Pilkada merupakan sarana demokratis untuk menentukan pimpinan daerah dalam ranah pemerintahan eksekutif. Maju mundurnya sebuah daerah tergantung pada siapa yang ditentukan oleh rakyat untuk dipilih jadi kepala daerah. Diperlukan kepala daerah berpikiran untuk menjalankan proses demokrasi pikiran.
Walau belum memasuki tahapan yang sesungguhnya, kontestasi
pilkada terasa telah dimulai. Lobi-lobi politik mulai dari tingkat pusat,
daerah bahkan hingga tingkat kampung telah dirasakan. Aura persaingan untuk
memperebutkan kursi kepala daerah sudah mulai menghangat.
Idealnya, yang akan dinilai masyarakat dari calon kepala daerah ini adalah pikiran. Seorang yang
akan maju menjadi calon kepala daerah haruslah seseorang yang mempunyai
serangkaian ide dan program untuk memajukan sebuah daerah. Serangkaian ide dan
program tersebut tentu harus didasari pada analisis lapangan terhadap kondisi
nyata yang sedang berlangsung di daerahnya.
Ide dan program seharusnya dipaparkan oleh calon
kepala daerah kepada masyarakat. Hingga masyarakat tahu apa yang menjadi
landasan bagi seseorang berambisi menjadi kepala daerah. Jika kemudian mereka
terpilih, masyarakat juga sudah mengetahui apa yang menjadi prioritas kerja dari
kepala daerah berdasarkan pikiran yang telah disampaikan pada masa kampanye. Dengan
mengetahui dan menilai pikiran bakal calon kepala daerah, maka masyarakat punya
landasan untuk menuntut agar pikiran tersebut dijalankan.
Tapi kenyataannya, dalam kontestasi menuju proses
pilkada yang diamati sejauh ini, tidak terdapat banyak bakal calon kepala
daerah yang mengusung pikiran. Justru yang sedang berlangsung dan diamati oleh
masyarakat adalah konsilidasi serta berserakannya atribut profil seseorang yang
diduga akan maju sebagai kepala daerah di ruang-ruang publik.
Proses demikian akan mengurung masyarakat daerah untuk
menjalani demokrasi populer. Hal itu berarti, siapa yang lebih banyak dikenal
oleh masyarakat, maka dia dapat dipastikan akan terpilih. Sementara mengenai
apa yang menjadi buah pikir dari bakal calon tersebut tidak banyak diketahui. Pertarungan
yang terjadi adalah pertarungan popularitas.
Sementara kebutuhan daerah untuk dipimpin oleh kepala
daerah yang berpikir sudah menjadi suatu keharusan. Sudah pasti banyak
persoalan-persoalan daerah yang harus dipecahkan, mulai dari kemiskinan, masalah
pendidikan dan kesehatan. Seharusnya seorang kepala daerah yang terpilih menjadi
lokomotif perubahan terhadap kondisi di daerahnya, merubah kearah yang lebih
baik.
Belum tentu seorang yang telah mempunyai seabrek
pengalaman pada pemerintahan atau bahkan petahana kepala daerah disebut
mempunyai pikiran mengenai kemajuan daerahnya. Karena kenyataan yang ditemukan,
seseorang yang telah terpilih menjadi kepala daerah hanya menjalankan rutinitas
pemerintahan seperti biasanya. Banyak calon yang terpilih tersebut tidak menampilkan
performa yang luar biasa ketika sudah menjabat. Dengan demikian, menjalankan demokrasi
populer, sama saja mempertaruhkan nasib masyarakat ke arah yang tidak jelas.
Pilihan yang lebih baik adalah menjalankan demokrasi
pikiran. Bahwa yang seharusnya bertarung itu adalah pikiran. Masyarakat sebagai
calon pemilih di daerah seharusnya sadar mengenai hal tersebut. Bahwa seluruh
calon kepala daerah dituntut untuk mengajukan pikirannya ke masyarakat mengenai
apa langkah kongrit dari calon kepala daerah jika nanti terpilih.
Lupakan visi misi atau bahkan slogan politik, pada
pengalaman pilkada sebelumnya, kebanyakan visi misi dan slogan tersebut
hanyalah pemanis kata dan indah untuk dibaca. Terkadang Visi misi tersebut
hanya rekaan dan isi kepala dari tim sukses calon, bukan berasal dari calon itu
sendiri.
Tanggung jawab moral untuk menjalankan demokrasi
pikiran dengan menolak demokrasi populer tersebut seharusnya dibebankan pada elit
politik di daerah, termasuk di dalamnya calon kepala daerah itu sendiri. Perilaku
sosialisasi dari calon kepala daerah secara sadar atau tidak sadar telah
memberikan pelajaran kepada masyarakat. Jika calon kepala daerah tersebut
memberikan pikiran dan berusaha menjernihkan pikiran masyarakat, maka calon
tersebut telah menjadi pendidik politik dan pendidik demokrasi yang mulia. Dengan
demikian sejarah akan tercipta, namanya akan disebut dikemudian hari, mereka
memang patut dikenang.
Tanggung jawab moral dari para politisi juga diperlukan
untuk mengarahkan laju proses pilkada yang berpikiran. Menyalahkan masyarakat
sepenuhnya mengenai keterpilihan seseorang dalam kontetasi pilkada dirasa
kurang arif dan bijak dalam menyimpulkan. Seorang politis adalah pemegang kartu
permainan politik, hingga setiap kartu politik yang dikeluarkan bisa membawa
dampak kepada hasil politik. Politisi bisa memberikan saran dan masukan kepada
calon kepala daerah dan juga masyarakat untuk menjalankan demokrasi pikiran. Karena
bagaimanapun juga, politisi mempunyai kendaraan berupa partai politik, tekanan
kepada calon kepala daerah untuk menjalankan demokrasi pikiran dapat dilakukan
melalui partai politik.
Sementara itu KPU di daerah sebagai penyelenggara
pilkada seharusnya memberikan peluang bagi terwujudnya demokrasi pikiran
tersebut. Pola debat pilkada yang dirancang hanya untuk beberapa kali
pertemuan, dirasa kurang efektif untuk menyampaikan pikiran calon kepala daerah
ke masyarakat. Karena debat pilkada tersebut akan berakhir pada debat kusir yang
tidak jelas dan hanya menampilkan ego calon kepala daerah. Debat calon kepala daerah
tersebut menghasilkan pemenang debat tanpa tahu apa esensi dari pikiran yang
sedang diperdebatkan.
Pikiran-pikiran calon kepala daerah tersebut
seharusnya diuji dan dikontestasikan dalam forum-forum akademis, forum praktisi,
forum organisasi masyarakat melalui pola dialog dua arah antara masyarakat
dengan calon kepala daerah. Dialog-dialog semacam itu diperlukan sebagai sarana
pendalaman pikiran calon kepala daerah. Ditengah kemajuan media informasi
seperti sekarang, dialog tersebut mampu menembus sekat tempat dan ruang hingga
diharapkan mampu didengar oleh masyarakat luas.
Maka KPU seharusnya memfasilitasi dialog-dialog
tersebut. Alasan regulasi, tidak bisa dibenarkan untuk tidak menyertakan peran
serta masyarakat dalam dialog-dialog pilkada tersebut. Karena dalam hukum
administrasi juga mengatur mengenai kebijakan. Selama kebijakan tersebut
menghasilkan sesuatu yang baik, maka kebijakan tersebut tidak bisa disalahkan. Regulasi
hanyalah penentu arah, Moral lebih tinggi dari sekedar aturan.
Penutup kata, manusia itu adalah makhluk yang
berpikiran. Manusia boleh mati, tapi pikiran akan tetap abadi. Kumpulan manusia
yang berpikiran pasti akan melahirkan pikiran. Sistem demokrasi yang berpikiran
pasti menghasilkan wujud pikiran, dan demokrasi tanpa pikiran adalah demokrasi mengerikan.
Wallahu Muwafiq ila Aqwami At-Thariq.