cr: kompasiana.com |
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Tubuhmu dalam bingkai
tulang ringkih. Setipis tubuhmu yang selalu menari. Aku takut menyentuhmu lebih
dalam sampai hatimu tergali. Aku tak ingin dekat, karena setiap saat kau selalu
membuatku tercekat. Dirimu tampak sunyi. Bagimu sunyi adalah bunyi yang tersembunyi.
Hari berganti tapi dirimu tak pernah mau mengerti. Apakah diriku juga tak mau
mengerti? Mulutmu bungkam. Di matamu tampak sudut kebencian. Pada segala warna
yang menggores ujung atmamu.
Naak, andai aku boleh
berteriak, betapa telah tumbuh benih cintaku meski tak bisa berpihak. Andai
saja kau tahu, betapa aku ingin merengkuh daksamu. Naak, lihatlah bola mataku. Ada
warna biru untukmu.Tapi selalu kau sambut dengan tatapan merahmu.
Malam ini bayangan mata
sipitmu berjalan tipis di balik kelambu kamarku. Rambut ponimu yang bertekstur.
Kulit putihmu yang bersinar, membuatku digilas rindu yang terkapar. Semua
menghilang, jika kau sudah menatapku dengan mata nyalang. Membuat rongga dadaku
serasa bermain biola yang tak pernah selesai. Mengiris, menukik, menghentak,
naik turun sampai tak berirama. Bocah istimewaku, kutunggu kau di ujung syahdu.
Penuh candu dengan tangis tergugu. Sambutlah uluran tanganku. Meski semua masih perlu waktu
Malang, 29 Oktober 2024
Prosais di atas saya
tulis untuk mencurahkan segala rasa yang hinggap pada rongga pengabdian sebagai
seorang pendidik, dengan peserta didik berkebutuhan khusus. Dia cenderung
menunjukkan perilaku yang menentang, seperti mudah marah, mudah tersinggung,
kehilangan kesabaran, mudah merasa insecure. Motivasi dan daya juang yang
rendah, rentang konsentrasi yang cenderung pendek membuat dia tidak bisa fokus
dan mudah terdistraksi sehingga tugas tidak pernah dia selesaikan dengan baik.
Dia belum matang secara
emosi untuk anak seusianya. Dia belum bisa mengontrol emosinya, dan cenderung
meledak-ledak saat marah. Ketika marah saya peluk tubuhnya, supaya dia tidak
melukai teman di sekitarnya. Apa yang terjadi ? dia selalu memberontak dengan
menggigit tangan saya. Hal itu berulang kali terjadi, sampai saya menjadi
terbiasa digigit setiap hari, terlebih lagi saya tak lagi merasakan sakit atas
perilakunya kepada saya.
Pola asuh yang cenderung otoriter dan minim
validasi emosi yang menyebabkan dia tidak bisa meregulasi emosinya dengan
tepat.
Hmmmmm.. Sudah 6 bulan
bersamanya. Beberapa kejadian seperti di atas sudah agak reda, dan membuat
perasaan saya sedikit lega. Terbersit dalam pikiran saya, bahwa semua itu tak
lepas dari usaha untuk belajar meregulasi emosi saya sendiri sebagai gurunya,
sebelum mengajarkan padanya untuk bisa meregulasi emosinya. Kecenderungan
dirinya berperilaku impulsif seperti memukul dan berkelahi, lambat laun bisa
berkurang meski belum bisa maksimal. Dia sudah mulai mau menyambut uluran
tangan saya, meski hanya sekedar untuk bercerita tentang kesenangannya,
keluarganya dan minta foto bersama saya. Dia sudah mulai bisa mengatasi
emosinya ketika marah, dengan membaringkan tubuhnya di atas lantai. Saya ingin mengisi tanki cintanya sampai
perilaku menentangnya berkurang, meski saya tak bisa mengisi tanki cintanya
secara penuh.
Di Hari Guru Nasional
kemarin dia tidak masuk karena sakit. Kata bundanya dia sudah berencana mau
kasih kado spidol untuk menulis bu guru di papan tulis. Dia berinisiatif
seperti itu karena dia kasihan melihat saya kehabisan spidol waktu menulis di
papan tulis. Hanya dia yang punya inisiatif seperti itu, di antara 28 temannya
yang lain. Dia berikan buket bunga berisi coklat silver queen, spidol boordmarker
dan stabile, namun dia memberikannya tanpa kata-kata. Dia masih minim
perbendaharaan kata dalam Bahasa Indonesia yang baik.
Saya tak mengira dengan
kepeduliannya yang begitu besar. Saya masih ingin mencoba bersamanya, meski
saya tak tahu sampai dimana kesabaran dan kemampuan saya dalam menghadapinya. Rekan
sejawat di madrasah sudah memberikan saran untuk mengeluarkannya, tetapi saya
bersikeras untuk mempertahankannya. Bagi saya, pantang menyerah sebelum saya
berusaha sekeras baja. Saya masih penasaran dengan keberadaannya. Boleh jadi
semua atas kehendak Allah untuk mendidik saya menjadi guru yang baik.
Masalah di atas, adalah
contoh sebagian kecil dari masalah yang saya hadapi selama 30 tahun masa
pengabdian menjadi pendidik. Kadang masalah yang berhubungan dengan perilaku
anak didik, saya hadapi dengan lapang dada dan sabar. Kadang masalah yang
muncul ke permukaan membuat pusing dan gigi gemeretak, menahan amarah. Kadang
juga masalah-masalah yang ada saya cuekin. Kenapa sampai saya cuekin? Karena
menyelesaikan masalah anak didik, bukanlah perkara yang mudah, harus banyak
pertimbangan dan perhitungan. Kadang juga sampai terbawa mimpi. Aaah, Mungkin
rasa cinta saya kepada anak didik terlanjur membengkak. Padahal kalau saya
renungkan, kenapa juga sampai terbawa mimpi? toh anak didik kita mempunyai
orang tua yang lebih kuasa dalam pembentukan perilaku anaknya.
Kewajiban saya sebagai
pendidik, bukan hanya mentransfer pengetahuan saja, tetapi lebih dari itu. Perilaku dan karakter peserta didik menjadi
point yang lebih penting dari segalanya. Sebenarnya tugas kita hanya membantu,
karena prosentase anak didik bersama orang tuanya, jauh lebih besar dari pada
bersama kita. Penyelesaian masalah anak didik yang berkaitan dengan perilaku
atau akhlak lebih pelik dari pada permasalahan anak didik yang berkaitan dengan
kemampuan akademis.
Suatu hari saya
dikejutkan oleh berita di gawai, dari WA Grup tenaga pendidik di madarasah.
Berita ini memberikan warning kepada kita, terutama sebagai
pendidik harus lebih hati – hati dalam memperlakukan anak didik. Kalau tidak,
bisa berakibat fatal. Urusan mendidik anak didik saat ini, bukan hanya urusan
antara guru dan orang tua, tetapi sudah melebar menjadi urusan dalam ranah
hukum. Saya ikut prihatin membaca berita tersebut. Tidak mungkin tindakan yang
dilakukan oleh guru tidak didasari oleh tanggung jawab dan kasih sayang yang besar,
ketika ada anak didik yang berperilaku melanggar sebuah aturan.
Sebut saja Pak Akbar,
salah seorang guru agama yang dipolisikan oleh orang tua karena menghukum anak
didiknya yang tidak mau sholat berjamaah.Tak disangka hukuman yang diberikan
oleh beliau akan menjadi bumerang baginya. Orang tua murid yang tak terima
dengan hukuman itu melaporkan Pak Akbar ke polisi. Tak sampai di situ saja, ia
juga dituntut uang puluhan juta rupiah. Padahal Pak Akbar punya alasan kuat di
balik hukumannya. Tidak lain semua demi kebaikan anak didik.
Setelah membaca berita tersebut, terus terang
ada ketakutan dalam diri saya. Kilas balik pada permasalahan bocah berkebutuhan
khusus yang pernah saya hadapi di kelas, bukanlah perkara yang mudah. Pernah
dia berbicara kotor dengan berteriak. Bukan hanya pada temannya. Saya pun juga
pernah di damprat dengan kata-kata kotor yang dibawa dari rumah. Nasehat dan
rengkuhan selalu saya berikan padanya, tetapi perkataannya masih sering
berulang. Saya ingin menghukumnya dan memberikan efek jera tetapi saya takut
kalau orang tuanya tak terima, meskipun saya sering mengkomunikasikan tentang
keadaan puteranya. Jika tidak saya hukum hal itu semakin menjadi-jadi. Lantas
jika semakin parah dampaknya, karena saya tak memberikan efek jera kepadanya,
bagaimana nasib anak ini di masa depan? Dalam suatu kesempatan saya sempat
berpikir, kenapa peliknya masalah perilaku anak didik menjadi beban yang
menghinggapi hidup saya?
Pekerjaan sebagai guru bukanlah pekerjaan yang
mudah. Terkadang ada orang yang memandang sebelah mata. Meski dipandang sebelah
mata, semangat harus menyala di dalam dada. Emosi kita sebagai pendidik,harus
diregulasi dengan baik supaya tetap stabil, dan selamat dari sentuhan hukum. Guru
mentalnya harus sehat. Layaknya nahkoda kapal besar, kita yang menentukan
kemana arah pendidikan ini kita bawa. Semua pastilah mengarah pada tujuan
mulia. Semangat dan ilmu yang kita miliki, haruslah kita dedikasikan untuk kepentingan
masa depan anak di negeri ini, meskipun untuk mencapai tujuan mulia ini banyak
rintangan menghadang di depan mata. Semua guru di negeri ini harus mulai bijak
dan ingat bahwa kita juga punya keluarga yang tidak boleh dinomer duakan.
Ketika anda menghadapi perilaku dan
karakter anak didik yang bermasalah, tetaplah hati – hati dalam menentukan
tindakan yang akan kita ambil. Jangan sampai kita masuk lingkaran jeruji,
keluarga kita jadi korban. Meskipun tujuan kita baik, tak semua orang tua di
luar sana paham apa maksud yang terkandung di dalam tindakan kita. Hanya Allah
yang tahu niat yang ada di dalam hati kita. Semoga pekerjaan mulia ini kelak
bisa berakhir dengan husnul khowatim dan dapat kita pertanggung
jawabkan di hadapan Allah SWT.
Chaula Handayani, S.Ag dilahirkan di Malang, pada tanggal 24 Januari 1973. Anak pertama dari 4 bersaudara. Penulis adalah seorang guru yang malang melintang di dunia madrasah Kota Malang selama kurang lebih 26 tahun. Penulis juga pernah merintis Madrasah Ibtidaiyah Syihabuddin, Dau, Kabupaten malang. Saat ini penulis mengabdikan diri di Madrasah Ibtidaiyah Wahid Hasyim, Jetis Dau, Kabupaten Malang. Menulis adalah bakat alam yang tumbuh sejak remaja. Karya tulis yang dihasilkannya juga terbilang minimalis, sehingga perlu mengasah diri di Kelas Belajar Menulis Nusantara (KBMN) Gelombang 24, dengan founder Dr.Wijaya Kusuma, M.Pd. Penulis terlibat dalam penulisan 11 antologi, salah satunya berjudul “Keping – keping sajak Eufonik” bersama sahabat Guru Penggerak Literasi Nusantara, dan 1 buku antologi bersama sahabat literasi madrasah dalam “Kisah Inspiratif Guru Madrasah”. Karya penulis dapat dibaca di : http://chaulahandayani.blogspot.com, FB : Chaula Handayani, dan by WA : 089610116443.