ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM:
Secara garis besar, pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar yang
dilakukan secara terencana dan terus-menerus guna menciptakan insan yang
paripurna, ideal, dan mengenal dirinya sendiri. Berdasarkan pengertian
tersebut, lembaga pendidikan dari lintas tingkatan pun menciptakan beragam
sistem untuk mendukung tercapainya tujuan besar pendidikan. Baik melalui aspek
kurikulum, sarana prasarana, teknologi informasi, maupun yang lainnya. Pastinya,
jalinan semua aspek tersebut tetap berlandaskan pada peraturan dan
undang-undang yang telah ditetapkan oleh negara.
Seiring
berubahnya zaman, cara belajar dalam dunia pendidikan pun mau tidak mau juga
ikut berubah. Mulai dari zaman tradisional waktu nenek moyang yang masih belum
mengenal gadget, internet, dan
sejenisnya, sampai pada zaman serba canggih dan cepat seperti saat ini. Di mana
belajar bisa dari mana saja, kapan saja, dan menggunakan media yang beraneka
ragam.
Menyikapi
perubahan zaman tersebut, tak heran jika di Indonesia mengalami beberapa kali
perubahan sistem kurikulum. Mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013 (K-13), sampai pada
Kurikulum Merdeka. Semua perubahan tersebut tentunya memiliki alasan dan
landasan tersendiri yang memang dirasa perlu dilakukan.
Lebih
jauh lagi, gaya hidup secara menyeluruh yang sudah masuk dalam lingkaran
Society 5.0 juga memiliki pengaruh signifikan terhadap perjalanan pendidikan di
Indonesia. Entah itu yang berhubungan kurikulum merdeka, ataupun kurikulum baru
lainnya di masa depan. Mengingat Indonesia merupakan bagian dari negara di
dunia yang tidak mau tertinggal dari negara-negara lain. Termasuk atas lahirnya
konsep Era Society 5.0 yang dikenalkan oleh Jepang pada tahun 2019. Pastinya,
konsep ini merupakan tindak lanjut dari Revolusi 4.0 yang masih dipandang
memiliki kekurangan.
Sebagaimana
yang kita ketahui, pembelajaran di era Revolusi 4.0 sudah menggunakan komponen
teknologi guna mendukung proses pembelajaran dari berbagai keadaan. Baik saat
pembelajaran dilakukan secara tatap muka (luring)
ataupun jarak jauh (daring).
Pembelajaran berbasis teknologi ini sudah masuk dalam berbagai strata
pendidikan, khususnya lembaga pendidikan yang memiliki keseimbangan atau
kemapanan dalam infrastruktur dan finansial. Sedangkan bagi lembaga pendidikan
yang masih bertumbuh, atau bahkan baru saja lahir, lebih fokus pada
pembelajaran ala tradisional dengan tetap mengedepankan esensi dari nilai
pendidikan itu sendiri.
Dengan
adanya wacana penerapan pendidikan era Society 5.0, tentu akan ada perubahan
sistem dari yang sebelumnya menerapkan hybrid/blended learning dan Case-base Learning. Menurut informasi yang beredar, di era 5.0 nantinya, siswa atau
mahasiswa akan berdampingan dengan robot yang dirancang untuk menggantikan
peran pendidik. Dari sini, tentu terdapat nilai positif dan negatif yang bisa
dituai atas terealisasinya sistem tersebut.
Setidaknya,
terdapat tiga hal yang perlu dilihat secara lebih jauh tentang penerapan
pendidikan ala 5.0 yang sudah menjadi tren pembahasan di banyak tempat.
Diantaranya ialah sebagai berikut:
Eksistensi
Guru
Meski
robot yang nantinya dirancang mengganti peran guru atau tenaga pendidik
memiliki kualitas intelegensi yang lebih hebat, tapi robot jenis apapun itu,
saya rasa tidak akan mampu menggantikan nilai-nilai moral yang biasa
disampaikan oleh guru secara langsung. Sebab, robot tidak punya hati. Sedangkan
pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan saja, tapi juga tentang kontak
batin antara guru dan murid yang memercikkan nilai barokah dari setiap
pertemuannya. Ya, bagi saya yang lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren,
pengaruh barokah guru terhadap murid memiliki pengaruh yang sangat signifikan
terhadap kualitas hidup seorang murid di masa yang akan datang.
Selain
itu, jika segala jenis proses pembelajaran benar akan menggunakan robot, lantas
bagaimana nasib para guru ke depannya? Mungkinkah profesi guru ke depannya semakin
tidak dibutuhkan karena dipandang kurang memberikan efek maksimal dalam dunia
pendidikan? Jika memang demikian, saya rasa, ini juga akan berakibat pada
peningkatan jumlah pengangguran. Kecuali, jika para guru diberikan ruang lain
melalui pelatihan khusus untuk melanjutkan jenjang karier yang bisa menghasilkan
gaji untuk mereka. Sebab, mereka juga manusia yang butuh makan kan? Beda lagi
kalau robot yang mungkin tidak membutuhkan makan dan minum.
Infrastruktur
yang Memadai
Jelas,
semakin canggih suatu zaman, maka negara yang ingin menyesuaikan dengan zaman
juga harus siap untuk beradaptasi. Salah satunya ialah perihal infrastruktur
sebagai media pokok dalam dunia pendidikan. Sedangkan menurut hasil pengamatan
penulis, revolusi 4.0 dengan keterlibatan teknologi di dalamnya dirasa masih
belum maksimal dan merata di seluruh wilayah. Baik dari segi kiprah tenaga
pendidik, antusias peserta didik, maupun dampak dari pendidikan ala revolusi
4.0.
Dengan
keadaan demikian, apakah mungkin jika negara Indonesia masih dan akan
memaksakan konsep pendidikan era society 5.0 yang semakin menuhankan teknologi?
Sudahlah, jika memang belum siap, mending
tidak perlu memaksakan diri. Cukup memaksimalkan potensi yang ada tanpa
menghilangkan nilai-nilai dan esensi dari pendidikan. Sepertinya itu sudah
cukup.
Dampak
Pendidikan 5.0
Selain
membahas tentang guru dan infrastruktur, tentu hasil dari pendidikan 5.0
menjadi sorotan yang sangat menarik. Secara jelas, harus ada penelitian
lanjutan yang lebih terukur dan terbuka tentang bagaimana dampak atau hasil
dari pendidikan 5.0. Jangan sampai hanya karena ingin mengedepankan tren, hasil
pendidikan yang sebenarnya tergolong tidak baik malah dikatakan baik-baik saja.
Sebab, banyak faktor dan keadaan yang perlu dipertimbangkan, dievaluasi, dan
dirumuskan menjadi langkah konkret ke depannya.
Sekali
lagi, adanya penjabaran di atas bukan berarti penulis tidak setuju atas
optimalisasi teknologi dalam dunia pendidikan. Namun, perlu adanya sikap bijak
dan ideal dalam pengaplikasian teknologi tanpa harus merasa tertuntut oleh
zaman. Biarkan negara ini menemukan pola pendidikan versi terbaiknya sendiri.
Tanpa harus merasa terintimidasi oleh zaman. Artinya, kita lebih fokus pada
perbaikan sektor internal secara mendalam, dan tentu tanpa mengabaikan
bagaimana dinamika wilayah eksternal sebagai bahan pengetahuan dan kebijakan ke
depannya.