PASURUAN | JATIMSATUNEWS.COM:
Lokasi jatuhnya dua pesawat Super Tucano milik TNI-AU di Kabupaten Pasuruan dianggap sakral, Pasuruan (21/11/2023).
Suku Tengger yang mendiami sekitar TKP jatuhnya dua pesawat jenis Super Tucano milik TNI AU yang terjadi pada Kamis (16/11/2023) dianggap warga sebagai tempat sakral.
Dua pesawat latih TNI-AU dari Lanud Abdulrachman Saleh ini jatuh di dua lokasi berbeda. Bangkai pesawat bernomor ekor sayap TT 3103 jatuh dan ditemukan hancur di bawah tebing perbukitan areal Perhutani, di Desa Keduwung, Kecamatan Puspo.
Sementara bangkai pesawat bernomor ekor sayap TT 3111 ditemukan jatuh di Bukit Kundi, tepatnya di perkebunan kentang yang masuk wilayah TNBTS, di perbatasan Desa Wonorejo Kecamatan Lumbang, Kabupaten Pasuruan.
Sulaksono, warga sekitar, menyatakan, dua titik lokasi jatuhnya pesawat Super Tucano ini sudah terkenal lama sebagai tempat sakral. Kesakralan tempat ini, menurut informasi yang dia dapat dari warga, sudah menjadi cerita turun-temurun di antara keturunan asli suku Tengger.
“Tempatnya memang terkenal sakral bagi suku Tengger, itu cerita sudah dari mbah-mbahnya dulu,” ujar Sulaksono.
Ia juga menuturkan bahwa dalam cerita yang beredar di masyarakat, area sekitar jatuhnya dua pesawat latih TNI-AU ini dianggap tempat suci. Bahkan menurut warga sekitar khususnya suku Tengger sendiri tidak berani sembarangan memasuki area hutan bukit Kundi ataupun hutan di wilayah Desa Keduwung.
Pria asal Desa Wonorejo ini menyatakan bahwa sebagian besar warga suku Tengger percaya jika memasuki dua area tersebut harus melakukan ritual terlebih dahulu.
“Katanya orang Tengger dua tempat itu tempat suci, jadi kalau masuk situ kebanyakan takut, kecuali sebelumnya ritual baca doa-doa atau pakai sesajen sesuai kepercayaan mereka,” ungkapnya.
Sulaksono menambahkan, warga yang ikut membantu saat evakuasi jenazah keempat korban jatuhnya pesawat TNI-AU itu justru kebanyakan warga yang berasal dari Desa Wonorejo, meski ada pula sebagian lain yang dari warga Tosari.
Menurut dia, fenomena ini terjadi karena warga suku Tengger sendiri sangat menghormati tempat sakral tersebut sehingga membatasi diri untuk keluar masuk tempat tersebut.
Sementara warga Desa Wonorejo banyak turun membantu karena mayoritas bukan keturunan asli dari suku Tengger. (ABD)