Sebuah koran nasional merilis berita tentang keluhan Menteri PAN-RB Abdullah Azwar Anas berkaitan dengan biaya aplikasi yang menghabiskan hampir 6 trilyun meski tidak sesuai dengan Interoperabilitas yang diharapkan. Interoperabilitas adalah kemampuan aplikasi dan sistem untuk bertukar data secara aman dan otomatis tanpa memandang batas geografis, politik, atau organisasi. Interoperabilitas dibutuhkan bagi pelayanan yang inklusi tanpa sekat.
Sebagai seorang pegawai pemerintah dan penggemar pengembangan aplikasi bagi layanan masyarakat, saya pernah menginisiasi sebuah aplikasi bagi layanan kementerian agama yang kemudian aplikasi ini berkembang menasional dan membuat banyak ASN yang tersadar urgensi penggunaan aplikasi guna kecepatan kerja dan layanan. Namun kemudian aplikasi yang saya kembangkan bersama kawan-kawan harus dibredel dan diganti yang lebih baru dan lebih baik. Tapi satu hal yang saya sesali, data-data lama yang kita kumpulkan dari dibuang begitu saja dan aplikasi yang lebih canggih tidak mampu menyimpan jutaan data yang dikumpulkan dengan susah payah.
Saya tidak tahu, apakah disemua kementerian seperti ini atau tidak, seringkali pengembangan sebuah aplikasi dilakukan dari nol tidak dikembangkan dari aplikasi lama yang sudah ada. Tidak ada kesinambungan data karena pengembang yang berbeda atau alasan lain. Tentu saja akan banyak dana yang dihabiskan untuk ini.
Disebuah group ASN yang peduli terhadap pengembangan layanan prima, saya pernah menyampaikan pentingnya Reformasi Birokrasi mengakses aplikasi memperoleh anugerah inovasi digital untuk instansi sederajat dan sejenis, yang kemudian pengembangan-pengembangan selanjutnya diharuskan menginisiasi inovasi terhadap aplikasi yang sudah ada, bukan membuat baru. Dengan demikian aplikasi bisa berkembang lebih baik dan mengerucut pada kesempurnaan.
Masalahnya kebanyakan aplikasi dibuat oleh pengembang pihak ketiga yang tentu saja mempunyai ego yang tidak mau begitu saja memberikan kunci-kunci program bagi instansi pembeli. Andai transaksi pembelian aplikasi juga menyertakan penyerahan kunci-kunci dari simpul program agar bisa dikembangkan oleh orang lain bisa dilakukan tentu ini akan lebih bermanfaat. Pengalaman dalam pembuatan program aplikasi yang dirintis dari bawah sesuai kebutuhan lebih memberikan kemudahan dalam melayani masyarakat dibanding bila dirintis dari pusat yang tidak mengetahui seluk beluk layanan.
Disamping itu, kecepatan maintenance dan besaran server dari pusat juga sangat dibutuhkan, aplikasi srikandi diinisiasi oleh empat Kementerian yaitu, Kementerian Kominfo, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Kementerian PANRB, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang digunakan oleh semua instansi saja, lebih sering ngadat dan lambat dalam mengaksesnya yang membuat pengguna lebih suka menggunakan aplikasi lokal daripada aplikasi nasional ini. Terlebih aplikasi srikandi belum bisa mengakses penuh atau terintegrasi dengan aplikasi masing-masing kementerian.
Titik simpul dari ini semua, optimalisasi layanan masyarakat melalui pengembangan aplikasi memang dibutuhkan, tetapi perlu pemahaman bersama dalam merawat dan menyimpan data ini juga perlunya menghilangkan ego sektoral bagi masing-masing instansi. Sistem penyimpanan data yang kuat kemampuan berintegrasi dengan kementerian dan lembaga juga sangat membutuhkan kebersamaan dalam membangun transformasi digital dalam pelayanan masyarakat. Jadi, bagi saya pribadi banyaknya dana yang disedot bagi pengembangan aplikasi itu tidak akan pernah berhenti bila semua kementerian mau diajak duduk bersama, membangun suatu titik yang sama bagi pelayanan masyarakat. Bukan sekedar untuk lomba atau kelengkapan menuju WBK atau WBBM. Kalau tidak, kita hanya sekedar menghabiskan banyak dana Wallahu a'lam
Penulis: Achmad Shampton Masduqi