Akankah Dinasti Penguasa Tidak Akan Berakhir?

Admin JSN
13 Juni 2024 | 01.20 WIB Last Updated 2024-06-12T18:40:20Z

 

Akankah Dinasti Penguasa Tidak Akan Berakhir?

Oleh: M.Nabil.Almalanji

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM: Akankah Dinasti Kekuasaan Tidak Akan Pernah Berakhir?. Pertanyaan tersebut pasti muncul dari pikiran sebagian banyak khalayak saat melihat kekuasaan yang diwariskan secara turun-temurun. Apalagi saat ini sedang ramai isu yang beredar mengenai rumor Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Republik Indonesia ke 7 yang digadang-gadang akan maju dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) DKI Jakarta.

Kaesang dirumorkan akan melenggang menjadi Calon Wakil Gubernur (Cawagub) berpasangan dengan Budi Djiwandono, kerabat dari Presiden Terpilih periode 2024-2029. Hal ini dapat dilihat dari postingan di akun Gerindra. Tentu majunya Kaesang menjadi perdebatan banyak orang, pasalnya pria lulusan Singapore University of Social Science (B.Sc) ini masih belum berusia 30 tahun. 

Secara mengejutkan, MA (Mahkamah Konstitusi) dikabarkan akan mengabulkan perubahan batas usia minimal 30 tahun bagi Cawagub. Kebijakan ini mengundang kontroversi publik. Seperti diketahui, 

sebelumnya, kakak dari Kaesang yaitu Gibran Rakabuming Rakha juga melakukan hal yang sama yaitu diperbolehkan maju menjadi Calon Wakil Presiden meskipun belum berumur 40 tahun. Momentum ini seakan menjadi _dejavu_ bagi dunia perpolitikan Indonesia sebab seolah kembali mengulang peristiwa serupa.

Hal ini semakin menguatkan opini publik bahwa Presiden Joko Widodo akan melanjutkan Dinasti Politik Politiknya. Bisa kita lihat, Gibran terpilih menjadi Wakil Presiden. Sang menantu Boby Nasution menjadi Walikota Medan dan si bungsu Kaesang dikabarkan menjadi Cawagub DKI Jakarta. Banyak pihak menilai, bahwa majunya Kaesang menjadi Cawagub melanggar etika komunikasi lantaran melanggar peraturan batas minimal Cawagub yang semula minimal 30 tahun akhirnya diubah oleh MA.

Tidak hanya itu, sempat muncul kembali video lawas Kaesang di aplikasi X yang _meroasting_ lulusan luar negeri pulang ke Indonesia untuk meminta jabatan pada orang tua di dunia pemerintahan. Sindiran Kaesang itu pun dinilai ironi. Pasalnya, ipar Wali Kota Medan Bobby Nasution tersebut juga merupakan lulusan luar negeri yang telah kembali ke Indonesia. Ia dinilai turut memanfaatkan karier ayahnya agar mulus di dunia politik.

Sebagai Ketua Umum PSI (Partai Solidaritas Indonesia), seyogyanya Kaesang menerapkan prinsip-prinsip etika komunikasi moral. Beberapa prinsip dasar etika komunikasi moral meliputi : 

Kejujuran dan kebenaran yakni selalu berkata yang jujur dan hindari kebohongan atau penipuan dalam komunikasi.

Keadilan dan kesetaraan yakni perlakukan semua orang dengan adil dan setara, tanpa memandang latar belakang, status sosial, atau keyakinan mereka.

Kehormatan dan rasa hormat yaitu hormatilah privasi dan martabat orang lain dalam komunikasi Anda. Hindari kata-kata kasar, menyinggung atau diskriminatif.

Tanggung jawab yang berarti bertanggung jawablah atas apa yang Anda katakan dan lakukan dalam komunikasi Anda.

Keberanian moral yaitu beranilah untuk mengatakan yang benar dan membela apa yang Anda yakini, bahkan ketika itu sulit.

Komitmen untuk kebaikan yaitu Gunakan kemampuan komunikasi Anda untuk menyebarkan kebaikan, membantu orang lain, dan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.


Etika komunikasi perlu diterapkan oleh semua orang, sebab dengan menerapkan etika komunikasi yang baik dan benar, maka kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang seperti Politik Dinasti itu sangat kecil.


Politik Dinasti mengacu pada praktik mewariskan kekuasaan politik kepada anggota keluarga, kerabat dekat, atau orang-orang yang memiliki hubungan personal dengan pemegang kekuasaan sebelumnya. Hal ini dapat terjadi melalui berbagai cara, seperti penunjukan langsung, dukungan politik, atau bahkan melalui manipulasi dan nepotisme. Selain itu, politik dinasti memperlihatkan penggunaan wewenang yang digunakan semena-mena untuk keuntungan pribadi. Meskipun begitu, Politik Dinasti tidak serta-merta memiliki dampak negatif tetapi juga berdampak positif. Dampak positif Politik Dinasti seperti Stabilitas Politik. Dalam beberapa kasus, Politik Dinasti dianggap dapat membawa stabilitas politik karena transisi kekuasaan terjadi di dalam lingkaran keluarga yang sudah terbiasa dengan sistem dan budaya politik meskipun terdapat stabilitas politik di suatu negara menjadi kacau akibat politik dinasti, namun jika Dinasti Politik dilakukan sesuai aturan stabilitas politik akan tidak akan kacau.


Di sisi lain, pengaruh yang baik dari Dinasti Politik adalah pengalaman dan kemampuan dari anggota keluarga yang mewarisi kekuasaan. Maka, kemungkinan akan memiliki pengalaman dan kemampuan yang diwariskan dari pendahulunya, sehingga dianggap lebih siap untuk memimpin. Kemudian, dampak yang baik adalah adanya Kohesi dan Solidaritas artinya politik dinasti dapat memperkuat kohesi dan solidaritas dalam kelompok elit politik, sehingga mempermudah pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.


Namun, tidak dipungkiri Politik Dinasti juga memberikan dampak negatif seperti tertutupnya peluang yang dapat menutup peluang bagi individu-individu berbakat dan cakap dari luar keluarga elit untuk menduduki posisi politik. Lalu, terjadilah penyalahgunaan kekuasaan yang memunculkan risiko penyalahgunaan kekuasaan lebih tinggi dalam Politik Dinasti karena nepotisme dapat terjadi. Dampak buruk lain yang akan terjadi yakni jurangnya Akuntabilitas. Dengan adanya Dinasti Politik maka pemimpin yang dilahirkan kurang akuntabel kepada rakyat karena mereka merasa memiliki hak istimewa untuk menduduki posisi tersebut. 


Hal lain, yang memberikan imbas negatif adalah stagnasi dan kurangnya inovasi yang berati dengan didewakannya Politik Dinasti dapat menyebabkan stagnasi dan kurangnya inovasi dalam pemerintahan karena kurangnya ide dan perspektif baru. Selanjutnya, dampak negatif yang ditimbulkan adalah akan memunculkan konflik dan ketegangan sosial. Hal ini dapat diartikan bahwa Politik Dinasti dapat memicu konflik dan ketegangan sosial karena masyarakat merasa tidak diwakili secara adil. 


Contoh-contoh Politik Dinasti yang pernah terjadi dalam Kepemimpinan di Indonesia seperti Dinasti Politik Soekarno. Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno memiliki beberapa anggota keluarga yang menduduki posisi politik penting, seperti putrinya Megawati Soekarnoputri yang menjadi Presiden kelima Republik Indonesia. Kemudian, diteruskan Dinasti Politik Soeharto dimana Presiden kedua Republik Indonesia tersebut memberikan tempat kepada beberapa anak dan menantunya untuk menduduki posisi politik penting. Hal ini dapat dilihat dari jabatan mentereng seperti Tutut Soeharto. Putri pertama Bapak Soeharto ini pernah menjadi Menteri Sosial pada masa Pemerintahan Pak Harto. Tidak hanya itu, putra bungsunya, Tommy Soeharto menjadi pengusaha sekaligus politikus. 


Mirisnya Dinasti Politik diteruskan pada masa Pemerintahan Bapak Jokowi, dimana terlihat jelas mantan Walikota Solo tersebut memberikan panggung politik bagi sang menantu Boby Nasution untuk menjadi Wali Kota Medan yaitu Bobby Nasution. Dilanjutkan, kedudukan Gibran Rakabuming Rakha yang menjadi orang nomor satu di Kota Solo. Karier Gibran semakin melesat saat dirinya terpilih menjadi Wakil Presiden mendampingi Bapak Prabowo Subianto. Parahnya, sang istri Selvi Ananda diproyeksikan untuk maju dalam Pilkada Sleman 2024.


Politik Dinasti yang mengalir dari darah Bapak Jokowi pastinya banjir kritik, baik dari akademisi, pakar, politisi hingga rakyat jelata.


Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai bahwa Konstitusi Republik Indonesia tidak dirancang untuk mengakomodasi kepentingan politik kelompok atau keluarga tertentu untuk terus berada di lingkaran kekuasaan. Feri mempertanyakan kemampuan berpolitik anggota keluarga Jokowi, seperti Gibran Rakabuming Raka yang dinilai belum memiliki prestasi signifikan. Lalu, kebijakan yang mengotak-atik aturan mengenai usia Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dilakukan oleh MA  dianggap sebagai orkestrasi untuk menyukseskan Dinasti Politik Jokowi yang tidak berlandaskan hukum yang memadai.


Kesimpulan dari artikel ini adalah pencalonan Kaesang menjadi Cawagub perlu dipertanyakan karena Kaesang dianggap menabrak Peraturan batas minimal Cawagub yang telah ditetapkan yakni berusia 30 tahun. Meskipun tidak terdapat fakta yang jelas bahwa Presiden Jokowi turut andil dalam perubahan aturan yang ditetapkan oleh MA tetapi masyarakat banyak menilai bahwa Dinasti Politik masih mengakar kuat dalam pemerintahannya.


Kemudian, Kaesang Pangarep dinilai masih terlalu belia untuk menjadi Calon Gubernur meskipun dirinya adalah seorang Ketua Umum PSI.


Dewasa ini dengan adanya digitalisasi dan media sosial yang menjamur masyarakat menjadi lebih kritis untuk menilai segala kebijakan yang diterapkan. Dengan demikian, akankah Politik Dinasti akan terus mengurat nadi hingga waktu yang tak terbatas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Akankah Dinasti Penguasa Tidak Akan Berakhir?

Trending Now