapat berjalan seiring. Dengan bekal ilmu yang luas, pengalaman yang mendalam, dan hati yang penuh cinta, ia terus melangkah, menciptakan generasi penerus bangsa yang cemerlang dan berakhlak mulia. Semoga dedikasi dan perjuangannya menjadi teladan bagi kita semua.

 

***

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kau Anakku Wahai Muridku, dan Aku Ibumu

Trending Now