ARTIKEL|JATIMSATUNEWS.COM - Di tengah dinamika ekonomi global yang terus berkembang, kemampuan mengelola keuangan menjadi kunci penting untuk mencapai kestabilan dan kesuksesan finansial. Salah satu aspek fundamental untuk mencapainya adalah literasi finansial. Sayangnya, tingkat literasi keuangan di banyak negara, termasuk Indonesia, masih relatif rendah. Oleh karena itu, pendidikan memiliki peran krusial dalam membangun dasar yang kuat untuk mengembangkan literasi keuangan sejak usia dini. Pendidikan literasi keuangan sebaiknya diperoleh terutama pada anak usia pra sekolah dan sekolah dasar. Studi dari University of Cambridge mengungkapkan bahwa anak-anak mulai membentuk kebiasaan finansial sejak usia 7 tahun.
Apa itu literasi finansial? Literasi finansial adalah kemampuan untuk memahami, mengelola, dan menggunakan sumber daya keuangan secara bijaksana. Kemampuan ini mencakup pengetahuan tentang anggaran, tabungan, investasi, pengelolaan utang, dan perlindungan finansial. Literasi finansial tidak hanya membantu individu menghindari kesalahan keuangan tetapi juga mendorong mereka untuk membuat keputusan keuangan yang strategis, sehingga meningkatkan kesejahteraan ekonomi pribadi dan masyarakat secara keseluruhan. Sejak 2016, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Literasi finansial merupakan bagian dari program literasi sebagai langkah menumbuhkan keterampilan abad ke-21 yang penting bagi generasi muda.
Literasi keuangan memiliki peran penting dalam membangun kebiasaan keuangan yang positif bagi generasi muda, seperti menabung, mengelola anggaran, dan menghindari utang konsumtif. Literasi ini juga membantu meminimalkan risiko keuangan, meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan terkait pengeluaran dan investasi, serta mendorong inovasi dan kewirausahaan dengan memberikan pemahaman yang kuat tentang risiko dan peluang bisnis. Pengembangan kemampuan literasi dapat dilakukan melalui pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Ketiganya dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Guru sebagai penggerak literasi di kelas harus merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan literasi dalam setiap tahapannya.
Pendidikan menjadi pondasi utama untuk meningkatkan literasi finansial, namun terdapat tantangan seperti kurangnya akses pendidikan keuangan, rendahnya kesadaran orang tua dan guru akan pentingnya literasi finansial, serta ketimpangan digital yang membatasi akses teknologi bagi peserta didik. Untuk mengatasi tantangan ini, perlu adanya kolaborasi antara berbagai pihak untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan literasi keuangan sejak dini.
Upaya untuk meningkatkan literasi finansial harus mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi masing-masing daerah, agar semua peserta didik memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan mengembangkan keterampilan keuangan yang diperlukan di masa depan. Peserta didik di perkotaan seringkali memiliki akses yang lebih baik terhadap sumber informasi terkait keuangan. Penampakan media dan iklan yang berkaitan dengan produk keuangan juga lebih seringkali terpampang jelas di tempat tinggal mereka sehingga peserta didik lebih mudah mengenal konsep-konsep seperti tabungan, investasi, dan atau bahkan mereka sudah mengenali penggunaan kartu debit atau kredit. Kurikulum di perkotaan sering kali mencakup pendidikan finansial sebagai bagian integral dari pembelajaran, sehingga peserta didik dibekali dengan pengetahuan yang lebih luas tentang pengelolaan keuangan. Lain halnya dengan peserta didik di daerah pedesaan yang sering menghadapi tantangan yang berbeda. Akses mereka terhadap informasi dan sumber daya pendidikan cenderung lebih terbatas. Lokasi geografis dan keterbatasan ekonomi mempengaruhi kesempatan mereka untuk mengenal konsep-konsep seperti menabung di bank atau bahkan konsep pembayaran dengan dompet digital yang jauh lebih dikenal oleh siswa perkotaan. Peserta didik di daerah pedesaan lebih banyak belajar dari pengalaman sehari-hari serta tradisi keluarga. Mereka sering kali lebih mengenal cara-cara tradisional dalam mengelola uang, seperti menabung dalam bentuk fisik.
Meskipun berada di pedesaan, guru tetap dapat mengajarkan pembelajaran literasi finansial dengan cara yang sederhana namun bermakna, seperti menabung. Dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan pendekatan yang sesuai dengan konteks kehidupan siswa, guru dapat mengenalkan konsep pengelolaan uang sejak dini. Pendekatan ini tidak hanya mengajarkan nilai-nilai penghematan dan perencanaan, tetapi juga membentuk kebiasaan bertanggung jawab terhadap keuangan yang bermanfaat bagi masa depan siswa.
Adapun beberapa strategi pembelajaran yang sudah diterapkan di SDN Tambakrejo 2 khususnya kelas VIA agar peserta didik memahami pengelolaan keuangan dengan baik. Beberapa praktik baik yang dilakukan meliputi merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi antara lain:
Pertama, membangun pemahaman awal tentang menghargai kebiasaan menabung tradisional: Guru dapat mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal, seperti membiasakan juga untuk menabung sisa uang sakunya dalam bentuk fisik/ celengan di rumah. Dimulai dengan, mengajak peserta didik berdiskusi tentang kebiasaan menabung yang sudah dilakukan misalnya menabung dalam celengan.
Kedua, menjelaskan keuntungan menabung di bank: Guru dapat memberikan pemahaman mengenai manfaat menabung di bank, kemudahan akses, dan keamanan dari pencurian atau kerusakan akibat bencana seperti perlindungan dari kehilangan atau pencurian, serta mendapatkan bunga atas tabungan. Misalnya, guru bisa menjelaskan bahwa meskipun menabung dalam bentuk fisik (misalnya uang tunai di rumah) terasa lebih mudah, namun uang tersebut lebih rentan hilang akibat bencana alam, pencurian, atau kerusakan.
Ketiga, menunjukkan cara membuka rekening bank: Dengan pengetahuan yang dimiliki guru, guru dapat menjelaskan secara langsung kepada peserta didik tentang cara membuka rekening bank, cara melakukan penarikan uang dari tabungan serta prosedur-prosedur yang ada dalam menabung.
Keempat, melibatkan peserta didik secara kreatif dalam membuat celengan agar merasa memiliki tanggung jawab terhadap tabungannya. Peserta didik membuat celengan dari bahan yang mudah dijumpai dengan barang bekas seperti botol plastik atau kaleng, dan dihias sesuai kreativitas mereka.
Kelima, mendiskusikan tujuan menabung dengan peserta didik, seperti membeli alat tulis, membantu orang tua, atau mendanai kegiatan sekolah. Guru memfasilitasi peserta didik untuk menuliskan target menabung yang dilakukan dalam beberapa contoh tujuan jangka pendek (1 bulan) dan jangka panjang (6 bulan). Kegiatan ini membuat peserta didik termotivasi karena menabung memiliki hasil yang jelas.
Keenam, mengajak peserta didik untuk melakukan praktik baik yaitu menyisihkan sebagian uang saku ke dalam celengan. Kegiatan ini membiasakan peserta didik dengan rutinitas menabung secara konsisten.
Ketujuh, mengevaluasi atas pencapaian kegiatan menabung. Setelah waktu tertentu (misalnya 1 bulan), guru mengajak peserta didik membuka celengan dan menghitung tabungan mereka. Pencapaian dengan pujian atau kegiatan bersama dengan membeli barang yang diinginkan. Melalui memberikan penghargaan atas usaha peserta didik dapat memotivasi mereka untuk terus menabung.
Dengan pembelajaran literasi finansial sejak jenjang sekolah agar tercipta pembiasaan pada diri peserta didik untuk mengelola keuangan dengan bijak sampai dengan pengambilan keputusan yang tepat dalam hal menabung, berbelanja dengan cerdas, dan tepat dalam mengelola anggaran sederhana. Harapannya, saat dewasa peserta didik dapat terbiasa untuk menabung, menghindari hutang yang tidak baik, dan belajar bertanggung jawab terhadap uang.
Penulis: Nur Fadhilah Ummah, S.Pd (Mahasiswa S2 Pendidikan Dasar - Universitas Negeri Surabaya https://s2dikdas.fip.unesa.ac.id/
Dosen Pengampu :
Dr.Hitta Alfi Muhimmah, M.Pd
Dr.Ganes Gunansyah, S.Pd., M.Pd.