Sidang kasus sengketa merek antara Bantal Harvest dan Harvest Luxury kembali ditunda akibat ketua majelis hakim berhalangan hadir. Agenda mendengarkan keterangan ahli pidana dijadwalkan ulang pada 27 November 2024. Akankah sidang berikutnya membawa titik terang
PASURUAN | JATIMSATUNEWS.COM
Sidang kasus sengketa merek Bantal Harvest kontra Harvest Luxury antara Debby Afandi kontra Fajar Yuristanto kembali ditunda oleh Pengadilan Negeri Kota Pasuruan. Sidang ke-14 yang semula dijadwalkan mendengarkan keterangan ahli pidana akhirnya dijadwalkan ulang pada Rabu (27/11/2024) mendatang. Penundaan ini terjadi lantaran Ketua Majelis Hakim berhalangan hadir karena menghadiri acara dinas di Pengadilan Negeri Pasuruan.
Dalam wawancara, pengacara terdakwa, Zulfi Syatria, menyatakan pihaknya sudah sepenuhnya siap menghadirkan saksi ahli pidana, Ahmad Basuki, seorang dosen Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. “Hari ini, mestinya kita mendengarkan keterangan dari ahli pidana yang sudah kami siapkan. Namun, karena ketua majelis hakim berhalangan hadir sehingga dengan terpaksa sidang ditunda pada tanggal 28 dengan agenda kembali pengajuan keterangan saksi dari ahli kami,” ujar Zulfi.
Zulfi menambahkan bahwa pihaknya optimistis dengan keterangan saksi ahli pidana yang dapat membuktikan bahwa kasus ini tidak semestinya masuk ke ranah pidana. “Kami membawa ahli pidana yang insyaallah bisa meyakinkan bahwa kasus ini tidak layak untuk masuk ke ranah pidana karena ini seharusnya sengketa perdata atau administrasi. Kemudian juga tidak ada manfaatnya jika kasus ini diteruskan dari segi tujuan hukum dan juga tidak ada keadilan yang didapatkan. Apalagi kalau sampai Saudara Debby Afandi diputuskan bersalah, ini jauh dari rasa keadilan,” tegasnya.
Ahli pidana, Ahmad Basuki, dalam wawancara terpisah, mengungkapkan pandangannya terkait kasus ini. Menurutnya, kasus ini lebih tepat dikategorikan sebagai sengketa perdata. “Kalau pasal 100 entah itu ayat 1 atau ayat 2, disana dijelaskan bahwa perbuatan melawan hukumnya itu menggunakan hak merek yang sebenarnya milik orang. Tapi ternyata terdakwa itu merasa dirinya berhak meskipun secara formal di dalam sertifikat memang pelapor mempunyai hak. Tetapi yang harus dipahami, dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2016 tentang merek menjelaskan bahwa hak atas merek itu tidak bersifat final. Jadi terdapat klausul dimana memang hak ekslusif itu miliknya pendaftar tetapi dengan pengecualian selama putusan pengadilan tidak menyatakan sebaliknya. Jadi, ini bukan masalah pidana, melainkan problem administrasi atau perdata,” jelas Basuki.
Lebih lanjut, Basuki menyoroti tindakan pelapor yang langsung melaporkan kasus ini ke pihak berwajib tanpa ada upaya somasi atau peringatan terlebih dahulu. “Ini menunjukkan ada etikat yang tidak baik. Jangan sampai hanya karena kelemahan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2016 melalui Pasal 1 Angka 5 itu menjadikan semangat ekonomi informal menjadi pupus, semangat UMKM yang digaungkan pemerintah menjadi pudar hanya karena takut berimprovisasi dan berinovasi menggunakan temuan-temuan mereka, hanya gara-gara takut dilaporkan atau dipidana," ujarnya.
Ia juga mengungkapkan harapannya pada sidang mendatang kasus ini, "Yang mulia majelis hakim termasuk juga tim penuntut umum nanti bisa mempertimbangkan kembali dakwaannya dan bagi majelis hakim bisa mempertimbangkan asas kemanfaatan. Kemanfaatan bagi masyarakat luas dan keadilan bagi yang didakwa. Itu harapan saya.”
Ahmad Basuki juga memberikan pesan penting bagi pelaku UMKM untuk lebih memperhatikan aspek administrasi, khususnya terkait Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). “Tradisi masyarakat Indonesia itu kreatif, tetapi kurang peduli pada administrasi. Jadi mau tidak mau masyarakat harus mulai memperhatikan administrasi supaya kasus seperti yang dialami terdakwa tidak terulang lagi. Namun demikian, kita tetap harus semangat menumbuhkan etos kerja keras, berimprovisasi, dan ber-UMKM ,” tutupnya.(Asyraf)