ARTIKEL|JATIMSATUNEWS.COM: Berdasarkan perspektif agama, eksistensi guru disejajarkan dengan orang tua yang memiliki keutamaan dalam statusnya. Jika orang tua sebagai sosok yang menyebabkan seorang anak lahir ke dunia, maka guru adalah sosok pencerah yang mendidik hati dan pikiran anak sebagai bekal hidup ke depan. Meski dalam proses kerjanya, guru kadang abai dan banyak mengalami permasalahan.
Masalah
yang terus berlangsung, guru kerap bersikap apatis terhadap ketidakmampuan dan
ketidaktertarikan murid untuk belajar. Guru sekadar menyampaikan materi sesuai
silabus tanpa menghidupkan roh pemahaman dalam alam pikiran murid. Sehingga,
materi yang disampaikan sekadar singgah lalu menghilang begitu saja. Tanpa
meninggalkan jejak nilai dan kesan positif.
Lebih
jauh lagi, dalam buku "Sistem Pendidikan Finlandia: Belajar Cara Mengajar",
disebutkan oleh Lortie tentang Syndrom Prisintism (sindrom kekinian). Sindrom
yang dapat diartikan sebagai pola pikir guru yang lebih mementingkan hal-hal
bersifat jangka pendek seperti ketercapaian silabus, murid mendapatkan nilai
baik dari ujian dan lain sebagainya, dibanding hal-hal bersifat jangka panjang
seperti keutuhan pemahaman murid. Faktanya, penyakit tersebut masih banyak
menjangkit di pikiran guru-guru kita.
Mungkin,
ketidakpekaan dan ketidakpedulian guru-guru indonesia dalam mendidik murid
dikarenakan minimnya kesejahteraan yang diberikan pemerintah. Guru hanya
dijadikan profesi pelarian. Marwah guru terdegradasi oleh apresiasi yang
diberikan. Sehingga, fokus guru terpecah pada banyak hal yang mengaburkan fokus
utama pada pengembangan bakat dan minat.
Perkara
di atas bertolak belakang dengan sosok guru yang ditampilkan dalam film Hichki.
Guru yang digambarkan memiliki Sindrom Tourette tersebut mampu bertahan di
hadapan murid yang dikenal super nakal. Bagaimana sang guru yang mengidap harus
tersendat-sendat saat berbicara atau menjelaskan materi di hadapan murid. Tidak
hanya itu, sang guru harus ekstra sabar menghadapi keberagaman murid yang sejak
awal berada di barisan kontra.
Dalam
film tersebut, ketidaksukaan murid terhadap guru ditampakkan secara jelas dan
ugal. Bagaimana sang guru dibully dengan beragam kalimat dan tindakan yang
sangat memilukan. Namun, keteguhan prinsip atas adanya potensi luar biasa di
dalam murid masih terus dirawat oleh sang guru. Meski sesekali muncul rasa
jengkel, marah, dan sakit hati sebagai kelumrahan manusiawi.
Disamping
terus bersabar menghadapi beragam cobaan, sang guru akhirnya mampu membuka dan
menyadarkan murid tentang potensi yang tersimpan di dalam diri mereka. Dalam
alur pemikiran ini, Einstein benar ketika menekankan bahwa yang paling penting
dalam mengajar bukan mengarahkan mereka kepada pola pemikiran guru, tetapi
menyediakan kondisi yang memungkinkan mereka belajar. Einstein mengatakan, "I never teach my pupils. I only
attempt to provide the conditions in which they can learn" (Saya tidak
pernah mengajar murid saya. Saya hanya berusaha memberikan kondisi di mana
mereka dapat belajar).
Setelah
itu, agar belajar tidak terkesan membosankan, maka guru harus mengeluarkan
jurus metode belajar yang variatif dan menyenangkan. Hal ini dicontohkan
melalui pelaksanaan forum belajar di luar kelas, penggunaan alat-alat peraga
yang menyenangkan, serta tidak terjebak dalam lintasan silabus yang
membosankan. Contoh lain dalam film ialah mengabsen dengan melempar telur,
mengajukan pertanyaan sesuai dengan keahlian murid, juga mengerti latar
belakang murid sebagai bahan evaluasi dalam usaha pengembangan murid ke depan.
Ya, pekerjaan tersebut jarang diselesaikan atau bahkan tidak dilakukan oleh
kebanyakan guru.
Selanjutnya,
saat materi dianggap rumit dipahami murid, maka tugas guru ialah
menyederhanakan materi tersebut agar bisa diterima secara sempurna oleh murid.
Dari sini, guru memerlukan wawasan yang luas tentang kehidupan, yang dari salah
satu sisinya bisa dipetik lalu disulam menjadi bahan candaan atau refleksi guna
memaknai pengalaman. Tidak sekadar terjebak dalam ungkapan teori jlimet berisi
kosa kata ilmiah yang jarang dipahami publik. Akhirnya, dari kesederhanaan
tersebut, pikiran murid bisa digiring agar bisa bersenang-senang dalam belajar.
Selaras
dengan penjelasan di atas, pedagog seperti John Dewey dalam Democracy and Education (1950) secara
jelas mengungkapkan bahwa belajar sebagai proses pemaknaan pengalaman. Dalam
kacamata yang sama, David Kolb, pendiri Experince
Based Learning, menekankan bahwa ketika pengalaman dipadukan dengan
pemahaman akan membentuk sebuah pengetahuan. Di sini jelas, pengetahuan tidak
dimaknai sesederhana sekadar menguasai beberapa teori abstrak sebagaimana kerap
disalah mengerti.
Sampai
akhirnya, keseriusan dan ketulusan guru dalam film Hichki berhasil membuahkan
murid yang lulus ujian sekolah, bahkan lolos ujian hidup setelah menjadi ahli
dan jenius di bidangnya masing-masing. Tentu jika sudah demikian, kepuasan menjadi
guru bisa dirasakan secara maksimal. Bahwa guru adalah sosok inspiratif, sosok
mulia, dan sosok yang harus diperhatikan kesejahteraannya.
Dalam
buku The Geography of Genius besutan
Eric Weiner dijelaskan bahwa “Yang membedakan antara orang genius dan orang
gagal sebenarnya bukan berapa kali dia berhasil, melainkan berapa kali dia
memulai dari awal”, dan statement ini
sudah dibuktikan di dalam film Hichki melalui beragam kesibukan belajar di
beberapa segmen.
Terakhir,
mengutip dari seorang penulis sekaligus seniman abad 19 asal Britania Raya,
Willian Ward mengatakan "The
mediocre teacher tells. The good teacher demonstrates. The great teacher
inspires" (Guru yang biasa-biasa saja menceritakan. Guru yang baik
mendemonstrasikan. Guru yang hebat menginspirasi). Dari tiga tingkatan guru
tersebut, dapat disimpulkan bahwa potret guru dalam film Hichki adalah sosok
guru yang hebat dan inspiratif.