ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM: Buku setebal 126 halaman, hadiah dari seorang sahabat yg produktif luar biasa. Mas An, demikian panggilan akrabnya. Andik Yulainto lengkapnya.
Pukul 05.30 hendak ke pasar, tapi kutunda dulu untuk _ngecash_ sepeda listrik yg indikator batrenya minta _minum_. Buku bersampul coklat itu sejak kemarin seolah menggiurkan sekali utk dilahap, terlebih pengantar yg diberikan oleh penulis dalam video pendek yang singgah di group wa komunitas kami.
"Pasti akan cepat habis terlahap, karena barisan hurufnya tidaklah memenuhi lembarannya" pikirku ketika mulai membuka sampul plastiknya.
Ada 105 puisi karya Mas An di dalamnya. Memang selama Ramadhan ini, kuakui pilihan diksi yang Mas An pakai dalam beberapa komentar postingan cukup _lincah, seksi dalam permainan makna, dan berakar kokoh dg meletakkan nama2 tokoh yang dinukil._
Puisi itu asyik. Seolah kita meneropong dan menerka saat ia dilahirkan oleh penulisnya. "Mana Bagianku", puisi ke-40 ini tampaknya merupakan catatan singkat kala Mas An menghabiskan waktu di ruang sidang pengadilan dalam tugas beliau sebagai saksi ahli. Angan rasanya menari dengan dua tafsir makna, "waktu habis saat palu hakim diketok sbg tanda sidang berakhir dan berlanjut minggu depannya" atau bisa juga merupakan renungan mendalam tentang kasus sengketa harta antar saudara yang sedang ditanganinya. Salah satu pihak yg bertikai akhirnya melukis pesan geram "bagianku mana?". Ah.. indah nian rasanya permainan katanya.
Indah. Yah, itu pula yang kutemukan pada halaman 43 "Juara Harapan". Permainan alur makna yang lurus, eh..tiba2 ditutup dengan frase yang mengejutkan. Point stop yang mengejutkan buat pembaca. Bagaimana tidak, empat baris berbicara tentang perlombaan, ternyata baris terakhir bermain dengan _polisemi_ "_Aku memang bukan juaranya, tapi setidaknya aku masih mengharapkanmu_". Aduuh... cantik sekali relasi makna yang kau bangun, Mas An.
Lain halnya dengan puisi "Sekam". Kutulis catatan di halaman 40 tersebut 'pendek tapi _makjleb_'. Ada dua paragraf. Bagian pertama terdiri dari dua baris, dan bagian kedua tersusun dari tiga baris. Pribahasa yang sering kita dengar 'api dalam sekam'. Api menghabiskan dan menggerogoti sekam, persis dalam ilustrasi paragraf kedua.
_Ikhlaskan pengkhianatan itu_
_Biarkan dia hidup dengannya_
_Karena dengan melepaskannya, engkau adalah pemenangnya_ Uhuyyyy.. mungkinkah rentetan makna ini terlukis ketika Mas An sedang dikhianati.. Hmm...entahlah..hehe..
Ada yang menarik pada puisi 43 yang berjudul "Malu dan Tertawa". Sebuah sindiran halus buat saya, emak2, kita, dan pembaca semua. Penulis mengingatkan kita pada satu titik kesadaran ketika kita sering menghabiskan ratusan ribu di mall dan tempat rekreasi; jutaan rupiah untuk cicilan mobil dan rumah, beli perhiasan, namun dua ribu rupiah untuk kotak amal jariyah. Terpekur merenung pagi2 di hari ke-23 Ramadhan. Sentilan yang membuat semangat untuk memperbaiki manajemen _kluntingan_.
Masih seputar rumah. "Anak adalah sifat" memberikan pengingat agar kita menjadi teladan buat anak2 kita di rumah. Menemani mereka ke masjid, membunuh nafsu diri agar sifat yang mereka tiru adalah sisi malaikat manusia, bukan sisi yang dimenangkan oleh ketidak-kuatan 'ngeker' nafsu diri.
Menjelang lembar terakhir, ada yang bikin makin menunduk dan merenung . "Ibu, adalah manusia yang mengalirkan rasa dan darah pada ragamu".
Hhhmm.. merenung sambil bergumam "Sudahkah THR-mu mengalir ke saku ibumu?" Glodaaak...
Buku kututup, catatan kuakhiri untuk segera bergegas ke pasar. Cari kelapa parut buat bikin trancam timun buka puasa bersama keluarga.. 🍛🥰
***
Mas An, terimakasih sdh memberikan warna untuk renungan. Terimakasih telah menjadi teladan dalam mengolah rasa..
Terimakasih Pak Dadang, editor Buyung Kinasih, mantap luar biasa..
M. 3/4/23 22.21