Murid-murid berhamburan keluar kelas, sebagian yang berserak segera menuju halaman luas berumput hijau. Pohon beringin kecil di tengah jadi titik tengah seantero lapangan.
Sejenak barisan mulai dirapikan. Masing-masing ketua kelas menata barisan rombongan yang sesekali riuh rendah guyon antar kawan.
Hingga selanjutnya upacara berlangsung. Menaikkan bendera merah putih, diiringi lagu Indonesia Raya. Pembacaan UUD 1945. Hingga sampai pada sambutan kepala sekolah.
Saya teringat sebuah nama. Pak Abdus Saleh. Lelaki tegas berlogat Madura. Rambut tipis dengan pomade klimis mirip Pak Menteri Penerangan Harmoko.
Sorot matanya ramah penuh wibawa.
Pak Saleh berdiri di panggung utama.
Seusai mengucap salam, beliau memberi motivasi, nasehat dan pesan rajin belajar dan berbakti pada orang tua.
Kemudian wajahnya memandang ke arah barisan guru.
Lelaki muda, guru kami yang baru, berkemeja merah muda. Bertengger kopiah hitam di kepalanya. "Kenalkan Pak Hasbullah, beliau akan mengajar bahasa Indonesia. Wah, penampilannya mirip Bung Karno!".
Sedetik kemudian seantero lapangan tertawa. Dalam hati saya bergumam, guruku Bung Karno, bukan Jamal Mirdad. Atau sebaiknya kuanggap mirip Rano Karno . Karena dipanggil Bung Karno.
Berikutnya seorang berbadan ramping, sekilas mirip Jamal Mirdad, penyanyi pop era 80-an maju ke depan, berdiri di samping panggung.
Di antara puluhan pengajar itu, beliau memanggil nama seseorang. "Silahkan Pak guru yang baru kita maju ke depan", ujarnya kemudian.
Uniknya, beliau tak hanya mengajar bahasa Indonesia. Tapi terjadwal juga ngajar bahasa Inggris.
Begitulah, Pak Has, demikian kami menyapa beliau di hari-hari berikutnya.
Suatu ketika Pak Has memanggil 3 nama murid.
Ternyata pertunjukan serba kilat lumayan mengejutkan. Saya berperan jadi wong edan. Omongannya meracau. Saya tak sepenuhnya hafal skenario. Pak Has bersembunyi di balik layar tangan dan mulutnya komat kamit mengingatkan isi skenario.
Sementara dua pemeran lain, sobat saya Tedy Friskyanto dan Syaifudin didapuk jadi hantu pocong yang bisa bicara. Mereka juga melirik ke arah Pak Has yang membisikkan teks drama.
Beliau membawa naskah drama. Mau ditampilkan di acara perpisahan kelas 3 SMP esok hari. Wow, Pak Has jadi sutradara untuk pertunjukan dadakan esok hari. Saya agak ragu, bagaimana menghafal skenario dalam.waktu 24 jam ?
Satu hal, saya bilang padanya, saat Bung Karno bersama Bu Inggit Garnasih diasingkan ke Ende, Si Bung mengajar, menjadi guru bahasa asing bagi anak-anak di sana. Bung Karno juga menulis drama Lakonnya Frankestein, tentang mayat yang bisa dihidupkan dengan energi listrik dongeng yang ditulis Maria Shelley di abad ke-18 bercerita tentang monster yang hidup kembali. Bung Karno menyindir tentang negeri Indonesia yang dijajah Belanda ibarat mayat hidup.
Uniknya, Pak Hasbullah yang dijuluki Bung Karno, oleh kepala sekolah, saat kenalan pertama, jadi sutradara drama/tonil dengan naskah yang mirip yang ditampilkan Bung Karno sebelum Indonesia merdeka. Selamat Hari Guru..
Hingga suatu ketika, saat saya bersua Pak Hasbullah saat menjabat Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pasuruan, beliau tertawa terpingkal-pingkal saat saya ingatkan hal itu.
Luar biasa, saya bisa monolog bak Butet Kertarajasa. Didukung dua pemeran 2 teman saya. Seingatku, tema drama pendek itu berisi sindiran kecil tentang nasionalisme, cinta lingkungan dan persahabatan.
Agaknya, saya harus datang lagi ke SMPN Grati menanyakan foto peristiwa itu.
Adegan 20 menit antara orang gila dan hantu lumayan direspon tepuk tangan. Bu Asmawati, guru senior kami, memuji penampilan tak terduga ini.
Ya Allah, rasanya ingin terus tertawa mengenang itu.
Seingatku, saya jadi orang gila bertudung mahkota Gatutkaca yang dipasang terbalik. Langsung comot dari busana siswi penampil tari Gatutkaca Gandrung.