Hana, sapaan akrab teman-temanku padaku. Perjuanganku bersama keluarga kecilku di tanah raden Wijaya ini tidak seenergi sang legenda. Aku hanya manusia biasa yang punya kelemahan dan batas. Diawal aku berkarya bersama suami tercinta di kota indah ini penuh kebahagiaan dan canda tawa. Kesaharianku dalam keluarga kecilku hidup sederhana bersama buah hatiku, namun kebahagian dan kehangatan itu hanya berlangsung setengah windu saja. Ketika sebuah pengorbanan tidak lagi berharga untaian kasih sayang pun sirna hingga cinta suci yang terikat dalam mahligai sakral terusik oleh kerikil-kerikil kecil tajam yang menusuk kakiku. Hujaman anak panah mencabik-cabik hatiku.
Aku tidak peduli semua itu, aku terus berjalan dengan hati pilu dan langkah telapak kaki yang manganga. Sekujur tubuhku gontai, namun kedua tungkai kakiku tetap setia menopang tubuhku menggapai ujung jalan senja itu. Aku terus berlalu walau dalam perjalananku banyak hujaman anak panah melukai anggota tubuhku. Aku berpikir kerikil-kerikil tajam itu sudah berakhir diujung jalan kala itu, akan tetapi sebuah tombak melesat menghunus punggungku. Aku tersungkur dan terjatuh.
Dalam kelaraan tubuh lemahku, ketidak percayaanku, keraguan dan apa adanya aku, aku terus meniti, menyulami berusaha untuk bangkit bersama krucil-krucilku dirumah kecilku hingga suatu hari nanti aku bisa bermimpi lagi untuk memiliki kehangatan dan cinta kasih sayang dari mereka-mereka yang menyayangiku.
Hari berganti, tahun pun terus berlalu, tetapi rasa sakit dari tusukan-tusukan kerikil tajam penghianatan, hujaman anak-anak panah kebohongan dan hunusan tombak perselingkuhan masih membekas ditubuh lemahku. Kini luka itu telah membunuh mentalku. Trauma yang berkepanjangan telah mematikan beragam rasa yang ada dalam jiwa ragaku. Kehidupan rumah kecilku kini tidak ada lagi perdebatan tidak ada lagi pertengkaran hanya ada gelak tawa mereka.
Rotasi kehidupan ini tidak mungkin berhenti. Hidup ini terus berjalan bersama anak-anakku, aku harus mampu mengantar mereka menuju keberhasilan. Krucil-krucilku punya mimpi dan mereka punya kehidupan masing-masing. Mereka harus hidup layak, pendidikan layak dan perekonomian yang layak juga. Bersama Impian mereka, aku berusaha menjadi cahaya kecil buat mereka. Aku hanya sebatang lilin tua yang lusuh berusaha memberi penerangan untuk mereka. Aku menyadari mereka punya mimpi dan cita-cita yang harus diraihnya dan hidup ini harus terlihat baik-baik saja.
Biarkan pada tubuh yang lara, hati yang hampa untuk tetap bisa berjuang mendampingi menerangi perjalanan mereka dalam meraih cita-citanya menjelang tubuh lara dan hati yang hampa kembali diambil oleh Sang Pencipta. Aku mulai memahami bahwa penderitaan, kekecewaan, dan kesedihan bukan untuk menyusahkan, merendahkan atau merampas martabat kita, tetapi untuk mendewasakan dan mengubah diri kita. Teruslah tersenyum walau senyuman itu tidak membuktikan kita bahagia tetapi senyuman adalah awal dari sebuah upaya membahagiakan lubuk hati yang terluka. Teruslah berdoa dan bermunajat pada yang kuasa karena kelak hanya di sana tempat terakhir yang bersahaja untuk kita bahagia.(ans)
Karangan: Marwa Ali