Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah menjelaskan bahwa Allah tidak akan mengumpulkan dua hal dalam dua hal. Allah tidak akan mengumpulkan dua rasa takut dan dua rasa aman. Bila seseorang merasa aman didunia, maka ia akan ketakutan di akhirat.
Maksudnya seperti apa? Ketika manusia merasa aman dari Allah di dunia, ia akan merasa ketakutan saat diakhirat nanti. Kenapa harus ketakutan, karena setiap yang kita lakukan di dunia harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti. Seseorang yang merasa aman dari apapun, tentu dia akan merasa bebas untuk berbuat apa saja. Padahal, di dunia segala yang halal ada perhitungan amalnya, dan segala yang haram pasti memunculkan siksa. Inilah maksud hadits qudsi ini.
Itulah kenapa didunia suluk, seseorang yang menjalani proses amal menuju kecintaan ilahi, ia cenderung menghindari tarafuh, atau kemewahan. Setiap apa yang ia nikmati pasti ada konsekuensinya.
Tasawuf menurut sebagian ulama berarti orang yang menggunakan pakaian dari wol kasar. Mereka meninggalkan kemewahan mengikuti kelompok ahli suffah, para santri Nabi Muhamad yang meninggalkan keduniaan demi bersama Rasulullah dan agar selalu disekitar Rasulullah. Mereka ini yang oleh Allah disifati dalam ayat 24 surat al-kahfi wasbir nafsaka ma-al ladzina yad-una rabbahum bil ghadati wal ash-shiyi yuriduna waj-hah. Kelompok yang bersabar menahan kepentingan dirinya sendiri bersama orang yang senantiasa bermunajat kepada tuhannya siang malam hanya untuk mendapat ridlaNya.
Dalam konteks birokrasi, sufi bukanlah orang yang senantiasa berpenampilan kotor, tidak disiplin atau seenaknya sendiri. Bahkan seorang sufilah yang dapat menghantarkan good governance. Karena ia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Fasilitas jabatannya tidak akan diselewengkan bahkan cenderung akan dimanfaatkan guna optimalisasi tujuan pemerintahan itu ada. Imam Abu Hasan Assyadzili, inisiator thariqah syadziliyah yang dalam sejarahnya selalu berpakaian perlente dan mewah. Dalam sebuah dialog dengan kelompok sufi, ia menjelaskan bahwa tujuan utamanya bukanlah kemewahan itu untuk menyenangkan nafsu, tetapi ia menjadi media untuk menjelaskan kesemua orang bahwa ia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Tidak butuh manusia dan hanya berharap ridla ilahi.
Sistem pengawasan internal pemerintahan atau sering dikenal dengan istilah SPIP, adalah sistem dimana seseorang aparat, senantiasa memperhitungkan managemen resiko dan bagaimana memitigasinya. Bukankah ini persis dengan konsep khauf? Orang yang mempunyai rasa takut pada Allah, akan senantiasa memperhitungkan resiko bagi akhiratnya dalam setiap tindakan. Artinya bagi seorang sufi pertanggungjawaban dunia lebih ringan dan mudah dikerjakan dibanding pertanggungjawaban dihadapan Allah. Terlebih bila ia menyadari Rasulullah pernah bersabda: man husiba udz-dziba barangsiapa di hitung amalnya dia pasti akan disiksa karena amalnya tidak mungkin seimbang dengan nikmat yang ia terima.
Abu Dzar al-Ghifari, ia sosok sahabat yang karena kehawatiran dan rasa takutnya pada Allah, ia hidup sendiri dan tidak ingin kuburannya diketahui banyak orang. Pelajaran penting yang kita pelajari dari Abu Dzar adalah bagaimana interaksi dengan manusia penuh dengan resiko.
Dalam kaidah fikih disebutkan dasar utama dalam memenuhkan hak sesama manusia adalah pertanggungjawaban. Termasuk pemanfaatan harta negara, kenapa harus ada TOR, RAB, laporan pertanggungjawaban disetiap kegiatan yang kita selenggarakan. Kenapa harus ada output dan outcome dalam pelaporan kegiatan. Ini sekedar untuk menyadarkan kita bahwa dana negara yang kita gunakan harus benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang menjadi donatur bagi pendanaan negara. Hanya orang-orang yang berjiwa sufi saja yang bisa menjalankan pengawasan internal secara baik. Kalau begitu, dibutuhkan seorang birokrat sufi yang melek administrasi yang dapat mewujudkan good governance. Atau malah pemimpin daerah yang sufi, mungkinkah? Wallahu a'lam