Menyikapi Arah Pendidikan Indonesia Di Era Society 5.0

M. Kholilur Rohman
04 April 2024 | 14.42 WIB Last Updated 2024-04-04T07:42:25Z

 

Foto: Sekolah Islam Abu Dzar

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM: Secara garis besar, pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar yang dilakukan secara terencana dan terus-menerus guna menciptakan insan yang paripurna, ideal, dan mengenal dirinya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, lembaga pendidikan dari lintas tingkatan pun menciptakan beragam sistem untuk mendukung tercapainya tujuan besar pendidikan. Baik melalui aspek kurikulum, sarana prasarana, teknologi informasi, maupun yang lainnya. Pastinya, jalinan semua aspek tersebut tetap berlandaskan pada peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan oleh negara.

Seiring berubahnya zaman, cara belajar dalam dunia pendidikan pun mau tidak mau juga ikut berubah. Mulai dari zaman tradisional waktu nenek moyang yang masih belum mengenal gadget, internet, dan sejenisnya, sampai pada zaman serba canggih dan cepat seperti saat ini. Di mana belajar bisa dari mana saja, kapan saja, dan menggunakan media yang beraneka ragam.

Menyikapi perubahan zaman tersebut, tak heran jika di Indonesia mengalami beberapa kali perubahan sistem kurikulum. Mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013 (K-13), sampai pada Kurikulum Merdeka. Semua perubahan tersebut tentunya memiliki alasan dan landasan tersendiri yang memang dirasa perlu dilakukan.

Lebih jauh lagi, gaya hidup secara menyeluruh yang sudah masuk dalam lingkaran Society 5.0 juga memiliki pengaruh signifikan terhadap perjalanan pendidikan di Indonesia. Entah itu yang berhubungan kurikulum merdeka, ataupun kurikulum baru lainnya di masa depan. Mengingat Indonesia merupakan bagian dari negara di dunia yang tidak mau tertinggal dari negara-negara lain. Termasuk atas lahirnya konsep Era Society 5.0 yang dikenalkan oleh Jepang pada tahun 2019. Pastinya, konsep ini merupakan tindak lanjut dari Revolusi 4.0 yang masih dipandang memiliki kekurangan.

Sebagaimana yang kita ketahui, pembelajaran di era Revolusi 4.0 sudah menggunakan komponen teknologi guna mendukung proses pembelajaran dari berbagai keadaan. Baik saat pembelajaran dilakukan secara tatap muka (luring) ataupun jarak jauh (daring). Pembelajaran berbasis teknologi ini sudah masuk dalam berbagai strata pendidikan, khususnya lembaga pendidikan yang memiliki keseimbangan atau kemapanan dalam infrastruktur dan finansial. Sedangkan bagi lembaga pendidikan yang masih bertumbuh, atau bahkan baru saja lahir, lebih fokus pada pembelajaran ala tradisional dengan tetap mengedepankan esensi dari nilai pendidikan itu sendiri.

Dengan adanya wacana penerapan pendidikan era Society 5.0, tentu akan ada perubahan sistem dari yang sebelumnya menerapkan hybrid/blended learning dan Case-base Learning. Menurut informasi yang beredar, di era 5.0 nantinya, siswa atau mahasiswa akan berdampingan dengan robot yang dirancang untuk menggantikan peran pendidik. Dari sini, tentu terdapat nilai positif dan negatif yang bisa dituai atas terealisasinya sistem tersebut.

Setidaknya, terdapat tiga hal yang perlu dilihat secara lebih jauh tentang penerapan pendidikan ala 5.0 yang sudah menjadi tren pembahasan di banyak tempat. Diantaranya ialah sebagai berikut:

Eksistensi Guru

Meski robot yang nantinya dirancang mengganti peran guru atau tenaga pendidik memiliki kualitas intelegensi yang lebih hebat, tapi robot jenis apapun itu, saya rasa tidak akan mampu menggantikan nilai-nilai moral yang biasa disampaikan oleh guru secara langsung. Sebab, robot tidak punya hati. Sedangkan pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan saja, tapi juga tentang kontak batin antara guru dan murid yang memercikkan nilai barokah dari setiap pertemuannya. Ya, bagi saya yang lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren, pengaruh barokah guru terhadap murid memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap kualitas hidup seorang murid di masa yang akan datang.

Selain itu, jika segala jenis proses pembelajaran benar akan menggunakan robot, lantas bagaimana nasib para guru ke depannya? Mungkinkah profesi guru ke depannya semakin tidak dibutuhkan karena dipandang kurang memberikan efek maksimal dalam dunia pendidikan? Jika memang demikian, saya rasa, ini juga akan berakibat pada peningkatan jumlah pengangguran. Kecuali, jika para guru diberikan ruang lain melalui pelatihan khusus untuk melanjutkan jenjang karier yang bisa menghasilkan gaji untuk mereka. Sebab, mereka juga manusia yang butuh makan kan? Beda lagi kalau robot yang mungkin tidak membutuhkan makan dan minum.

Infrastruktur yang Memadai

Jelas, semakin canggih suatu zaman, maka negara yang ingin menyesuaikan dengan zaman juga harus siap untuk beradaptasi. Salah satunya ialah perihal infrastruktur sebagai media pokok dalam dunia pendidikan. Sedangkan menurut hasil pengamatan penulis, revolusi 4.0 dengan keterlibatan teknologi di dalamnya dirasa masih belum maksimal dan merata di seluruh wilayah. Baik dari segi kiprah tenaga pendidik, antusias peserta didik, maupun dampak dari pendidikan ala revolusi 4.0.

Dengan keadaan demikian, apakah mungkin jika negara Indonesia masih dan akan memaksakan konsep pendidikan era society 5.0 yang semakin menuhankan teknologi? Sudahlah, jika memang belum siap, mending tidak perlu memaksakan diri. Cukup memaksimalkan potensi yang ada tanpa menghilangkan nilai-nilai dan esensi dari pendidikan. Sepertinya itu sudah cukup.

Dampak Pendidikan 5.0

Selain membahas tentang guru dan infrastruktur, tentu hasil dari pendidikan 5.0 menjadi sorotan yang sangat menarik. Secara jelas, harus ada penelitian lanjutan yang lebih terukur dan terbuka tentang bagaimana dampak atau hasil dari pendidikan 5.0. Jangan sampai hanya karena ingin mengedepankan tren, hasil pendidikan yang sebenarnya tergolong tidak baik malah dikatakan baik-baik saja. Sebab, banyak faktor dan keadaan yang perlu dipertimbangkan, dievaluasi, dan dirumuskan menjadi langkah konkret ke depannya.

Sekali lagi, adanya penjabaran di atas bukan berarti penulis tidak setuju atas optimalisasi teknologi dalam dunia pendidikan. Namun, perlu adanya sikap bijak dan ideal dalam pengaplikasian teknologi tanpa harus merasa tertuntut oleh zaman. Biarkan negara ini menemukan pola pendidikan versi terbaiknya sendiri. Tanpa harus merasa terintimidasi oleh zaman. Artinya, kita lebih fokus pada perbaikan sektor internal secara mendalam, dan tentu tanpa mengabaikan bagaimana dinamika wilayah eksternal sebagai bahan pengetahuan dan kebijakan ke depannya.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Menyikapi Arah Pendidikan Indonesia Di Era Society 5.0

Trending Now