Lia Istifhama, Penulis Lepas |
Dapatkah kau jaga rasa kagum dari orang lain atas keindahanmu, sebagai sebatas motivasi menuju uswatun hasanah? Ataukah justru menjebakmu menjadi pribadi yang tergoda ingin dimiliki dan memiliki sedangkan kekaguman tersebut datang pada waktu dan pihak yang salah? Maka, pilihlah pilihan yang menjaga kebahagiaan banyak orang, pilihan yang mendatangkan manfaat bukan mudharat (kerugian).
Sejatinya keindahan adalah perempuan ber-mar’atus sholihah, perempuan solihah yang memiliki karakter mulia dan meyakini bahwa apapun yang melekat dalam dirinya tak lain adalah anugerah untuk mendekatkannya pada kebaikan dunia dan akherat. Kebaikan dunia disini bukanlah bagaimana seorang perempuan ingin menyenangkan orang lain dalam konteks maksiat yang selain menjadi dosa, juga mendatangkan kerugian bagi orang lain. Dalam Islam, dijelaskan bahwa sesungguhnya perempuan terfokus menyenangkan pasangan hidupnya.
“Sebaik-baiknya wanita ialah wanita yang kalau kamu memandangnya bisa menyenangkanmu. Kalau kamu perintah bisa memenuhimu dan kalau kamu pergi ia akan menjaga hartamu dan kehormatannya.” (HR Ibnu Jarir dari Abu Hurairah).
Perempuan dan kehormatan, adalah bagaimana ia bukan hanya menjaga kehormatannya maupun pasangannya, melainkan juga sesama perempuan lainnya.
Women Support Women. Istilah tersebut seharusnya menjadi self reminder agar perempuan saling menjaga perasaan perempuan lainnya, terlebih terhadap perempuan yang sudah berkeluarga dan berjuang menjadi sosok ibu terbaik bagi anak-anak mereka.
Namun apa dikata, selalu ada perempuan yang ternyata menikmati posisinya sebagai ‘Pelakor’, perebut laki orang. Mereka ini terlahir dari keinginan mendapatkan kenyamanan secara instan dari lelaki yang sudah berkeluarga dan memiliki tingkat kemapanan tertentu. Pelakor tidak perlu tahu atau melewati masa sulit saat sang ‘mangsa’ tengah berjuang bersama sang istri untuk menata kehidupan dan ekonomi di awal pernikahan mereka. Pelakor cukup ingin merasakan ‘madu’ yang terwujud dalam keuntungan materi dari sang lelaki yang menjadi ‘mangsa’-nya.
Aneh bin ajaib, jika dulu pelakor menutup diri, maka sekarang tak sedikit yang membanggakan diri jika bisa merebut suami orang. Bullyan netizen maupun sanksi sosial masyarakat pun kadang tidak cukup ampuh dan membuat pelakor jera. Apalagi, jika kemudian pelakor bisa menunjukkan bahwa memang dirinyalah jodoh yang sempat tertunda dari suami orang. Pelakor tidak perlu memikirkan perasaan sang istri sah dari lelaki yang direbutnya, termasuk anak-anak yang menjadi korban akibat perceraian kedua orang tuanya.
Lebih aneh lagi, pelakor jaman now pun berani men-somasi istri sah ‘mangsa’nya. Kejadian yang viral melibatkan salah satu artis yang mantap berhijrah dengan busana tertutupnya saat ini, membuka publik tersentak kaget. Bukan permintaan maaf yang didapat, melainkan somasi yang dilayangkan oleh seorang wanita muda yang diduga wanita lain sang suami.
Pelakor jaman now pun mampu memberanikan diri untuk tampil depan publik dengan tangisan dan perkataan menyayat hati bahwa dirinya hanyalah korban fitnah. Meski, dirinya ternyata tak menampik kedekatan dengan suami orang, sekalipun disampaikannya ‘sebatas teman’.
Apapun dalih maupun kebenarannya, ketika perempuan memiliki empati selayaknya perempuan lainnya, maka hal pertama yang seharusnya diucapkannya adalah permohonan maaf dan kemudian ketulusan serta kejujuran meluruskan informasi agar tidak terjadi polemik di dalam sebuah keluarga.
Seandainya pun seorang perempuan tidak menyadari posisinya sebagai pelakor, namun kedewasaan dan kebijakan hatinya seharusnya mampu memahami bahwa sosok istri yang tersakiti, tengah melalui pergulatan psikologi yang tidak mudah. Dan alangkah mulianya tatkala perempuan lain yang dituding sebagai pelakor, datang untuk meluruskan bukan memperkeruh, apalagi berusaha merebut simpati publik. Niat mulia tersebut tentunya menunjukkan kedewasaan berpikir seorang perempuan untuk menghormati istri orang lain serta mengayomi anak-anak yang terbentuk dari pernikahan orang lain yang harus terjaga dari imbas konflik orang tuanya.
Akhir kata, setiap suami seharusnya menyadari bahwa pernikahan bukanlah sebuah pertautan dua hati, namun juga bagaimana bangunan komitmen melekat padanya dan kelangsungan masa depan sang buah hati menjadi tanggungjawabnya. Bagaimanapun seorang istri, maka istrilah perempuan yang memberikan ketulusan mendampingi proses hidup lelaki tercintanya. Dijelaskan dalam hadis:
Sesungguhnya bagi suami ada cinta kasih dari sang istri (yang sangat besar) yang tidak bagi sesuatu (yang lain). (HR Ibnu Majah, kitab Al-Jami’us Shaghier, hadits nomor 2380).