Nabi Muhammad Merantau
Dari Makkah ke Yastrib
Catatan: HM Yousri Nur Raja Agam
Hari bersejarah untuk menentukan awal tahun baru Islam, tepatnya pada 1446 tahun silam, ternyata cukup unik. Betapa tidak, karena tahun baru yang ditetapkan di tahun 622 Masehi itu dasarnya dikaitkan dengan suatu peristiwa yang tidak lazim.
Peristiwa yang boleh disebut sebagai bencana. Suatu bahaya yang menimpa Pemimpin Umat Islam, Muhammad Salallahu 'Alaihi Wassalam. Ketika itu, Nabi Muhammad dalam ancaman bahaya maut, sehingga demi keamanan dan menghindari petaka yang bakal dialaminya, Nabi Muhammad menyingkir secara diam-diam ke daerah aman.
Nabi Muhammad pergi meninggalkan kampung halamannya, Kota Makkah, bersama beberapa orang sahabatnya. Muhammad pergi “merantau” menuju ke Kota Yastrib, kota yang terletak 320 kilometer (200 mil) arah utara Makkah. Keberangkatan Muhammad pindah untuk merantau itulah yang disebut "Hijrah" atau "Hijriah".
Kendati tidak lazim, namun peristiwa itu yang dijadikan sebagai perhitungan Kalender Hijriah. Kesepakatan itu terjadi pada zaman kekhalifahan Umar bin Khatab dan digagas oleh Ali bin Abi Thalib pada 17 tahun kemudian, yaitu pada tahun 639 Masehi
Hijrah, bisa juga bermakna pindah domisili atau merantau. Konon di tahun 622 Masehi itu, diperoleh informasi adanya skenario pembunuhan terhadap Nabi Muhammad oleh kaum kafir Quraisy. Untuk menghindari pertumpahan darah antara sesama warga wilayah Kota Makkah, maka secara diam-diam Nabi Muhammad bersama Abu Bakar pergi meninggalkan Kota Makkah dan menuju Kota Yastrib.
Setelah Nabi Muhammad menetap di Kota Yastrib, nama kota itu disebut Madinat an-Nabi, yang berarti “kota Nabi”. Namun, kata “an-Nabi” nya dihilangkan, sehingga menjadi "Madinah".
Hijrah bisa diterjemahkan: pindah, berpindah, migrasi, transmigrasi dan merantau. Semuanya bisa digunakan karena hijrah memang artinya pindah atau berpindah.
Perpindahan domisili bukan hanya dikarenakan faktor keamanan saja. Bisa juga karena masalah ekonomi, politik, sosial dan pendidikan. Jadi ada keinginan pindah atas kemauan sendiri, juga akibat keadaan, maupun ketentuan pemerintah.
Tidak Harus Fisik
Jenis pindah itu juga tidak harus fisik. Bisa saja sifat, sikap atau perasaan yang positif. Misalnya perpindahan sikap dari yang buruk ke yang baik.
Begitu pula makna hijrah, bisa karena budaya, seperti masyarakat tempo dulu. Berpindah-pindah, karena daerah yang ditempati semakin kekurangan sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk kehidupan.
Ada kalanya untuk melaksanakan profesi sebagai pedagang, seperti para pedagang zaman dulu. Mereka meninggalkan tanah airnya dan meninggalkan daerah asal. Kemudian berkembang mencari ilmu di tempat lain, karena di daerahnya belum terdapat lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Perpindahan domisili dengan membuka tempat usaha yang jauh dari daerah asal. Mencari lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Menjadi pendakwah atau penyebar agama, serta profesi lainnya. Kebiasaan atau budaya seperti ini dikenal sejak zaman dahulu dengan merantau.
Selain dari itu, ada pula perpindahan bukan karena kehendak sendiri, tetapi karena program pemerintah untuk pemerataan penduduk. Pindah dari daerah padat penduduk ke daerah yang lengang, seperti transmigrasi. Perpindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa. Bahkan, di zaman Belanda ada kolonisasi massa, seperti perpindahan orang Jawa sampai ke Suriname.
Sudah lama Bangsa Indonesia membudayakan pindah-pindah ini. Suku Minangkabau, Melayu, Batak, Batak, Bugis dan Madura sudah tidak asing dengan tradisi merantau, sedangkan bagi masyarakat di Pulau Jawa sudah mengenal dan bahkan menjadi obyek transmigrasi.
Antara merantau dengan transmigrasi, terdapat persamaannya, yaitu pindah tempat tinggal. Namun, terdapat juga perbedaannya, yaitu istilah merantau lebih banyak atas dorongan pribadi dan keluarga, sedangkan transmigrasi menjadi program pemerintah yang berkuasa.
Orang Minangkabau, Batak, Bugis dan Madura umumnya, merantau sebagai budaya. Apalagi bagi masyarakat Minang, anak muda seolah-olah terpaksa merantau. Bahkan merantau merupakan keharusan. Orang yang tidak merantau dianggap bagaikan “katak di bawah tempurung”.
Seorang pemuda yang tidak mau merantau, dianggap tidak mampu mengenal dunia lain. Ada vonis tidak resmi bagi yang belum pernah merantau, yaitu dianggap ilmunya masih kurang dan sangat terbatas.
Lain lagi dengan budaya Jawa yang menyebut: "mangan ora mangan pokoke ngumpul". Artinya: “makan tidak makan pokoknya berkumpul”. Namun tradisi ini tidak berlaku lagi, sudah dilindas zaman. Artinya, selain dipindahkan dengan program transmigrasi, perantau asal Jawa ada di mana-mana. Bahkan karena kebiasaan berkumpul itu, hampir di kota-kota lama ada kampung Jawa.
Karena hijrah itu dianggap sama dengan perpindahan domisili dari yang kurang aman ke tempat aman atau dari daerah yang miskin ke tempat yang layak, dan sebagainya, maka dengan merantau, seseorang dapat berbakti untuk kampung halamannya atau asalnya. Tidak sedikit dari berbagai daerah, pembangunan di desa tempat asalnya dibiayai oleh para perantau yang sukses.
Menjadi Tahun Baru Suro
Tahun baru hijriah juga dikaitkan dengan Asyura, sebab di bulan Muharam awal Tahun Hijriah, ada Hari Asyura. Masyarakat Jawa menyebut Bulan Syura, dibaca Syuro. Asyura dalam bahasa Arab, artinya kesepuluh atau hari ke-10 pada bulan Muharram pada Kalender Hijriah.
Hari Asyura ini menjadi terkenal bagi kalangan Syi’ah dan sebagian Sufi. Mereka menjadikan Asyura sebagai hari berkabung atas kesyahidan Husain bin Ali, cucu dari Nabi Muhammad, pada Pertempuran Karbala tahun 61 H (680 M).
Plesetan Nama Bulan
Pada tanggal 10 Muharam, di zaman Rasulullah disebut Hari Asyura. Masyarakat Suku Jawa menyesuaikan penanggalan dengan Tahun Saka, sehingga awal tahun hijriah itu diidentikkan dengan awal bulan atau tahun “Syura” — dibaca “Syuro” atau Suro.
Tahun Suro dalam kalender Jawa-Islam dicetuskan oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam. Tetapi, Sultan Agung tidak serta merta menggunakan penanggalan Hijriah. Ia memadukannya dengan sistem kalender tarikh Saka yang saat itu masih digunakan.
Sistem kalender Jawa tersebut dihitung berdasarkan penggabungan kalender lunar (Islam), kalender matahari (masehi), dan Hindu (Saka).
Atas pertimbangan pragmatis, politik dan sosial, penanggalan Jawa memiliki dua sistem perhitungan yaitu mingguan (7 harian) dan pasaran (5 harian). Sistem mingguan, adalah: Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Sedangkan sistem pasaran (5 harian) yakni: Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing.
Kalau dalam Kalender Hijriah, nama-nama bulannya adalah: Muharram, Syafar, Rabiul awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Zulkaidah dan Dzulhijjah.
Namun dalam penanggalan Syuro diubah menjadi: Suro atau Besar, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela dan Besar.
Jadi tahun Syuro ada plesetan nama bulan. Bulan Muharram menjadi Syuro, karena ada peristiwa Asyura (peristiwa besar di hari kesepuluh). Syafar menjadi Sapar, karena dialeg Jawa huruf F dibaca P. Berikutnya Rabiul Awal diganti Mulud, karena pada bulan ini ada hari Maulud Nabi tepatnya pada tanggal 12 atau kelahiran Nabi Muhammad yang disebut Maulud, diubah menjadi Mulud.
Selanjutnya, bulan Rabiul Akhir disebut Bakda Mulud. Bakda atau Ba’da (sesudah) Maulud. Jumadil Awal dan Jumadil Akhir jadi Jumadil Akir. Tetapi, lidah Jawa sulit membaca huruf KH, sehingga Akhir menjadi Akir. Rajab menjadi Rejeb. Sya’ban menjadi Ruwah. Ramadhan disebut Pasa, plesetan dari Puasa. Karena bulan Ramadhan adalah bulan puasa. Syawal menjadi Sawal.
Kemudian bulan Dzulkaidah disebut Sela. Artinya bulan yang menyela (Sela) di antara dua Bulan Ied (Hari Raya), Idulfitri di bulan Syawal dan Iedul Adha di bulan Haji (Dzulhijjah). Terakhir bulan Dzulhijjah atau bulan Haji dinamai bulan Besar.
Selamat Tahun Baru Hijrah, 1 Muharam 1446 H. Begitu pula Selamat Tahun Baru Suro 1958. Semoga di tahun ini, kita mendapat limpahan rahmat dan nikmat dari Allah SWT. Aamin ya rabbal ‘alamin.
_*) HM Yousri Nur Raja Agam_
_Pemimpin Redaksi JatimSatuNews_