cr: liputan bangsa |
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Ibu manakah yang akan berdiam diri melihat anaknya berbicara kotor di depannya? Ibu manakah yang rela melihat anaknya menjadi sampah masyarakat? Ibu manakah yang senang menyaksikan anaknya jauh dari Tuhannya? Sebagai seorang guru Pendidikan Agama Islam (PAI), setiap kali aku berada di tengah-tengah muridku, aku merasa seperti dikelilingi oleh anak-anakku sendiri. Hubungan itu bukan sekadar interaksi akademik, melainkan sebuah ikatan emosional yang mendalam.
Tak jarang kami berbagi momen kebersamaan. Kami makan bersama di kelas, saling bercerita, bermain, dan bercanda. Banyak muridku yang jarang bermain dengan ayah dan ibunya, sehingga ketika kami mengajak mereka bermain, mereka begitu
bersemangat. Permainan tradisional
seperti kejar-kejaran, gopak sodor, atau lintang pindah menjadi momen yang
membahagiakan. Sebagai seorang guru, aku memahami bahwa setiap anak memiliki
karakter yang berbeda-beda. Ada yang pendiam, penurut, dan santun, tetapi ada
juga yang keras kepala, suka memerintah, atau bahkan agresif.
Namun, apa yang terjadi ketika niat
baik seorang guru untuk mendidik disalahpahami? Ketika hukum mengancam dan
menempatkan guru dalam dilema? Kisah ini adalah tentang perjuangan seorang guru
yang mencoba membentuk akhlak muridnya, meskipun tantangan besar menghadang.
Kisah
Titi: Tantangan Mendidik Anak Istimewa
Aku pernah memiliki seorang murid
istimewa, sebut saja namanya Titi (bukan nama sebenarnya). Dia adalah anak
perempuan kelas 5 yang cantik dengan rambut tebal dan panjang, serta tubuh
tinggi besar. Dari segi fisik, Titi sangat menonjol di antara teman-temannya.
Dia memiliki kepercayaan diri yang luar biasa, bahkan cenderung dominan.
Teman-temannya lebih sering tunduk, bahkan takut padanya. Namun, ada satu hal
yang menjadi perhatian: nada bicaranya keras, kasar, dan suka mengumpat.
Sebagai guru PAI, aku merasa
memiliki tanggung jawab moral untuk membantu Titi memperbaiki perilakunya. Aku
mulai mengumpulkan informasi dari teman-temannya, orang tuanya, dan guru
kelasnya. Semua mengatakan hal yang sama: Titi sudah melewati batas. Ibunya
sendiri mengaku tidak mampu menasihatinya. Guru kelasnya pun merasa kata-kata
mereka tidak mempan. Di bulan Ramadhan, ketika seluruh warga sekolah diwajibkan
untuk tidak makan atau minum di sekolah, Titi justru dengan santainya makan di
kelas, di depan teman-temannya yang sedang berpuasa.
Teman-temannya yang mencoba
menegurnya malah diancam. "Kasih tahu Bu Guru kalau berani!" katanya
dengan nada keras. Guru kelasnya sudah berkali-kali menasihatinya, tetapi tidak
membuahkan hasil. Aku tahu, tugas ini membutuhkan pendekatan yang lebih dari
sekadar kata-kata.
Sebuah
Insiden yang Mengubah Segalanya
Suatu hari, ketika aku mengajar di
kelasnya, aku melihat Titi sedang makan permen. Teman-temannya segera
melaporkan: "Bu, Titi makan permen lagi. Dia tidak puasa." Mendengar
itu, Titi berdiri, berkacak pinggang, dan berkata dengan nada menantang,
"Permen ini milikku! Aku beli sendiri, bukan urusan kalian!"
Aku bertanya dengan tenang,
"Titi, benar kamu makan permen hari ini?"
Dia menjawab dengan kasar, "Ya,
kenapa?" Refleks, tanganku menepuk mulutnya. Titi terkejut dan menangis.
Aku segera memeluknya erat. Meski dia memberontak, aku tidak melepaskannya. Aku
berbisik di telinganya, "Anakku, Ibu sangat menyayangimu. Tapukan ini
bukan karena benci, tapi karena Ibu peduli. Ibu ingin kamu menjadi anak yang
dicintai teman-temanmu dan diridhai Allah."
Tangis Titi perlahan mereda.
Teman-temannya yang biasanya takut kepadanya pun terkejut melihat sisi lembut
Titi yang jarang terlihat. Hari itu, Titi berjanji akan berubah. Sejak saat
itu, dia berusaha keras memperbaiki perilakunya. Setiap kali bertemu denganku
di sekolah, dia selalu menyapaku dengan senyum manis. Aku membalasnya dengan
senyuman tulus seorang ibu.
Guru:
Orang Tua Kedua di Sekolah
Kisah Titi adalah salah satu dari
sekian banyak cerita perjuangan seorang guru dalam membentuk karakter anak.
Titi tidak berubah hanya karena satu tindakan, tetapi karena dia merasa
diperhatikan dan disayangi. Terkadang, guru perlu tegas untuk mendidik. Namun,
di tengah ancaman hukum yang semakin ketat, banyak guru yang merasa takut untuk
bertindak. Jika guru menyerah karena takut dikenai undang-undang pidana,
bagaimana nasib anak-anak seperti Titi?
Proses mendidik bukanlah sesuatu
yang instan. Butuh kesabaran, cinta, dan keteguhan hati. Guru adalah orang tua
kedua bagi murid-muridnya. Tidak ada orang tua yang tega melihat anaknya
menjadi sampah masyarakat atau jauh dari Tuhannya. Kami, para guru, menginginkan
yang terbaik untuk anak-anak kami, baik di dunia maupun di akhirat.
Perlindungan Anak dan Guru dalam Hukum
Perlindungan anak adalah salah satu aspek penting dalam
dunia pendidikan. Anak-anak harus merasa aman, dihormati, dan dilindungi
hak-haknya, baik di rumah maupun di sekolah. Namun, tidak kalah pentingnya
adalah perlindungan hukum bagi para guru. Guru sering berada di garis depan
dalam membentuk karakter anak, tetapi posisi mereka kerap rentan terhadap salah
tafsir dan tuntutan hukum yang mungkin tidak proporsional.
Sebagai contoh, UU Perlindungan Anak di Indonesia menegaskan
bahwa setiap anak memiliki hak untuk diperlakukan dengan hormat dan tanpa
kekerasan. Namun, dalam praktiknya, ada kalanya upaya tegas yang dilakukan guru
dalam mendidik disalahartikan sebagai kekerasan. Di sisi lain, guru juga berhak
mendapatkan perlindungan dari kriminalisasi yang tidak adil atas tindakan
mendidik yang didasarkan pada niat baik.
Pemerintah dan masyarakat perlu memastikan bahwa peraturan
yang ada tidak menjadi penghalang bagi guru untuk melaksanakan tugasnya dengan
tegas dan bijaksana. Program pelatihan bagi guru tentang metode disiplin yang
positif dapat menjadi solusi untuk mengurangi risiko kesalahpahaman. Selain
itu, perlu ada mekanisme mediasi yang adil untuk menyelesaikan konflik antara
guru, siswa, dan orang tua sebelum berujung pada tindakan hukum.
Penutup
Doa kami sebagai guru selalu sama:
"Rabbana atina fiḍ-dunya Ḥasanah, wa fil aakhirati Ḥasanah, wa qina
ʿadzaaba an-naar." Semoga Allah memberikan keberkahan kepada kami dalam
mendidik generasi penerus bangsa, dan semoga hukum tidak menjadi penghalang
bagi kami untuk melakukan tugas mulia ini. Aamiin.
----
Tentang Penulis
Hullatin, lahir di Probolinggo pada 11 Juli 1976, adalah sosok pendidik dan abdi negara yang telah memberikan sumbangsih luar biasa dalam dunia pendidikan. Perjalanan hidup dan kariernya menggambarkan dedikasi mendalam, tidak hanya sebagai seorang guru, tetapi juga sebagai pembina generasi muda yang penuh semangat. Meniti pendidikan tinggi di STAIN Malang dan menyelesaikan jenjang Sarjana (S1) pada tahun 1998, kecintaannya pada ilmu membawa beliau melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA), di mana ia berhasil meraih gelar Magister Pendidikan Islam (M.Pd.I) pada tahun 2012. Pendidikan formalnya diperkuat dengan dasar agama yang kokoh, hasil pembinaan di Pondok Pesantren di Paiton, Probolinggo.
Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di bawah naungan
Kementerian Agama, Hj. Hullatin memulai kiprahnya dengan mengabdi di SDN 3
Dalisodo, Wagir, dari tahun 2005 hingga 2012. Pengabdian ini dilanjutkan di SDN
3 Pandanlandung, Wagir, dari tahun 2012 hingga 2024, sebelum akhirnya berpindah
tugas ke SDN 2 Sidorahayu, Wagir, tempat ia mengabdi hingga saat ini. Selama
lebih dari dua dekade, beliau tidak hanya menjadi seorang pendidik, tetapi juga
pembimbing yang selalu memberikan perhatian penuh kepada peserta didik. Metode
pengajarannya yang inovatif diperkaya dengan pelatihan khusus dalam berbagai
metode pembelajaran Al-Qur’an, seperti Iqro’, Al-Barqi, Ummi, dan Bilqolam,
sehingga mencetak generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi
juga religius.
Hj. Hullatin juga dikenal karena dedikasinya dalam
pembinaan Gerakan Pramuka. Dengan kualifikasi lengkap dalam pelatihan
kepramukaan, termasuk Ijazah KMD, KML, KPD, dan KPL, beliau telah menjadi figur
inspiratif dalam melatih dan membimbing pembina Pramuka. Kepiawaiannya di
bidang ini tidak hanya membekali anak-anak dengan keterampilan hidup, tetapi
juga menanamkan nilai-nilai kemandirian, disiplin, dan tanggung jawab. Di balik
segala pencapaian, Hj. Hullatin adalah sosok yang rendah hati dan membumi. Dalam
setiap langkahnya, ia selalu mengutamakan keikhlasan dan kebermanfaatan. Bagi
beliau, mendidik adalah bentuk ibadah yang tidak hanya mengubah kehidupan anak
didiknya, tetapi juga menjadi investasi akhirat.
Hj. Hullatin, S.Ag., M.Pd.I., adalah bukti nyata bahwa
pendidikan dan pengabdian dapat berjalan seiring. Dengan bekal ilmu yang luas,
pengalaman yang mendalam, dan hati yang penuh cinta, ia terus melangkah,
menciptakan generasi penerus bangsa yang cemerlang dan berakhlak mulia. Semoga
dedikasi dan perjuangannya menjadi teladan bagi kita semua.
***