ARTIKEL|JATIMSATUNEWS.COM - Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2024 semakin mendekat. Lima puluh hari lagi, masyarakat Indonesia yang telah memenuhi syarat untuk memilih akan menunaikan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Bagi peserta, Pasangan Calon Bupati-Wakil Bupati, Walikota dan Wakl Walikota serta Guernur dan Wakil Gubernur tentu sedang dan menyiapkan segala “kekuatan” dan sumber daya yang dimilikinya untuk meraup suara agar memenangkan kontestasi. Terlebih sekarang ini masa Kampanye. Momentum Kampanye akan dijadikan wahana untuk melakukan berbagai upaya pencitraan dan penyampaian gagasan kepada calon konstiutuen (pemilih) untuk meyakinkan bahwa dirinya yang layak untuk dipilih.
Begitu juga untuk dua pasangan calon (paslon) Bupati dan Wakil Bupati Malang Kabupaten Malang yang telah ditetapkan sebagai peserta Pilkada 2024. Para paslon dan Tim pemenangannya tentu sudah memetakan banyak hal terkait dengan potensi tantangan dan sekaligus harapan menjadi Bupati dan Wakil Bupati Malang yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat Kabupaten Malang.
Kabupaten Malang yang dikenal dengan keindahan alam dan budayanya, tentu membawa tantangan dan harapan tersendiri bagi para paslon. Setidaknya tantangan menjadi Calon Bupati Malang yang pertama adalah masalah Infrastruktur. Tentang infrastruktur ini, Kabupaten Malang memiliki wilayah yang luas dengan banyak desa dan daerah terpencil. Pembangunan infrastruktur yang merata menjadi kunci untuk meningkatkan aksesibilitas dan kualitas hidup masyarakat. Calon Bupati harus merumuskan rencana yang realistis dan berkelanjutan untuk memperbaiki jalan, jembatan, dan fasilitas publik lainnya.
Kedua, perihal pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Malang kaya akan sumber daya alam, termasuk pertanian dan pariwisata. Namun, pengelolaannya seringkali tidak berkelanjutan. Calon Bupati perlu menghadapi tantangan dalam mengelola sumber daya ini secara bijak, agar tidak merusak lingkungan dan tetap memberikan manfaat bagi masyarakat.
Ketiga, perihal Pendidikan dan Kesehatan. Tingkat pendidikan dan pelayanan kesehatan di beberapa daerah masih memerlukan perhatian serius. Calon bupati harus mampu mengembangkan program yang meningkatkan kualitas pendidikan dan akses terhadap layanan kesehatan, terutama di daerah terpencil.
Keempat, Isu Sosial dan Ekonomi. Ketimpangan ekonomi dan masalah sosial, seperti pengangguran dan kemiskinan, menjadi tantangan besar. Calon bupati perlu memiliki strategi untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program-program yang inklusif.
Kelima, problem Infrastruktur pelayanan publik yang memadai. Wilayah geografis yang luas dan jumlah penduduk yang besar, terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya ini menjadi tantangan dan bisa jadi problem akut perihal pelayanan administrasi kependudukan dan lainnya. Calon Bupati harus mampu merumuskan kebijakan dan sekaligus menerapkannya di lapangan bagaimana cara melayani masyarakat dengan mudah dan cepat.
Di masa Kampanye ini, Para pasangan calon Bupati Malang dan Wakil Bupati dan tentu bersama Tim pemenangannya harus mampu menyampaikan gagasan-gagasan yang membumi, realistis dan memberikan harapan besar kepada masyarakat kabupaten Malang. Mengingat luas wilayah yang sangat luas dan heterogennya tipikal Pemilih akan menjadi tantangan tersendiri. Mampukah para Paslon menghadirkan gagasannya kepada Publik hingga ke pelosok-pelosok desa yang terjauh, terpencil dan tersulit di jangkau oleh media apapun. Sedangkan di masyarakat perkotaan saja juga belum mesti mereka mendapatkan informasi yang utuh perihal sosok paslon dan gagasannya.
Problem yang tak kalah urgennya adalah perihal perilaku politik pemilih. Partisipasi Pemilih di masa Pilkada dari masa ke masa secara prosentase jauh lebih sedikit jika dibanding dengan partisipasi pemilih saat Pemilu. Saat Pemilu 2019 dan 2024 kemarin, Partisipasi pemilih bisa mencapai 80% lebih. Sedangkan saat Pilkada 2020, partisipasi pemilih hanya di angka 60%. Begitu juga Pilkada 2015 yang tidak mencapai 60%. Data ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat (pemilih) yang enggan dan bahkan apatis terhadap Pilkada. Hal ini menunjukkan bahwa antusiasme pemilih sangat jauh berbeda bila dibandingkan saat Pemilu.
Istilah Golput (golongan putih) untuk menyebut mereka (pemilih) yang tidak mau menggunakan hak pilihnya alias tidak hadir ke TPS seringkali terdengar di setiap Pemilihan. Selain golput, juga terdengar santer istilah gerakan coblos semua. Gerakan coblos semua ini, pemilih hadir ke TPS namun tidak memilih salah satu paslon melainkan semua paslon dipilih alias dicoblos yang menyebabkan suaranya tidak sah. Keduanya menjadi tantangan bagi para peserta Pilkada dan juga penyelenggara Pilkada. Golput sangat jelas berpotensi minimalisnya prosentase kehadiran pemilih. Adapun gerakan coblos semua memiliki dampak surat suara yang tidak sah menjadi besar. Maka patut dipertanyakan, bagaimana kerja-kerja para paslon dan sekaligus penyelenggara untuk mengantisipasi perhal tersebut.
Oleh karenanya, di manakah sesungguhnya akar utama problem partisipasi pemilih Pilkada ini? Apakah dikarenakan sosok calon pemimpin yang kurang menarik atau tidak sesuai harapan masyarakat atau ada problem yang sangat fundamental lain? Jika dikarenakan faktor kepemimpinan, maka para paslon harus membuat strategi untuk dapat menarik hati (simpati) masyarakat, Namun jika ada factor lain missal factor pragmatism masyarakat, maka membangun kesadaran politik untuk memilih juga perlu dipertimbangkan mengingat waktu yang sempit dan keterbatasan tenaga bisa menjadi kendala.
Dalam setiap kontestasi apapun, butuh perjuangan yang besar untuk meraih kemenangan. Jika para paslon Pilkada serius untuk mendapatkan suara pemilih, maka setiap problem dan tantangan harus dicarikan dan beri solusi terbaiknya. Bukan karena luas wilayah dan keterbatasan lain, namun disitulah justru akan terlihat keseriusan para kontestan untuk dipilih secara legitimate.
Penulis: Khilmi Arif (Pemerhati Pilkada, Anggota KPU Kabupaten Malang Periode 2019-2024)