SAMPANG | JATIMSATUNEWS.COM: Masyarakat di Kabupaten Sampang masih memegang teguh tradisi lebaran ketupat. Tradisi ini dilaksanakan H+7 setelah lebaran.
Lebaran ini ditandai dengan memakan ketupat atau kupat dan menyambung silaturahim pada lebaran 1 Syawal.
Lebaran ketupat ini adalah tradisi dari zaman kewalian di tanah Jawa.
Memakan ketupat atau kupat memiliki arti ganda yakni ngaku lepat atau mengakui kesalahan atau laku papat yang berarti empat tindakan, yang sesuai dengan sisi pada ketupat.
Empat tindakan yang dimaksudkan antara lain adalah luberan yang artinya melimpahi, leburan artinya melebur dosa, lebaran yakni pintu ampunan terbuka lebar dan laburan menyucikan diri.
Tradisi kupatan tersebut terus dipegang teguh oleh masyarakat Kabupaten Sampang Madura hingga saat ini, sebagian masyarakat mempercayai apabila tidak membagikan kupat maka akan mendapatkan kesialan.
Masyarakat Jawa mempercayai lebaran ketupat diperkenalkan pertama kali oleh Sunan Kalijaga. Tradisi tersebut muncul pada era Wali Songo dimana masyarakat Nusantara sering mengadakan tradisi slametan. Kata Ra Walid Musta'in ketua PAC GP Ansor Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang, Madura Provinsi Jawa Timur.
Pada zaman dulu, kata Ra Walid Musta'in, Sunan Kalijaga memperkenalkan dua istilah yaitu Bakda Lebaran yang merupakan tradisi silaturahmi dan bermaaf-maafan setelah sholat Idul Fitri, dan Bakda Kupat (Lebaran Ketupat) yang merupakan perayaan sepekan setelah Idul Fitri.
"Lebaran Ketupat diperkenalkan Sunan Kalijaga sebagai pelengkap puasa Ramadhan untuk menggenapkan perhitungan puasa satu tahun dalam puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal. Oleh karena itu, dilakukanlah perayaan lebaran Ketupat sebagai hari kemenangan telah dilaksanakannya puasa selama satu tahun," ujarnya.
Selain itu, tradisi lebaran ketupat kemudian dijadikan sebagai sarana untuk mengenalkan ajaran Islam tentang cara bersyukur kepada Allah SWT, bersedekah, dan bersilaturahmi di hari lebaran.
Adapun tujuan perayaan Lebaran Ketupat tidak terlepas dari makna filosofis ketupat. Menurut, kata Ra Walid Musta'in, buku 'Fenomena Sosial Keagamaan Masyarakat Jawa dalam Kajian Sosiologi' (2021) oleh Lilik Setiawan, ketupat melambangkan simbol permintaan maaf dan juga keberkahan. Bahan utama dari ketupat yaitu nasi dan daun kelapa muda memiliki arti khusus. Nasi dianggap sebagai lambang nafsu, sedangkan daun kelapa muda atau janur melambangkan 'jati ning nur' yang artinya hati nurani.
"Melalui simbolisasi ketupat tersebut, manusia diharapkan mampu menahan nafsu dunia dengan hati nuraninya. Selain itu ketupat juga didefinisikan sebagai 'jarwa dhosok' atau berarti 'ngaku lepat'. Terdapat pesan bahwa seseorang harus meminta maaf ketika mereka melakukan sesuatu yang salah," terangnya.
Bungkus ketupat, menurut Ra Walid Musta'in, yang terbuat dari janur kuning melambangkan penolak bala bagi orang Jawa. Ketupat yang sudah matang akan digantung di atas kusen pintu depan rumah dalam jangka waktu berhari-hari bahkan berbulan-bulan sampai kering.
Bentuk segi empat ketupat mencerminkan prinsip "kiblat papat lima pancer," yang bermakna bahwa kemanapun manusia menuju, pasti selalu kembali kepada Allah. Anyaman ketupat yang rumit juga dimaknai sebagai cerminan dari berbagai macam kesalahan manusia. Sedangkan warna putih ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah memohon ampun dari kesalahan.
"Lebaran Ketupat merupakan perayaan yang menjadi penyempurna momen kemenangan Idul Fitri. Selain itu, Lebaran Ketupat terus dirayakan setiap tahunnya karena mengandung filosofis yang begitu bermakna bagi kehidupan masyarakat Jawa. Selamat merayakan lebaran ketupat," pungkasnya.