OPINI|JATIMSATUNEWS.COM - Pada tahun 2024, perdebatan mengenai politik dinasti di Indonesia semakin mengkhawatirkan dan memanas. Terpilihnya Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden dan dorongan terhadap menantunya, Wali Kota Medan Bobby Nasution, untuk menjadi Gubernur Sumut, memperlihatkan fenomena politik dinasti yang mencolok. Ini menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan masyarakat dan pengamat politik yang khawatir bahwa aktivitas politik dinasti tersebut mengancam prinsip demokrasi dan keadilan yang mendasari sistem politik Indonesia.
Ketika kekuasaan semakin terkonsentrasi di tangan segelintir keluarga, timbul pertanyaan serius mengenai akses yang adil dan setara bagi semua warga negara untuk berpartisipasi dalam politik. Bagaimana demokrasi bisa berfungsi efektif jika jabatan strategis di pemerintahan didominasi oleh kerabat pejabat senior? Ini tidak hanya menimbulkan ketidakadilan, namun juga membuka peluang besar terjadinya konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan, dan praktik korupsi yang dapat mengikis integritas pemerintahan.
Dalam konteks hak asasi manusia (HAM), politik dinasti yang melibatkan keluarga Presiden Jokowi menimbulkan sejumlah pertanyaan mendalam. Salah satu pertanyaan kuncinya adalah apakah semua warga negara mempunyai akses yang adil dan setara terhadap kehidupan politik. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan banyak peraturan perundang-undangan Indonesia lainnya menekankan pentingnya hak untuk memilih dan hak seluruh warga negara untuk dipilih dalam pemilihan umum.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan Pemerintah, serta wajib menaati hukum dan Pemerintah dengan tidak ada kecualinya.” Selain itu, Pasal 28D ayat 3 UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap warga negara berhak atas persamaan kesempatan dalam pemerintahan.” Namun, ketika posisi-posisi kunci dalam pemerintahan didominasi oleh keluarga atau kerabat pejabat tinggi, hal ini dapat menimbulkan kesan bahwa peluang politik tidak terbuka secara merata bagi semua orang, sehingga pada akhirnya merugikan prinsip keadilan dan kesetaraan.
Politik dinasti juga menimbulkan konflik kepentingan yang serius. Keluarga presiden yang memegang jabatan penting di pemerintahan daerah mungkin memiliki akses yang tidak adil terhadap sumber daya negara dan pengaruh politik yang dapat digunakan untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini dapat mengarah pada praktik korupsi dan nepotisme, yang pada akhirnya merugikan masyarakat secara keseluruhan. Praktik-praktik seperti ini dapat memperburuk permasalahan ekonomi dan sosial yang ada, menghambat pembangunan, dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Pasal 7 Ayat 2 UUD 1945 mengatur batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan, namun hal ini tidak berkaitan langsung dengan dinasti politik sehingga perlu adanya peraturan yang lebih khusus. Untuk mengatasi potensi konflik kepentingan tersebut, peraturan perundang-undangan antikorupsi terkait transparansi pemerintahan harus ditegakkan secara tegas.
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “peradilan adalah kekuasaan yang merdeka, bertanggung jawab menegakkan keadilan untuk melindungi hukum dan keadilan”, artinya peradilan harus mandiri dalam memberantas tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, diperlukan lembaga penegak hukum yang kuat dan independen untuk memastikan bahwa setiap penyalahgunaan kekuasaan dapat dituntut dengan cepat dan adil. Transparansi dalam pemerintahan juga harus ditingkatkan melalui mekanisme pengawasan publik dan lembaga pengawasan yang efektif. Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak masyarakat untuk bertukar dan memperoleh informasi, mendukung transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Selain itu, masyarakat membutuhkan pendidikan politik. Pendidikan politik yang baik dapat membantu orang mengetahui hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara dan pentingnya partisipasi politik yang adil dan inklusif. Pendidikan politik yang memadai akan membuat masyarakat lebih menyadari ancaman politik dinasti dan akan lebih termotivasi untuk mendukung kandidat yang dipilih berdasarkan bakat dan integritas daripada ikatan keluarga. Ini sejalan dengan ayat 1 Pasal 28C UUD 1945, yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia."
Perbaikan proses pemilihan yang demokratis juga sangat penting. Ini mencakup menjamin bahwa setiap langkah dalam proses pemilihan, mulai dari pendaftaran calon hingga penghitungan suara, dilakukan dengan adil dan transparan. Pengawasan oleh lembaga independen dan partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan proses pemilihan dapat membantu mencegah penyalahgunaan dan manipulasi kekuasaan. Pasal 22E UUD 1945 mengatur penyelenggaraan pemilihan umum langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, yang merupakan landasan untuk pemilihan demokratis.
Secara keseluruhan, peristiwa politik yang melibatkan keluarga Presiden Jokowi menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan reformasi politik yang lebih mendalam. Melindungi hak asasi manusia, memperkuat demokrasi, dan menjamin akses politik yang adil harus menjadi tujuan reformasi ini. Jika tindakan yang tepat diambil, politik dinasti tidak lagi membahayakan demokrasi dan pemerintahan yang bersih di Indonesia. Untuk mencegah politik dinasti dan memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, sesuai dengan prinsip-prinsip UUD 1945, diperlukan aturan yang lebih jelas dan penegakan hukum yang tegas.