ads H Makhrus

 

Pasang iklan disini

 


Kalau Sudah Pamit Dilarang Tidur di Kamar?

Admin JSN
26 Juni 2024 | 21.02 WIB Last Updated 2024-06-27T12:25:19Z

 

Jamaah haji bertanya mengenai waktu pelaksanaan thawaf wada' dan apakah setelahnya tidak boleh kembali ke kamar hotel

SURABAYA | JATIMSATUNEWS.COM - Setelah mengikuti pembacaan Maulid Diba' oleh Kyai M. Yazid Busthomi, seorang jamaah mendekati saya dan bertanya kapan dia bisa melakukan thawaf wada'. Dia juga bertanya apakah benar setelah melakukan thawaf wada' tidak boleh tidur di hotel lagi dan hanya boleh menunggu di lobi hotel. 

Baca juga: 

 https://www.jatimsatunews.com/2024/06/tidak-ikut-penjaringan-ra-mahfud-resmi.html

Sekretaris Sektor 9 bercerita bahwa dia pernah menemui seorang jamaah yang ketinggalan bus karena prinsip yang dia pegang, yaitu antara thawaf wada' dan meninggalkan Makkah harus dalam jangka waktu empat jam. Akibat jadwal bus yang molor lebih dari empat jam setelah thawaf wada', jamaah tersebut kembali ke Masjidil Haram untuk thawaf wada' lagi. Namun, karena hari itu adalah Jumat, ia kesulitan kembali ke hotel dan akhirnya ketinggalan bus menuju Jeddah untuk kembali ke Indonesia.

Kebetulan, di samping saya ada Kyai Anas dari Pasuruan, anggota Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur. Saya sampaikan kepada jamaah tersebut bahwa prosesi thawaf wada' saat ini tidak bisa persis seperti zaman Rasulullah SAW yang langsung meninggalkan Makkah setelah thawaf. Saya menjelaskan, "Asalkan Anda tidak kembali lagi ke Masjidil Haram dan tidak terlalu lama di Makkah setelah thawaf wada', itu sudah beres." 

Jamaah tersebut kemudian menceritakan bahwa ia mendapat pemberitahuan dari seorang Kyai bahwa setelah thawaf wada' tidak boleh kembali ke hotel atau masuk kamar lagi. Saya jelaskan bahwa jika ingin mengikuti persis seperti Rasulullah SAW, setelah thawaf wada' langsung pergi dari Makkah. Tentu praktik seperti itu saat ini sangat sulit karena berkaitan dengan sistem transportasi dan penerbangan yang terjadwal.

Kyai Anas juga mempertanyakan penentuan waktu maksimal empat jam setelah thawaf wada' itu didasarkan pada apa? Tentu saja jamaah tersebut tidak bisa menjawab. Karena "katanya" itu susah dicari dalil penguatnya.

Makna thawaf wada' sendiri adalah perpisahan atau berpamitan. Dalam ketentuan fikih, jamaah haji diperintahkan melakukan thawaf wada' ketika mereka hendak pulang ke tanah air atau ketika mereka hendak keluar dari Tanah Haram. Thawaf wada' menjadi momen perpisahan atau berpamitan dengan Baitullah di Masjidil Haram, sebagai penanda bahwa jamaah akan pulang dan selesai menyempurnakan ibadah haji.

Thawaf wada' sendiri ada yang menyatakan hukumnya sunnah, dan ada yang menyatakan hukumnya wajib. Dalam pelaksanaannya, thawaf wada' dilakukan setelah mengerjakan semua rangkaian amalan haji dan hendak meninggalkan Makkah.

Bagaimana jika setelah thawaf wada' jamaah kembali ke Makkah untuk suatu keperluan? Ada dua pendapat ulama yang menjelaskan hal ini: 

a) Menurut jumhur fuqaha, dia harus mengulangi thawaf jika hendak meninggalkan Makkah.
b) Menurut Imam Abu Hanifah, bila seorang jamaah haji sudah melaksanakan thawaf wada', kemudian dia bermaksud tinggal di Makkah sebulan atau lebih, maka dia tidak perlu mengulangi thawafnya. Karena suatu ibadah yang sudah dilaksanakan pada waktunya tidak perlu diulang, sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah.

Mengacu pada pendapat kedua dari Imam Abu Hanifah ini, orang yang sudah melakukan thawaf wada' masih bisa kembali ke hotel untuk sekadar menunggu bis datang, meskipun ia menunggu dengan tidur-tiduran atau melakukan pekerjaan lain di kamar hotel.

Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia adalah penganut Syafi'iyah, namun pendapat Abu Hanifah ini lebih rasional karena seiring dengan sistem transportasi zaman sekarang yang tidak memungkinkan thawaf wada' langsung ke luar Makkah.

Untuk mengatasi masalah-masalah kekinian, sesungguhnya Kementerian Agama sejak lama telah membukukan fikih haji komprehensif yang tidak terpaku pada satu pendapat ulama saja. Karena masalah perhajian adalah masalah kompleks yang tidak mungkin semua dipaksakan menggunakan fikih klasik yang menggunakan latar belakang kondisi dan tempat di masa lalu. Bahkan prosesi haji menjadi bukti kaidah "ikhtilafu a'immah rahmah" (perbedaan pandang dari para ulama adalah rahmat bagi umat), bisa dirasakan dan memberi kemudahan untuk tidak khawatir terhadap gagalnya ibadah haji yang untuk berangkat ke Makkah harus menunggu bertahun-tahun. Wallahu a'lam.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kalau Sudah Pamit Dilarang Tidur di Kamar?

Trending Now