Pilkada Gaje dan Pemerintahan Daerah Koruptif

16 Juli 2024 | 21.45 WIB Last Updated 2024-07-17T03:33:15Z

 

Oleh ; Zamzami Tanjung (Peneliti Batuta Institute)

Gaje alias ngga jelas! Begitulah kegusaran terhadap proses yang sedang berlangsung. Tak jelas ujung pangkal, tak jelas kemana arah tujuan, bak upacara tak bermakna. Begitu juga halnya Pilkada yang akan digelar, tak ubahnya pilkada gaje. Implikasinya, pilkada mengundang terbentuknya pemerintahan daerah koruptif alias pemerintahan daerah rusak, tidak memperhatikan nilai-nilai ideal, tidak berorientasi pada tujuan dan hanya memuaskan nafsu berkuasa semata.

Kondisi faktual, masyarakat semakin terhimpit secara ekonomi, pilkada tidak memberikan dampak signifikan pada masyarakat dalam jangka panjang. Bahkan kesan yang didapatkan, pilkada hanyalah proses adu gengsi, adu terkenal dan bagi-bagi uang untuk memilih seseorang menjadi kepala daerah.

Hubungan yang terjalin antara calon kepala daerah dengan akar rumput seolah putus ketika seorang calon kepala daerah terpilih. Masyarakat diperlukan hanya untuk sekali lima tahun, tidak lebih dari itu. Setelah itu akan terbentuk jarak terbentang antara masyarakat dengan penguasa daerah. Mulut manis selama masa kampanye yang dikira madu ternyata tidak lebih dari tuba dan racun bagi masyarakat.

Tidak ada peluang kontrol dari masyarakat langsung ke pemerintah daerah. Berharap DPRD melakukan kontrol, nyatanya percuma saja. Karena antara DPRD dan Kepala Daerah akhirnya “bersepakat berdamai” demi mengamankan “sesuatu.” Akhirnya masyarakat ditinggal bak sampan tak berdayung, ombang-ambing diayun gelombang, penuh ketidakpastian. Berharap pada kontrak politik, sama saja dengan tindakan sia-sia, karena kontrak politik hanya bersifat perdata tidak mengikat dalam ranah publik.

Rezim pilkada padahal diharapkan akan mampu menciptakan pemerintahan daerah yang sehat. Kepala daerah yang terpilih diidealkan sebagai sosok figur yang memang diinginkan, mengabdi pada masyarakat dan lebih transenden dari sekedar itu, pemerintahan daerah merupakan harga diri daerah, diantara dominasi pusat Jakarta tempo dulu yang terlalu mencengkram masyarakat di daerah hingga tidak mampu berbuat apa-apa untuk kemajuan daerahnya, semuanya harus selaras dengan Jakarta.

Ide dan gagasan terbentuknya pemerintahan daerah sebagai gagasan brilian pada awalnya yaitu pendelegasian kekuasaan pusat Jakarta dan pelimpahan wewenang pada daerah untuk mengatur dirinya sendiri. Kewenangan pemerintah daerah yang semula besar dengan dasar UU No. 22 tahun 1999 dan kemudian dirapikan dengan UU No. 32 Tahun 2004, secara perlahan dilucuti satu persatu dengan beberapa revisi terhadap UU Pemerintahan Daerah, pemangkasan kewenangan daerah tersebut juga dilakukan dengan beberapa Undang Undang lainnya hingga pemerintahan daerah semakin kerdil sementara dominasi Jakarta secara perlahan kembali menguat.

Dahulu keberadaan pemerintah daerah dengan otonominya, dituduh telah menciptakan raja-raja kecil di daerah, otonomi daerah dituduh juga sebagai pemerataan korupsi ke daerah yang semula korupsi tersebut hanya dilakukan elit-elit pusat. Hal tersebut tentu tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memangkas kewenangan pemerintahan daerah.

Kewajiban yang pantas dipikul adalah penciptaan sistem yang lebih matang di daerah untuk mengatasi dominasi elit-elit tertentu di daerah dan upaya pencegahan terhadap korupsi yang harus disistem di daerah. Mengapa pembentukan pemerintahan daerah tidak diiringi dengan sistem pencegahan dengan membuat lembaga seperti KPK pada tingkat daerah? hal itu bisa menimbulkan spekulasi bahwa semenjak awal pemberian wewenang otonomi ke daerah tidak sungguh-sungguh adanya.

Pemerintahan pusat seharusnya mempertimbangkan hal ini, semakin sempit kewenangan daerah, bisa berimbas pada gejolak di daerah. Bisa menumbuh kembangkan rasa ketidak adilan di daerah dan keutuhan ibu pertiwi bisa saja terancam. Jika sungguh-sungguh dengan ide pemerintahan daerah, maka seperangkat sistem harus diciptakan untuk mengawal ide tersebut, jika terdapat kelemahan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, maka seharusnya diperbaiki menuju kematangan pemerintahan daerah itu sendiri.

Sebelum kematangan daerah secara regulasi dicapai, lalu lahirlah Undang Undang Desa yang melampaui daerah-daerah. Kondisinya lebih parah lagi, korupsi telah terjadi di desa dengan melibatkan aparat desa. Dengan carut marutnya pengelolaan desa dengan kelengkapan anggaran yang melimpah, bisa saja diprediksi, bahwa kewenangan desa tersebut suatu waktu akan ditarik kembali atau dipangkas dengan alasan ketidak siapan desa menjalankan otonomi desa dan banyaknya terjadi kasus korupsi.

Balik lagi pada pembahasan, dengan pemangkasan kewenangan daerah tersebut telah pula menjadikan pilkada yang digelar untuk menentukan kepala daerah menjadi semakin tidak jelas. Apa yang melandasi seseorang berambisi untuk menjadi kepala daerah di tengah kewenangannya yang semakin hari semakin sempit. Imbas persempitan kewenangan juga sejalan dengan penurunan jumlah anggaran yang diturunkan dari pusat kekuasaan ke daerah.

Perebutan anggaran oleh elit-elit di daerah untuk dijadikan objek kerjaan semakin sengit. Sebagaimana hukum pasar, tambah banyak anggaran, maka tambah banyak proyek. Sedikit anggaran, berimbas makin sedikit proyek kerja. Satu balok gula diperebutkan oleh banyak semut, itulah yang akan terjadi. Jangan terlalu berharap  pada Pilkada, toh pada akhirnya pemerintahan daerah yang lahir dari pilkada menjelma jadi pemerintahan daerah yang koruptif.

Mungkin muncul pertanyaan, mengapa tulisan ini dibuat sedemikian skeptif dan pesimisnya terhadap pilkada dan pemerintahan daerah?

Kondisi riil yang berada di tengah masyarakat sudah pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Beban hidup semakin hari semakin menumpuk. Seorang wanita pendamping Karoke di Palembang membacok rekan seprofesinya, gegara memperebutkan langganan. Pada kejadian lainnya, seorang kakek tua renta masih menarik gerobaknya diumurnya yang sudah senja dan tidak pantas lagi untuk bekerja. Berkisah seorang teman, bahwa dia merelakan istrinya kerja keluar daerah karena beban keluarga semakin hari semakin tinggi, sementara pendapatan sang suami hanya segitu-segitu saja. Sebegitu sulitkah mencari uang? Sebegitu sulitkan memenuhi kebutuhan? Jangankan untuk kesehatan dan pendidikan, untuk memenuhi perut saja banyak masyarakat kita yang masih linglung.

“Ah…, seharusnya mereka kerja, cuma orang pemalas yang hidupnya seperti itu…” Mungkin pembaca budiman pernah mendengar ungkapan seperti itu. Maka seharusnya terhadap ungkapan tersebut diberi balik tanya, “lalu untuk apa adanya pemerintah daerah kalau seandainya tidak mampu mensejahterakan masyarakat? dan apa gunanya pilkada jika hanya sekedar mengantarkan seseorang pada tampuk kekuasaan di daerah?”

Rekomendasi solutif, diperlukan calon pemimpin kepala daerah yang bermoral dan punya pikiran. Kampus dan Masyarakat sipil di daerah seharusnya ada yang berposisi netral, tidak terlibat pada arus dukung-mendukung dalam kontestasi pilkada. Pada kampus dan masyarakat sipil inilah ditompangkan harapan untuk mengawal pilkada. Merancang standar etik dan standar kinerja untuk calon kepala daerah. Bersikap kritis terhadap calon lalu menyuarakan kritik agar diketahui oleh semua masyarakat daerah sebagai calon pemilih.

Tidak sampai disitu, Kampus dan Masyarakat sipil di daerah juga harus mampu mengawal Pemerintahan Daerah agar tidak berlaku koruptif. Setiap gerak-gerik pemerintah daerah selalu diawasi, kritik dan saran harus diperdengarkan, parlemen jalanan digelar jika kritik tak diindahkan. 

Berharap ke DPRD untuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerah? Hmmm… kenapa kita pesimis pada DPRD? 

Memang gaje!

Wallahu al-muwaffiq ila aqwami at-thariq.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pilkada Gaje dan Pemerintahan Daerah Koruptif

Trending Now