Oleh: Yon Bayu Wahyono
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM: Forum Rektor Indonesia (FRI) menyeru agar kampus tidak menjadi tempat memecah belah, dan menyambut Pemilu 2024 dengan riang gembira.
Deklarasi FRI seolah-olah menjadi antitesa dari seruan sivitas akademika yang sudah gerah dengan berbagai potensi kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam menghadapi Pilpres 2024.
FRI sengaja mengambil jarak dengan persoalan fundamental bangsa yakni demokrasi dan semangat reformasi yang tengah diacak-acak dan dibelokkan demi melanggengkan kekuasaan.
Pernyataan Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas) Jamaluddin Jompa agar masyarakat menyambut pemilu dengan penuh kekeluargaan, dan kegembiraan sungguh sulit dinalar.
Bagaimana mungkin kita bergembira menyambut pemilu yang diwarnai putusan Mahkamah Konstitusi yang cacat etika, ketidaknetralan presiden dan birokrat dari pusat hingga daerah, penyalagunaan kekuasaan, pelanggaran penyelenggaran pemilu yang terus berulang, serta penggunaan APBN yang ditengarai untuk membeli suara rakyat melalui bansos?
Frasa kampus bukan tempat memecah belah, yang menjadi salah satu poin seruan FRI adalah bentuk pengekangan terhadap kebebasan. FRI memaknai kebebasan berpendapat sebagai upaya memecah-belah. Frasa tersebut sekaligus menyiratkan agar warga kampus menutup mata terhadap persoalan bangsa.
Kita tidak hendak berprasangka FRI telah menjadi corong penguasa, dipaksa untuk memoles wajah penguasa yang sudah bopeng. Kita masih meyakini para rektor memiliki moral dan hati nurani sehingga bisa membedakan antara perbedaan pendapat yang dijamin konstitusi dengan provokasi dengan tujuan memecah-belah.
Oleh karenanya, kita meminta para rektor melihat realita dengan kacamata yang lebih jernih. Bayangkan kerusakan tatanan hukum dan demokrasi yang akan terjadi jika para rektor yang memiliki pengetahuan di atas rata-rata rakyat Indonesia, menukar integritasnya karena intimidasi atau demi materi.
Seruan para guru besar, dosen dan keluarga besar kampus Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung, dan ratusan kampus lainnya, adalah suara keprihatinan mendalam terhadap praktik bernegara yang nir-etika dan cacat moral.
Mestinya rektor, sebagai pimpinan tertinggi di lingkungan perguruan tinggi, turut mendukung dan memberikan jaminan perlindungan terhadap civitas akademika sekalipun aspirasi yang didengungkan berbeda dengan keinginan penguasa. Seruan moral dari kampus adalah vitamin yang menyehatkan demokrasi.
Sebab kita masih berharap Pilpres 2024 dapat diselamatkan dari kelompok yang menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan. Sekecil apa pun harapan itu, kita tidak boleh menyerah.