Oleh ; Zamzami Tanjung (Peneliti Batuta Institute)
Gaje alias ngga jelas! Begitulah kegusaran terhadap proses yang sedang berlangsung. Tak jelas ujung pangkal, tak jelas kemana arah tujuan, bak upacara tak bermakna. Begitu juga halnya Pilkada yang akan digelar, tak ubahnya pilkada gaje. Implikasinya, pilkada mengundang terbentuknya pemerintahan daerah koruptif alias pemerintahan daerah rusak, tidak memperhatikan nilai-nilai ideal, tidak berorientasi pada tujuan dan hanya memuaskan nafsu berkuasa semata.
Kondisi faktual, masyarakat semakin terhimpit secara
ekonomi, pilkada tidak memberikan dampak signifikan pada masyarakat dalam
jangka panjang. Bahkan kesan yang didapatkan, pilkada hanyalah proses adu
gengsi, adu terkenal dan bagi-bagi uang untuk memilih seseorang menjadi kepala
daerah.
Hubungan yang terjalin antara calon kepala daerah
dengan akar rumput seolah putus ketika seorang calon kepala daerah terpilih. Masyarakat
diperlukan hanya untuk sekali lima tahun, tidak lebih dari itu. Setelah itu
akan terbentuk jarak terbentang antara masyarakat dengan penguasa daerah. Mulut
manis selama masa kampanye yang dikira madu ternyata tidak lebih dari tuba dan
racun bagi masyarakat.
Tidak ada peluang kontrol dari masyarakat langsung ke
pemerintah daerah. Berharap DPRD melakukan kontrol, nyatanya percuma saja.
Karena antara DPRD dan Kepala Daerah akhirnya “bersepakat berdamai” demi
mengamankan “sesuatu.” Akhirnya masyarakat ditinggal bak sampan tak berdayung,
ombang-ambing diayun gelombang, penuh ketidakpastian. Berharap pada kontrak
politik, sama saja dengan tindakan sia-sia, karena kontrak politik hanya
bersifat perdata tidak mengikat dalam ranah publik.
Rezim pilkada padahal diharapkan akan mampu menciptakan
pemerintahan daerah yang sehat. Kepala daerah yang terpilih diidealkan sebagai
sosok figur yang memang diinginkan, mengabdi pada masyarakat dan lebih
transenden dari sekedar itu, pemerintahan daerah merupakan harga diri daerah,
diantara dominasi pusat Jakarta tempo dulu yang terlalu mencengkram masyarakat
di daerah hingga tidak mampu berbuat apa-apa untuk kemajuan daerahnya, semuanya
harus selaras dengan Jakarta.
Ide dan gagasan terbentuknya pemerintahan daerah
sebagai gagasan brilian pada awalnya yaitu pendelegasian kekuasaan pusat
Jakarta dan pelimpahan wewenang pada daerah untuk mengatur dirinya sendiri.
Kewenangan pemerintah daerah yang semula besar dengan dasar UU No. 22 tahun
1999 dan kemudian dirapikan dengan UU No. 32 Tahun 2004, secara perlahan dilucuti
satu persatu dengan beberapa revisi terhadap UU Pemerintahan Daerah,
pemangkasan kewenangan daerah tersebut juga dilakukan dengan beberapa Undang
Undang lainnya hingga pemerintahan daerah semakin kerdil sementara dominasi
Jakarta secara perlahan kembali menguat.
Dahulu keberadaan pemerintah daerah dengan otonominya,
dituduh telah menciptakan raja-raja kecil di daerah, otonomi daerah dituduh
juga sebagai pemerataan korupsi ke daerah yang semula korupsi tersebut hanya
dilakukan elit-elit pusat. Hal tersebut tentu tidak bisa dijadikan sebagai
alasan untuk memangkas kewenangan pemerintahan daerah.
Kewajiban yang pantas dipikul adalah penciptaan sistem yang lebih matang di daerah untuk mengatasi dominasi elit-elit tertentu di daerah dan upaya pencegahan terhadap korupsi yang harus disistem di daerah. Mengapa pembentukan pemerintahan daerah tidak diiringi dengan sistem pencegahan dengan membuat lembaga seperti KPK pada tingkat daerah? hal itu bisa menimbulkan spekulasi bahwa semenjak awal pemberian wewenang otonomi ke daerah tidak sungguh-sungguh adanya.
Pemerintahan pusat seharusnya mempertimbangkan hal
ini, semakin sempit kewenangan daerah, bisa berimbas pada gejolak di daerah.
Bisa menumbuh kembangkan rasa ketidak adilan di daerah dan keutuhan ibu pertiwi
bisa saja terancam. Jika sungguh-sungguh dengan ide pemerintahan daerah, maka
seperangkat sistem harus diciptakan untuk mengawal ide tersebut, jika terdapat
kelemahan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, maka seharusnya diperbaiki
menuju kematangan pemerintahan daerah itu sendiri.
Sebelum kematangan daerah secara regulasi dicapai,
lalu lahirlah Undang Undang Desa yang melampaui daerah-daerah. Kondisinya lebih
parah lagi, korupsi telah terjadi di desa dengan melibatkan aparat desa. Dengan
carut marutnya pengelolaan desa dengan kelengkapan anggaran yang melimpah, bisa
saja diprediksi, bahwa kewenangan desa tersebut suatu waktu akan ditarik
kembali atau dipangkas dengan alasan ketidak siapan desa menjalankan otonomi
desa dan banyaknya terjadi kasus korupsi.
Balik lagi pada pembahasan, dengan pemangkasan
kewenangan daerah tersebut telah pula menjadikan pilkada yang digelar untuk
menentukan kepala daerah menjadi semakin tidak jelas. Apa yang melandasi
seseorang berambisi untuk menjadi kepala daerah di tengah kewenangannya yang
semakin hari semakin sempit. Imbas persempitan kewenangan juga sejalan dengan
penurunan jumlah anggaran yang diturunkan dari pusat kekuasaan ke daerah.
Perebutan anggaran oleh elit-elit di daerah untuk
dijadikan objek kerjaan semakin sengit. Sebagaimana hukum pasar, tambah banyak
anggaran, maka tambah banyak proyek. Sedikit anggaran, berimbas makin sedikit
proyek kerja. Satu balok gula diperebutkan oleh banyak semut, itulah yang akan
terjadi. Jangan terlalu berharap pada Pilkada,
toh pada akhirnya pemerintahan daerah yang lahir dari pilkada menjelma jadi pemerintahan
daerah yang koruptif.
Mungkin muncul pertanyaan, mengapa tulisan ini dibuat
sedemikian skeptif dan pesimisnya terhadap pilkada dan pemerintahan daerah?
Kondisi riil yang berada di tengah masyarakat sudah
pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Beban hidup semakin hari semakin
menumpuk. Seorang wanita pendamping Karoke di Palembang membacok rekan
seprofesinya, gegara memperebutkan langganan. Pada kejadian lainnya, seorang kakek
tua renta masih menarik gerobaknya diumurnya yang sudah senja dan tidak pantas
lagi untuk bekerja. Berkisah seorang teman, bahwa dia merelakan istrinya kerja
keluar daerah karena beban keluarga semakin hari semakin tinggi, sementara
pendapatan sang suami hanya segitu-segitu saja. Sebegitu sulitkah mencari uang?
Sebegitu sulitkan memenuhi kebutuhan? Jangankan untuk kesehatan dan pendidikan,
untuk memenuhi perut saja banyak masyarakat kita yang masih linglung.
“Ah…, seharusnya mereka kerja, cuma orang pemalas yang
hidupnya seperti itu…” Mungkin pembaca budiman pernah mendengar ungkapan
seperti itu. Maka seharusnya terhadap ungkapan tersebut diberi balik tanya, “lalu
untuk apa adanya pemerintah daerah kalau seandainya tidak mampu mensejahterakan
masyarakat? dan apa gunanya pilkada jika hanya sekedar mengantarkan seseorang
pada tampuk kekuasaan di daerah?”
Rekomendasi solutif, diperlukan
calon pemimpin kepala daerah yang bermoral dan punya pikiran. Kampus dan Masyarakat
sipil di daerah seharusnya ada yang berposisi netral, tidak terlibat pada
arus dukung-mendukung dalam kontestasi pilkada. Pada kampus dan masyarakat
sipil inilah ditompangkan harapan untuk mengawal pilkada. Merancang standar
etik dan standar kinerja untuk calon kepala daerah. Bersikap kritis terhadap
calon lalu menyuarakan kritik agar diketahui oleh semua masyarakat daerah sebagai
calon pemilih.
Tidak sampai disitu, Kampus dan Masyarakat sipil di daerah juga harus mampu mengawal Pemerintahan Daerah agar tidak berlaku koruptif. Setiap gerak-gerik pemerintah daerah selalu diawasi, kritik dan saran harus diperdengarkan, parlemen jalanan digelar jika kritik tak diindahkan.
Berharap ke DPRD untuk mengawasi jalannya pemerintahan
di daerah? Hmmm… kenapa kita pesimis pada DPRD?
Memang gaje!
Wallahu al-muwaffiq ila aqwami at-thariq.