Pasang iklan disini

 

Bocah Istimewaku

Admin JSN
31 Januari 2025 | 21.08 WIB Last Updated 2025-01-31T15:03:21Z

 

cr: kompasiana.com

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Tubuhmu dalam bingkai tulang ringkih. Setipis tubuhmu yang selalu menari. Aku takut menyentuhmu lebih dalam sampai hatimu tergali. Aku tak ingin dekat, karena setiap saat kau selalu membuatku tercekat. Dirimu tampak sunyi. Bagimu sunyi adalah bunyi yang tersembunyi. Hari berganti tapi dirimu tak pernah mau mengerti. Apakah diriku juga tak mau mengerti? Mulutmu bungkam. Di matamu tampak sudut kebencian. Pada segala warna yang menggores ujung atmamu.

Naak, andai aku boleh berteriak, betapa telah tumbuh benih cintaku meski tak bisa berpihak. Andai saja kau tahu, betapa aku ingin merengkuh daksamu. Naak, lihatlah bola mataku. Ada warna biru untukmu.Tapi selalu kau sambut dengan tatapan merahmu.

Malam ini bayangan mata sipitmu berjalan tipis di balik kelambu kamarku. Rambut ponimu yang bertekstur. Kulit putihmu yang bersinar, membuatku digilas rindu yang terkapar. Semua menghilang, jika kau sudah menatapku dengan mata nyalang. Membuat rongga dadaku serasa bermain biola yang tak pernah selesai. Mengiris, menukik, menghentak, naik turun sampai tak berirama. Bocah istimewaku, kutunggu kau di ujung syahdu. Penuh candu dengan tangis tergugu. Sambutlah uluran tanganku.  Meski semua masih perlu waktu

Malang, 29 Oktober 2024

Prosais di atas saya tulis untuk mencurahkan segala rasa yang hinggap pada rongga pengabdian sebagai seorang pendidik, dengan peserta didik berkebutuhan khusus. Dia cenderung menunjukkan perilaku yang menentang, seperti mudah marah, mudah tersinggung, kehilangan kesabaran, mudah merasa insecure. Motivasi dan daya juang yang rendah, rentang konsentrasi yang cenderung pendek membuat dia tidak bisa fokus dan mudah terdistraksi sehingga tugas tidak pernah dia selesaikan dengan baik.

Dia belum matang secara emosi untuk anak seusianya. Dia belum bisa mengontrol emosinya, dan cenderung meledak-ledak saat marah. Ketika marah saya peluk tubuhnya, supaya dia tidak melukai teman di sekitarnya. Apa yang terjadi ? dia selalu memberontak dengan menggigit tangan saya. Hal itu berulang kali terjadi, sampai saya menjadi terbiasa digigit setiap hari, terlebih lagi saya tak lagi merasakan sakit atas perilakunya kepada saya.

Pola asuh yang cenderung otoriter dan minim validasi emosi yang menyebabkan dia tidak bisa meregulasi emosinya dengan tepat.

Hmmmmm.. Sudah 6 bulan bersamanya. Beberapa kejadian seperti di atas sudah agak reda, dan membuat perasaan saya sedikit lega. Terbersit dalam pikiran saya, bahwa semua itu tak lepas dari usaha untuk belajar meregulasi emosi saya sendiri sebagai gurunya, sebelum mengajarkan padanya untuk bisa meregulasi emosinya. Kecenderungan dirinya berperilaku impulsif seperti memukul dan berkelahi, lambat laun bisa berkurang meski belum bisa maksimal. Dia sudah mulai mau menyambut uluran tangan saya, meski hanya sekedar untuk bercerita tentang kesenangannya, keluarganya dan minta foto bersama saya. Dia sudah mulai bisa mengatasi emosinya ketika marah, dengan membaringkan tubuhnya di atas lantai.  Saya ingin mengisi tanki cintanya sampai perilaku menentangnya berkurang, meski saya tak bisa mengisi tanki cintanya secara penuh.

Di Hari Guru Nasional kemarin dia tidak masuk karena sakit. Kata bundanya dia sudah berencana mau kasih kado spidol untuk menulis bu guru di papan tulis. Dia berinisiatif seperti itu karena dia kasihan melihat saya kehabisan spidol waktu menulis di papan tulis. Hanya dia yang punya inisiatif seperti itu, di antara 28 temannya yang lain. Dia berikan buket bunga berisi coklat silver queen, spidol boordmarker dan stabile, namun dia memberikannya tanpa kata-kata. Dia masih minim perbendaharaan kata dalam Bahasa Indonesia yang baik.

Saya tak mengira dengan kepeduliannya yang begitu besar. Saya masih ingin mencoba bersamanya, meski saya tak tahu sampai dimana kesabaran dan kemampuan saya dalam menghadapinya. Rekan sejawat di madrasah sudah memberikan saran untuk mengeluarkannya, tetapi saya bersikeras untuk mempertahankannya. Bagi saya, pantang menyerah sebelum saya berusaha sekeras baja. Saya masih penasaran dengan keberadaannya. Boleh jadi semua atas kehendak Allah untuk mendidik saya menjadi guru yang baik.

Masalah di atas, adalah contoh sebagian kecil dari masalah yang saya hadapi selama 30 tahun masa pengabdian menjadi pendidik. Kadang masalah yang berhubungan dengan perilaku anak didik, saya hadapi dengan lapang dada dan sabar. Kadang masalah yang muncul ke permukaan membuat pusing dan gigi gemeretak, menahan amarah. Kadang juga masalah-masalah yang ada saya cuekin. Kenapa sampai saya cuekin? Karena menyelesaikan masalah anak didik, bukanlah perkara yang mudah, harus banyak pertimbangan dan perhitungan. Kadang juga sampai terbawa mimpi. Aaah, Mungkin rasa cinta saya kepada anak didik terlanjur membengkak. Padahal kalau saya renungkan, kenapa juga sampai terbawa mimpi? toh anak didik kita mempunyai orang tua yang lebih kuasa dalam pembentukan perilaku anaknya.

Kewajiban saya sebagai pendidik, bukan hanya mentransfer pengetahuan saja, tetapi lebih dari itu.  Perilaku dan karakter peserta didik menjadi point yang lebih penting dari segalanya. Sebenarnya tugas kita hanya membantu, karena prosentase anak didik bersama orang tuanya, jauh lebih besar dari pada bersama kita. Penyelesaian masalah anak didik yang berkaitan dengan perilaku atau akhlak lebih pelik dari pada permasalahan anak didik yang berkaitan dengan kemampuan akademis.

Suatu hari saya dikejutkan oleh berita di gawai, dari WA Grup tenaga pendidik di madarasah. Berita ini memberikan warning kepada kita, terutama sebagai pendidik harus lebih hati – hati dalam memperlakukan anak didik. Kalau tidak, bisa berakibat fatal. Urusan mendidik anak didik saat ini, bukan hanya urusan antara guru dan orang tua, tetapi sudah melebar menjadi urusan dalam ranah hukum. Saya ikut prihatin membaca berita tersebut. Tidak mungkin tindakan yang dilakukan oleh guru tidak didasari oleh tanggung jawab dan kasih sayang yang besar, ketika ada anak didik yang berperilaku melanggar sebuah aturan.

Sebut saja Pak Akbar, salah seorang guru agama yang dipolisikan oleh orang tua karena menghukum anak didiknya yang tidak mau sholat berjamaah.Tak disangka hukuman yang diberikan oleh beliau akan menjadi bumerang baginya. Orang tua murid yang tak terima dengan hukuman itu melaporkan Pak Akbar ke polisi. Tak sampai di situ saja, ia juga dituntut uang puluhan juta rupiah. Padahal Pak Akbar punya alasan kuat di balik hukumannya. Tidak lain semua demi kebaikan anak didik.

 Setelah membaca berita tersebut, terus terang ada ketakutan dalam diri saya. Kilas balik pada permasalahan bocah berkebutuhan khusus yang pernah saya hadapi di kelas, bukanlah perkara yang mudah. Pernah dia berbicara kotor dengan berteriak. Bukan hanya pada temannya. Saya pun juga pernah di damprat dengan kata-kata kotor yang dibawa dari rumah. Nasehat dan rengkuhan selalu saya berikan padanya, tetapi perkataannya masih sering berulang. Saya ingin menghukumnya dan memberikan efek jera tetapi saya takut kalau orang tuanya tak terima, meskipun saya sering mengkomunikasikan tentang keadaan puteranya. Jika tidak saya hukum hal itu semakin menjadi-jadi. Lantas jika semakin parah dampaknya, karena saya tak memberikan efek jera kepadanya, bagaimana nasib anak ini di masa depan? Dalam suatu kesempatan saya sempat berpikir, kenapa peliknya masalah perilaku anak didik menjadi beban yang menghinggapi  hidup saya?

Pekerjaan sebagai guru bukanlah pekerjaan yang mudah. Terkadang ada orang yang memandang sebelah mata. Meski dipandang sebelah mata, semangat harus menyala di dalam dada. Emosi kita sebagai pendidik,harus diregulasi dengan baik supaya tetap stabil, dan selamat dari sentuhan hukum. Guru mentalnya harus sehat. Layaknya nahkoda kapal besar, kita yang menentukan kemana arah pendidikan ini kita bawa. Semua pastilah mengarah pada tujuan mulia. Semangat dan ilmu yang kita miliki, haruslah kita dedikasikan untuk kepentingan masa depan anak di negeri ini, meskipun untuk mencapai tujuan mulia ini banyak rintangan menghadang di depan mata. Semua guru di negeri ini harus mulai bijak dan ingat bahwa kita juga punya keluarga yang tidak boleh dinomer duakan. Ketika anda menghadapi  perilaku dan karakter anak didik yang bermasalah, tetaplah hati – hati dalam menentukan tindakan yang akan kita ambil. Jangan sampai kita masuk lingkaran jeruji, keluarga kita jadi korban. Meskipun tujuan kita baik, tak semua orang tua di luar sana paham apa maksud yang terkandung di dalam tindakan kita. Hanya Allah yang tahu niat yang ada di dalam hati kita. Semoga pekerjaan mulia ini kelak bisa berakhir dengan husnul khowatim dan dapat kita pertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT.

 ----

TENTANG PENULIS

Chaula Handayani, S.Ag dilahirkan di Malang, pada tanggal 24 Januari 1973. Anak pertama dari 4 bersaudara. Penulis adalah seorang guru yang malang melintang di dunia madrasah Kota Malang selama kurang lebih 26 tahun. Penulis juga pernah merintis Madrasah Ibtidaiyah Syihabuddin, Dau, Kabupaten malang. Saat ini penulis mengabdikan diri di Madrasah Ibtidaiyah Wahid Hasyim, Jetis Dau, Kabupaten Malang. Menulis adalah bakat alam yang tumbuh sejak remaja. Karya tulis yang dihasilkannya juga terbilang minimalis, sehingga perlu mengasah diri di Kelas Belajar Menulis Nusantara (KBMN) Gelombang 24, dengan founder Dr.Wijaya Kusuma, M.Pd. Penulis terlibat dalam penulisan 11 antologi, salah satunya berjudul “Keping – keping sajak Eufonik” bersama sahabat Guru Penggerak Literasi Nusantara, dan 1 buku antologi bersama sahabat literasi madrasah dalam “Kisah Inspiratif Guru Madrasah”. Karya penulis dapat dibaca di : http://chaulahandayani.blogspot.com, FB : Chaula Handayani, dan by WA : 089610116443.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Bocah Istimewaku

Trending Now