ARTIKEL I JATIMSATUNEWS. COM: HARI-HARI ini bertebaran konten digital di media sosial kita. Bahkan jumlahnya bisa melebihi agenda acara di satu stasiun televisi. Bisa ribuan konten dihasilkan oleh konten kreator setiap harinya. Termasuk konten promosi saat konstelasi pemilihan capres tahun ini atau pun konten lainnya.
Banyaknya konten yang beredar ini disadari atau tidak, akan mampu mempengaruhi opini di masyarakat. Informasi yang terus menerus disebarkan, acap kali kadang dianggap sebagai kebenaran. Bahkan, termasuk opini keburukan.
Inilah yang sering disebut sebagai Illusory Truth Effect atau disebut dengan efek kebenaran. Ilusi ini merupakan sebuah fenomena seperti kebohongan yang diungkapkan terus menerus atau disebarluaskan kepada seseorang. Sehingga seseorang yakin oleh “kebenaran ilusi” tersebut.
Pada tahun 1977, di Temple University dilakukan penelitian oleh Dr. Lynn Hasher dan koleganya. Menyimpulkan, ketika seseorang mendapatkan sebuah isu, seseorang tersebut akan mempercayai informasi tersebut dengan cara yang paling sering dia percaya untuk mendapatkan sebuah keputusan isu tersebut.
Mekanisme ini berfungsi karenap adanya implicit memory. Seseorang tersebut menganggap pernyataan yang telah mereka lihat sebelumnya, sebagai informasi yang diterima berulang kali dianggap sebagai berita yang benar.
Dalam penelitian tersebut, menunjukkan ada banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan dari Illusory Truth Effect. Salah satunya adalah kemudahan dalam mendapatkan informasi. Inilah yang menjadi dasar terjadinya Illusory Truth Effect.
Kemudahan mendapatkan informasi-informasi tersebut juga dibarengi dengan adanya repetisi atau pengulangan berkali-kali. Didukung adanya kemajuan teknologi, orang semakin mudah memviralkan pernyataan atau pun berita yang diyakini sebagai sebuah kebenaran.
Termasuk di dalamnya adalah keburukan yang dipoles dan dipublikasikan berkali-kali hingga tampak seperti “kebenaran.” Kemudahan menyebarkan informasi dibarengi semangat membagikan berita ke media sosial membuat berita berkejaran mencapai sasaran pembaca.
Ini berbanding terbalik dengan kemampuan literasi digital yang dimiliki masyarakat. Proses kroscek kebenaran berita yang membutuhkan waktu acap kali dilewati oleh pembaca khususnya netizen +62.
Parahnya lagi, hal ini akan mempengaruhi kesalahan seseorang di dalam memberikan kesimpulan atas berita yang sudah “terlanjur viral”. Kondisi perkembangan sosial media yang cukup cepat serta rendahnya sikap kritis dan rendahnya kemampuan literasi digital di masyarakat makin memperburuk kondisi ini.
Hal inilah yang membuat berita hoax di negeri ini lebih mudah menyebar secara masif di tengah masyarakat jika dibandingkan dengan berita atau informasi kebaikan.
Masyarakat dengan kemampuan literasi digital yang buruk pada akhirnya akan memiliki peran ikut andil dalam menyebarkan virus-virus berita “hoax”. Mereka ini menurut penulis bisa dikategorikan sebagai golongan ABG(Arek Bujuakane Gampang) atau orang yang mudah dibohongi.
Berbeda dengan berita kebaikan yang pada umumnya hanya dibaca dan dinikmati oleh seseorang secara individu. Jarang di antara pembaca yang bersemangat mengamplifikasi alias memviralkan berita baik seperti cerita inspirasi atau tausiah agar masyarakat lebih mudah tercerahkan.
Karena itu sudah saatnya Anda yang memiliki kemampuan. Bahkan, yang belum memiliki kemampuan untuk terus belajar. Setidaknya mau berkolaborasi dengan anak-anak yang hari ini “melek digital” untuk terus bersemangat dan lebih kreatif untuk memproduksi konten-konten kebaikan.
Termasuk di dalamnya, ikut menyebarkan konten-konten kebaikan agar kita bisa mengalahkan opini dan berita negatif membanjiri sosial media kita. Harapannya, konten kebaikan yang kita hasilkan akan mampu mempengaruhi opini dan pemikiran masyarakat.
Saya jadi teringat statemen sahabat penulis yang bernama Bapak Miftah Amin. Beliau pernah menasehatkan kepada saya ketika berkumpul dengan orang lain atau komunitas yang campur baur karakternya.
“Tugas kita adalah mewarnai, jangan malah diwarnai alias ‘kelunturan’. Artinya kita harus ikut memperbaiki kondisi masyarakat, jangan sampai justru kita yang akan dipengaruhi orang lain. Sehingga kita ikut menjadi buruk oleh imbas masyarakat yang ‘sakit kepribadiannya’ karena nbanyaknya godaan materi duniawi.*
Oleh karena itu, saya sebagai seorang pendidik kelas 4 di SD Muhammadiyah 1 Pucanganom Sidoarjo mencoba membuat Program One Student One Short Speech (POSOSS) di bulan Ramadan ini.
Artinya saya memberi tantangan setiap satu anak didik untuk membuat satu video kultum(ceramah singkat) dengan materi kajian islam yang bebas mereka pilih.
Dengan demikian, setidaknya saya telah mengajak 180 an anak-anak didik di kelas 4 untuk membuat satu konten kebaikan. Bisa dibayangkan jika semua guru di Indonesia melakukan hal yang sama.
Maka, saya yakin media sosial kita tidak lagi banjir dengan informasi keburukan, namun sebaliknya, akan ada ribuan konten kebaikan yang akan tersebar di masyarakat kita.
Dengan program sederhana Satu Anak Satu Kultum(ceramah singkat sekitar 7 menit), kita akan bersama-sama membuat dan membanjiri media sosial dengan konten kebaikan. Apalagi saat ini anak-anak berada di zaman serba digital dan semua terhubung dalam jaringan internet.
Bahkan salah satu pemikiran Ki Hajar Dewantara (KHD) menjelaskan bahwa dasar Pendidikan anak berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan “sifat” dan “bentuk” lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama”
KHD mengelaborasi Pendidikan terkait kodrat alam dan kodrat zaman sebagai berikut “Dalam melakukan pembaharuan yang terpadu, hendaknya selalu diingat bahwa segala kepentingan anak-anak didik, baik mengenai hidup diri pribadinya maupun hidup kemasyarakatannya, jangan sampai meninggalkan segala kepentingan yang berhubungan dengan kodrat keadaan, baik pada alam maupun zaman.
Sementara itu, segala bentuk, isi dan wirama (yakni cara mewujudkannya) hidup dan penghidupannya seperti demikian, hendaknya selalu disesuaikan dengan dasar-dasar dan asas-asas hidup kebangsaan yang bernilai dan tidak bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan” (Ki Hadjar Dewantara, 2009, hal. 21)
Karena itu, sekali lagi saya mengajak Anda menjadi bagian yang akan terlibat untuk melipatgandakan kebaikan. Caranya adalah dengan terus berupaya menghadirkan, memproduksi, dan menyebarkan konten kebaikan bersama anak-anak kita dimulai sejak sekarang. Sudah siap?
*) Abdullah Makhrus adalah Penulis, Guru, Trainer, dan Ketua Ikatan Guru Indonesia(IGI) Daerah Sidoarjo