ads H Makhrus

 

Pasang iklan disini

 


Mencaci atau Mendoakan Pemimpin?

26 Oktober 2024 | 12.31 WIB Last Updated 2024-10-26T05:33:37Z
memilih pemimpin dan mendoakannya


Kegiatan saya setiap pagi adalah mengawalinya dengan membaca maqalah-maqalah pendek yang kemudian saya share ke beberapa group wa guna pengingat bagi saya pribadi maupun kawan-kawan.

Bertepatan dengan pilkada yang menjelang, dan presiden yang baru, Jumat kemarin saya menemukan maqalah dari sebuah hadits marfu' yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang berbunyi:

عند الترمذي مرفوعا: من أهان سلطان الله في الأرض، أهانه الله. وقال الترمذي: هذا حديث حسن غريب. اهـ.

diriwayatkan dari Imam Tirmidzi sebagai hadits marfu': barangsiapa yang menghinakan pemimpin yang mendapat kuasa dari Allah, Allah akan menghinakannya. hadits ini hasan gharib

Pada suatu group anak murid saya, mengkritisi hadits ini sebagai hadits yang agak paradoks. Ia memberi alasan kalau studi kasusnya Allah menghinakan pemimpin, dengan cara aib korupsinya dibuka, warga negaranya habis-habisan kritik plus membongkar kelakuan culas dan serakah pemimpinnya, sehingga kelakuan busuknya ketauan oleh publik. Karena akhir akhir ini, yang bongkar kasus besar bukan KPKtapi netizen. Kenapa Allah malah marah atas hal ini? Bukankah ini pertanda baik?

Saya menjawab, bahwa hadits itu sebenarnya tidak paradoks, karena ketika rakyat termotivasi menghinakan mereka, mereka tidak sadar bahwa pemimpin buruk adalah adzab atas rakyat yang buruk. Para pemimpin itu adalah hasil pilihan mereka. Ketika mereka menemukan keburukan sang pemimpin, bukankah sebenarnya mereka sendiri yang sedang mempermalukan diri sendiri akibat salah memilih? 

Bagaimana bila terlanjur salah pilih, mungkin cara Ibrahim Ibn Adham bisa ditiru. ‘Abdush Shomad bin Yazid Al Baghdadiy menceritakan bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata:

لو أن لي دعوة مستجابة ما صيرتها الا في الامام

“Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.”

Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy)

Anak santri saya kemudian kembali menyanggah dengan menyitir sebuah pernyataan Imam ghozali ddalam bukunya ihya Ulumuddin.

فسدت الرعية إلا بفساد الملوك وما فسدت الملوك إلا بفساد العلماء 

"Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama."

Pernyataan Imam Ghazali ini tidak salah, namun kita tidak boleh lupa bahwa Rasulullah pernah menegaskan:

قال رسول الله (صلى الله عليه وآله): سيأتي زمان على أمتي يفرون من العلماء كما يفر الغنم عن الذئب، فإذا كان كذلك ابتلاهم الله تعالى بثلاثة أشياء: الأول: يرفع البركة من أموالهم، والثاني: سلط الله عليهم سلطانا جائرا، والثالث: يخرجون من الدنيا بلا إيمان.

akan datang suatu zaman, umatku lari dari para ulama seperti larinya kambing dari serigala, ketika itu terjadi Allah akan memberi tiga cobaan, yang pertama Allah akan menghilangkan keberkahan hartanya, yang kedua Allah akan menguasakan sosok pemimpin yang dzalim dan yang ketiga dia akan mati dalam keadaan tidak beriman.

Kedekatan Ulama dengan masyarakat melebihi kedekatan ulama akan membuat para pemimpin waspada terhadap para ulama atas keingkaran mereka terhadap pemerintah. Hingga para penguasa tidak berani berbuat macam-macam. Ulama akan menjadi sosok penyeimbang yang adil dan tanpa tendensip apapun terhadap pemimpin atas kebijakannya pada masyarakat. Kepentingan ulama hanyalah bagaimana kemaslahatan ummat bisa terjaga dan para pemimpin jauh dari kedzaliman.

Allah berfirman

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّى بَعْضَ ٱلظَّٰلِمِينَ بَعْضًۢا بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi penguasa bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Al-An’am: 129)

Abdullah Ibn Abbas meriwayatkan:

 وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِذَا رَضِيَ الله عن قوم ولى أمرهم خيارهم، إذا سَخِطَ اللَّهُ عَلَى قَوْمٍ وَلَّى أَمْرَهُمْ شِرَارَهُمْ.

saat Allah ridla pada suatu kaum maka Allah akan menguasakan kepemimpinan pada orang yang terbaik, saat Allah marah pada suatu kaum, Allah akan menurunkan orang terburuk pada kaum itu

Dari sini kita bisa memahami, satu-satunya jalan untuk mendapatkan pemimpin yang adil adalah dengan memantaskan diri mendapatkan pemimpin yang adil, mendekat pada ulama-ulama shalih yang menjauhkan diri dari kepentingan dunia dan hanya memandang masyarakat sebagai makhluk Allah yang diamanatkan padanya untuk mendapatkan kebenaran "Tuhan".

Siapa ulama itu, mereka yang dengan kedalaman ilmunya mengamalkan yang ia ketahui untuk mendekat pada Ilahi dan memandang masyarakat dengan kacamata belas asih. Ulama yang harus kita dekati adalah ulama yang keberadaannya mengingatkan kita pada Allah dan kesejatian hidup.

Gus Mus mengajarkan, saat akan memilih pemimpin, dianjurkan membaca:

 اللهم لا تُسلِّطْ علينا بذنوبنا مَن لا يَرحَمُنا 
Ya Allah, jangan kuasakan kepada kami, tersebab dosa kami pemimpin yang tidak belas asih pada kami.

Saat ternyata pemimpin terpilih, tidak sesuai dengan harapan, maka kita harus terus mendoakan mereka agar mereka dilimpahkan sifat amanah dan welas asih pada rakyatnya.  Sama-sama mengeluarkan energi, mendoakan kebaikan pemimpin lebih baik daripada mencacinya. Dan marilah kita memilih pemimpin kita dengan akal sehat bukan dengan materi sesaat. Wallahu a'lam

*Artikel ini ditulis oleh Achmad Shampton Masduqi, Kepala Kantor Kemenag Kota Malang
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Mencaci atau Mendoakan Pemimpin?

Trending Now