Pasang iklan disini

 

Hadapi Badai dengan Cinta (Kisah di Balik Tugas dan Integritas)

Admin JSN
03 Januari 2025 | 14.47 WIB Last Updated 2025-01-03T07:47:49Z

 

Tak hanya tentang ilmu, ia juga mengajarkan bagaimana menghadapi dunia dengan integritas, bagaimana menjaga hati tetap murni di tengah gelombang fitnah, dan bagaimana terus memberi tanpa mengharapkan balasan

ARTIKEL|JATIMSATUNEWS.COM - Di sebuah gedung yang tenang, di mana impian dan cita-cita tumbuh seperti pepohonan yang dijaga dengan penuh harapan, ada sesosok pribadi yang lebih dari sekadar pengajar. Sebuah nama yang tidak tertanam. Ia adalah seorang pendidik yang, dalam setiap kata dan tindakannya, tidak hanya memberikan ilmu tetapi juga membangun jiwa. Kelas yang ia pimpin selalu dipenuhi dengan semangat yang mengalir, dan perhatian yang tak terbagikan. Seperti aliran sungai yang terus mengalir, penuh energi, antusiasme yang menyapa pada setiap jiwa yang mendengarkan. 

Ia, dengan segala ketulusan hatinya, mengajar lebih dari sekadar tugas yang tertera dalam silabusnya. Setiap waktu ia datang dengan tekad, berusaha memberikan yang terbaik, tak peduli apa yang ia terima. Ia tidak pernah menuntut lebih, meskipun kerja kerasnya sering kali melampaui apa yang diharapkan. Baginya, setiap insan yang diajarinya adalah benih-benih yang memiliki potensi luar biasa untuk mengubah dunia, dan ia merasa sangat terhormat bisa menjadi bagian dari perjalanan mereka.

Namun, itulah kehidupan, adakalanya bahagia, tertawa, sedih dan kecewa.

Siang itu, di luar kabut menyapa lembaga, ribuan juta kilo meter di atas sana awanpun memberi makna, bahwa tidak selamanya langit itu cerah, adakalanya awan pekat mengubah keindahan cakrawala. Alam memberi arti, bahwa tak selamanya kebaikan itu membawa kebenaran. Namun, ada yang menjadi prahara seperti badai yang datang tiba-tiba, sesuatu yang gelap mulai menyelimuti kehidupannya. Isu yang tak berdasar mulai menyebar dengan cepat, seperti angin yang membawa kabar burung dari ruang ke ruang. Di tengah riuhnya pembicaraan mereka yang seharusnya penuh harapan, muncul bisikan-bisikan yang menyakitkan. Isu yang berkembang menyebutkan bahwa ia adalah pengajar yang tidak berperasaan. Tugas-tugas yang ia saji terlalu memberatkan. 

Ia duduk terdiam dalam kebingungan, hatinya merasa hancur, tapi ia mencoba untuk tetap tenang. Dari mana datangnya semua ini? Ia tidak pernah merasa memberi tugas yang melebihi kemampuan mereka. Setiap tugas, setiap ujian, selalu ia desain agar mereka belajar lebih dalam, berpikir lebih kritis. Ia ingin mereka tidak hanya memperoleh nilai, tetapi juga pelajaran yang bisa mereka bawa sepanjang hidup mereka. Namun, suara-suara yang meragukan itu semakin kuat. Beberapa diantara mereka mulai berkata bahwa mereka ingin meninggalkan lembaga. Ada yang merasa tak sanggup lagi bertahan dengan tekanan yang katanya datang dari pengajarnya. Isu itu bukan sekadar kabar angin, tetapi semakin berkembang menjadi sebuah fitnah yang membelenggu dirinya, mengikis rasa kepercayaan yang telah ia bangun begitu lama.

Hatinya terasa hancur bukan hanya karena tuduhan yang tak bermakna, tetapi karena ia merasa disalahpahami oleh mereka yang seharusnya bisa lebih mengerti. Ia merasa sakit, bukan karena dirinya, tetapi karena mereka yang selama ini ia ajar dengan sepenuh hati, kini terjebak dalam arus kebohongan yang tak berdasar. Apa yang salah dengan dunia ini? Apa yang salah dengan mereka yang tak lagi melihat dengan mata hati?

Namun, di tengah kekecewaan yang mendalam itu, ia tahu satu hal yang tak bisa ia lupakan, yakni kebenaran. Kebenaran adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, bukan dibiarkan terkubur lalu hilang. Dengan tekad yang bulat, ia memutuskan untuk mengambil langkah bijaksana, bukan untuk membela dirinya, tetapi untuk menjernihkan kabut kebingungan yang menyelimuti lembaga. Ia berbicara, bertanya pada mereka yang terdampak oleh isu tersebut, berusaha untuk berdialog, untuk mencari kebenaran bersama, di mana benang merahnya? 

Di sebuah ruang persegi yang sunyi, jauh dari hiruk-pikuk, mereka berkumpul. Wajah-wajah yang penuh harapan kini tampak lebih murung, ada yang tersenyum canggung, ada yang menunduk, tak tahu apa yang harus dikatakan. Ia berdiri di depan mereka, dengan wajah yang penuh ketegasan, namun juga menyimpan rasa haru yang dalam.

"Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan kepada saudara semua," kata ia dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan, "Saya mendengar kabar yang berkembang tentang diri saya. Ada yang mengatakan bahwa saya memberikan tugas yang terlalu berat, dan bahkan ada yang berpikir untuk meninggalkan lembaga ini. Saya ingin saudara tahu bahwa saya mengajar dengan sepenuh hati. Setiap tugas yang saya berikan bukan untuk menyulitkan saudara, tetapi untuk mendorong saudara berkembang lebih jauh. Saya percaya, untuk tumbuh, kita harus menghadapi tantangan."

Ia berhenti sejenak, menatap wajah mereka yang kini mulai menunduk, seakan mencoba mencari keberanian untuk berbicara. "Saya paham, mungkin beberapa dari saudara merasa tertekan. Saya minta maaf jika ada yang merasa seperti itu. Tetapi percayalah, saya tidak pernah berniat untuk membuat saudara merasa tertekan. Jika ada yang merasa kesulitan, mari kita bicarakan bersama. Kita adalah mitra dalam sebuah perjalanan. Saya ingin, kita saling mendukung, bukan saling menyalahkan."

Dengan mata yang penuh kasih sayang, ia melanjutkan, "Kebenaran akan selalu menemukan jalannya, meskipun ada yang berusaha menutupi atau membelokkan arah. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana kita menghadapinya dengan kepala tegak dan hati yang tulus. Saya ingin saudara tahu, bahwa saya akan selalu ada untuk saudara. Kita bersama dalam perjalanan ini, bukan sebagai pengajar dan murid semata, tetapi sebagai manusia yang saling belajar, saling memahami. Ok, tidak apa-apa, meskipun dari munculnya rumor ini dipertanyakan profesionalitas saya oleh pimpinan dan sebagian kolega. Terpenting adalah saudara baik-baik saja dan tetap semangat."

Waktu seakan berhenti sejenak. Di dalam ruang itu, ketegangan dan kebingungan perlahan menghilang. Mereka yang hadir mulai mengangkat kepala mereka, dan satu persatu, mereka mulai mengerti. Mereka tahu, di balik setiap kata yang disampaikan oleh sosok di depannya, ada kasih yang tulus, ada harapan yang besar untuk mereka semua. Tidak ada niat buruk, tidak ada tekanan yang tak wajar. Hanya sebuah harapan agar mereka bisa bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih maju dalam menghadapi dunia pada masa sekarang. Dengan mimik kebingungan mereka menyampaikan "Sebenarnya kami bingung atas apa yang disampaikan, kami baik-baik saja dan tidak ada apa-apa bahkan kami senang merasa ada yang beda di antara pengajar kami."

Namun, penyataan itu dianggap angin lalu saja, baginya itu hanya dinamika dalam berproses menjadi lebih baik dan pelajaran ke depan. Hatinya percaya lepas isu itu benar atau tidak, mereka-mereka yang pernah bersama dalam ruang persegi itu adalah jiwa-jiwa murni yang penuh harapan dan butuh pendampingan dalam meraih asa. 

Hari-hari berlalu setelah percakapan itu, dan suasana di lembaga kembali tenang. Namun, baginya, badai yang datang itu mengajarkannya banyak hal. Ia belajar bahwa kebenaran, meskipun terkadang harus berhadapan dengan kekecewaan dan kesedihan, pada akhirnya akan menemukan jalannya. Ia belajar bahwa dalam setiap langkah kehidupan, meski penuh dengan tantangan, kita harus tetap teguh, tetap penuh cinta, dan tetap bijaksana.

Dari kejadian itu, ia tidak hanya mengajarkan mereka tentang ilmu, tetapi juga tentang bagaimana menghadapi dunia dengan integritas, tentang bagaimana menjaga hati tetap murni di tengah gelombang fitnah, dan bagaimana terus memberi tanpa mengharapkan balasan. Karena pada akhirnya, cinta yang tulus dan keteguhan hati akan selalu menang, meskipun terkadang harus melewati jalan yang penuh rintangan dan kerikil tajam. Saatnya lupakan isu dan terus maju ke depan.

Penulis:

Marwani, yang dikenal dengan nama pena Marwa Ali, lahir di Samudera Pasai tepatnya Nanggro Aceh Darusalam, daerah pertama sekali Islam menyapa bumi Nusantara. Alumni Budi Utomo Institute of Education ini mengambil gelar magisternya di Universitas Islam Malang, pada jurusan yang senada dengan keilmuan sebelumnya. Ia sekarang mengabdikan dirinya sebagai dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Ibnu Sina Malang. Dengan semangat juang untuk berbagi ilmu dan inspirasi kepada generasi penerus, ia tak hanya berkarya di ruang kelas, namun juga aktif dalam dunia akademik sebagai anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI) Malang, sebuah komunitas intelektual yang menjadi wadah mengembangkan ide, gagasan, dan pemikiran progresif dalam penelitian bermakna. Saat ini, ia sedang menempuh perjalanan akademik Doktor Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang untuk meningkatkan ilmu pengetahuannya. Melalui karya dan dedikasinya, ia terus menorehkan jejak di dunia pendidikan, dengan visi mulia untuk menciptakan harmoni antara ilmu, iman, dan amal. 

Sebuah penghormatan yang luar biasa apabila ada yang berkenan memberi kritik dan saran ke animarwani1@gmail.com demi kemajuan tulisannya.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Hadapi Badai dengan Cinta (Kisah di Balik Tugas dan Integritas)

Trending Now