Pilar Taubat di Masjid Nabawi, monumen sejarah pertaubatan Abu Lubabah, mengingatkan kita akan luasnya ampunan Allah dan kasih Rasulullah yang tak terbatas
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Setiap sudut Masjid Nabawi adalah saksi bisu sejarah Islam dan perjuangan Rasulullah dalam menegakkan agama Allah. Tiang-tiang yang tegak menopang atap Masjid Nabawi juga meninggalkan sejarah penting. Setidaknya ada enam tiang yang menjadi penanda sejarah perjuangan Rasulullah. Salah satu dari tiang itu adalah usthuwanah at-taubah, yang merupakan tiang keempat dari mimbar, kedua dari rumah Rasulullah, dan ketiga dari arah kiblat.
Tiang ini adalah penanda kesungguhan seorang Abu Lubabah dalam melakukan pertaubatan atas kesalahan yang ia lakukan. Abu Lubabah, nama kun-yah dari Rifa’ah bin Abdul Mundzir, dilahirkan di Madinah yang dulunya bernama Yatsrib. Abu Lubabah adalah salah satu sahabat Nabi yang turut serta menegakkan agama Islam. Ia mempersembahkan diri dan nyawanya untuk menegakkan kebenaran di jalan Allah.
Abu Lubabah adalah sosok yang dipercaya Rasulullah untuk memimpin kota Madinah saat terjadi perang Badar. Seperti catatan sebelumnya, jarak antara Badar, tempat terjadinya perang yang sangat dahsyat di mana 314 orang Muslim melawan 1.000 orang pasukan kafir Quraisy, dan Madinah adalah sekitar 130 kilometer. Jarak tempuh yang sangat jauh ini membuat Rasulullah menahan Abu Lubabah untuk tidak ikut berperang ke Badar tetapi untuk sementara memimpin kota Madinah selama Rasulullah di Badar. Tugas ini dijalankan Abu Lubabah dengan baik.
Saat perang Bani Quraidlah, Abu Lubabah terlibat dalam pasukan Muslim dan ia yang diminta untuk berunding dengan kaum Yahudi Bani Quraidlah setelah pengepungan selama 25 hari. Abu Lubabah yang pada awalnya diminta menjelaskan Islam yang santun dan ramah, saat orang-orang Yahudi Bani Quraidlah bertanya kepadanya, “Hai Abu Lubabah, bagaimana pendapatmu kalau kami tunduk kepada hukum Muhammad?” Abu Lubabah menjawab, “Ya”. Abu Lubabah berkata seperti itu sambil memberi isyarat dengan tangan ke tenggorokannya, yang artinya siap-siaplah kalian mati.
Isyarat ini membuat seolah Islam adalah agama yang keras dan tidak mungkin memaafkan musuh. Abu Lubabah yang sebenarnya baik kemudian menyadari bahwa apa yang ia lakukan adalah kesalahan. Ia pun berusaha bertaubat dengan mengikatkan diri di tiang yang sekarang dikenal dengan tiang taubat di Masjid Nabawi. Ia bersumpah tidak akan melepaskan ikatan sebelum taubatnya diterima oleh Allah. Dalam buku Shirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam mengatakan, “Abu Lubabah mengikat diri pada tiang masjid selama enam hari. Pada masa itu, istrinya datang di setiap waktu shalat untuk melepaskan ikatan agar ia bisa mengerjakan shalat. Usai shalat, ia kembali mengikat diri”. Hingga kemudian taubatnya diterima oleh Allah. Abu Lubabah tidak merasa lengkap taubatnya bila bukan Rasulullah yang melepaskan ikatannya. Setelah ikatan dilepaskan, ia pun ingin mendermakan semua hartanya dan pergi dari Madinah untuk menyempurnakan taubatnya. Rasulullah hanya mengizinkan satu pertiga derma dan melarang Abu Lubabah pergi dari Madinah.
Pilar taubat ini merupakan tonggak sejarah yang menunjukkan kesungguhan seorang sahabat dalam menjalani pertaubatan dan bagaimana Allah menerima pertaubatan itu sebagai bentuk sifat Ghafurnya Allah. Termasuk ketulusan seorang Rasulullah yang membuka tali pengikat Abu Lubabah sebagaimana yang Abu Lubabah inginkan.
Pilar taubat ini mungkin tidak akan memberi manfaat langsung kepada kita yang berkunjung ke Masjid Nabawi, tetapi setidaknya setiap kali kita memandang pilar taubat ini, kita termotivasi untuk membangun pertaubatan diri atas segala salah yang pernah kita lakukan dengan kesungguhan hati. Abu Lubabah mengikatkan dirinya demi pertaubatan tanpa peduli sengatan terik matahari. Pilar taubat ini juga harus menyadarkan kita untuk terus berhusnudzan kepada Allah, betapa ampunan Allah Maha Luas dan kasih Rasulullah pada umatnya tak terbatas. Pilar taubat harus memotivasi kita untuk menumbuhkan rasa cinta kita pada Allah dan Rasul-Nya dengan terus menambah nilai ibadah dan ketertundukan kita pada Allah. Membuang ego dan memburu ridlo-Nya. Wallahu A’lam.